Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Diskriminasi Komunikasi bagi Penyandang Disabilitas

Preferensi terhadap pengobatan alternatif oleh penyandang disabilitas tak lepas dari diskriminasi komunikasi di faskes.

 

7 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penelitian BRIN mendapati penyandang disabilitas kerap mendapat diskriminasi saat berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.

  • Diskriminasi komunikasi ini menjadi hambatan untuk mendapatkan akses layanan kesehatan.

  • Akibatnya, penyandang disabilitas lebih suka mencari pengobatan alternatif.

Fenomena pengobatan Ida Dayak menjadi daya tarik bagi penyandang disabilitas (khususnya disabilitas fisik dan sensorik) yang mengharapkan “kesembuhan”, seperti bisa berjalan lagi atau meluruskan tangan yang bengkok. Bahkan konon pengobatan ini mampu membuat pasien tuli dan bisu bisa mendengar dan berbicara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar mengenai pengobatan alternatif seakan-akan memberi angin segar bagi penyandang disabilitas yang masih kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang inklusif tanpa hambatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, di tengah riuhnya kabar pengobatan alternatif yang ramai dibicarakan, ada mispersepsi soal penyandang disabilitas yang perlu masyarakat ketahui. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyandang disabilitas cenderung lebih memilih pengobatan alternatif ketimbang pengobatan medis.

Baca: Inspirasi dari Kaum Difabel

Stigma yang Masih Melekat

Stigma menjadi masalah yang terus muncul dalam berbagai aspek, tak terkecuali isu stigma pada penyandang disabilitas. Erving Goffman dalam buku Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity mendefinisikan stigma sebagai keberadaan atribut suatu individu atau kelompok yang dianggap lebih rendah dari individu atau kelompok lain. Atribut ini kemudian kerap digunakan untuk mendiskriminasi individu atau kelompok.

Dalam konteks penyandang disabilitas, kondisi disabilitas yang dialami kerap menjadi atribut dan pemberian stigma bahwa mereka adalah individu yang “sakit” dan perlu disembuhkan. Kondisi ini membuat penyandang disabilitas kesulitan untuk mendefinisikan bahwa mereka adalah individu lain yang juga sehat seperti masyarakat lainnya.

Konstruksi sosial yang salah kaprah tersebut pada akhirnya membuat penyandang disabilitas, keluarga, dan lingkungan sosial mereka terus mencoba berbagai pengobatan dengan tujuan "menyembuhkan" mereka. Stigma yang sudah telanjur melekat pada penyandang disabilitas di masyarakat berpotensi melahirkan praktik-praktik ableisme, yang mendorong mereka “memperbaiki” diri agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal. Sejatinya, penyandang disabilitas dapat beraktivitas dan memperoleh berbagai layanan ketika mendapat akomodasi atas kebutuhannya yang berbeda.

Stigma lain yang selalu tertanam dalam benak masyarakat mengenai penyandang disabilitas adalah mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak produktif. Dengan demikian, masa depan mereka suram serta akan menjadi beban orang-orang terdekatnya pada kemudian hari.

Atas dasar stigma tersebut, anggota keluarga, terutama ibu, selalu disalahkan atas disabilitas yang dialami anaknya. Tekanan-tekanan tersebut membuat orang tua membawa anaknya, yang merupakan penyandang disabilitas, untuk memperoleh pengobatan yang diyakini mujarab dan kilat agar anaknya sembuh.

Ilustrasi pasien disabilitas di rumah sakit. Shutterstock

Hambatan dalam Mengakses Layanan Kesehatan

Penyandang disabilitas menghadapi hambatan dalam semua aspek sistem kesehatan. Misalnya, praktik diskriminatif di kalangan petugas kesehatan, fasilitas dan informasi kesehatan yang sulit diakses, serta kurangnya informasi atau pengumpulan dan analisis data tentang disabilitas. Semuanya berkontribusi pada ketidakadilan kesehatan yang dihadapi kelompok disabilitas.

Karena itu, tidak mengherankan bahwa hal di luar rasionalitas, seperti pengobatan Ida Dayak, sangat memberikan harapan bagi para penyandang disabilitas. Tidak hanya pengobatan Ida Dayak, pengobatan alternatif lain yang "terjangkau", seperti pengobatan rehabilitasi mental di Pesantren Daarul Miftah Mulia, juga menjadi alternatif bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses kesehatan, khususnya terkait dengan kesehatan mental.

Faktor komunikasi konteks tinggi yang dipraktikkan Ida Dayak terhadap pasien disabilitas nyatanya lebih mengena karena menyentuh empati pasien yang terlihat lebih dihargai di pengobatan alternatif. Komunikasi konteks tinggi membuat makna pesan tertanam jauh di dalam informasi, sehingga tidak semuanya dinyatakan secara eksplisit ketika diucapkan. Mudahnya, masyarakat Indonesia lebih suka berbasa basi sebelum menyampaikan inti dari sebuah pesan.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem kesehatan medis yang menggunakan gaya komunikasi konteks rendah yang bersifat eksplisit. Hasilnya, pasien disabilitas masih ada yang merasa didiskriminasi oleh petugas kesehatan yang tidak memiliki pengetahuan untuk menciptakan rasa hormat kepada pasien disabilitas.

Hasil temuan tim riset kami, Tim Riset Rumah Program Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 di Yogyakarta menunjukkan bahwa tenaga kesehatan menggunakan bahasa yang cenderung nirempati bagi anggota keluarga penyandang disabilitas. Laporan riset ini sedang dalam proses publikasi sebuah jurnal.

Ketika informan kami ingin memperoleh layanan kesehatan lanjutan untuk anaknya yang cerebral palsy, tenaga kesehatan tersebut berkomentar dan menyiratkan bahwa kondisi sang anak tidak dapat lebih baik dan tidak tahu tindakan seperti apa yang harus diberikan. Cara berkomunikasi tersebut tentu meninggalkan luka dan ketidaknyamanan bagi keluarga yang memiliki anak disabilitas.

Perilaku yang lebih memanusiakan nyatanya menjadi salah satu faktor penting mengapa pengobatan alternatif Ida Dayak lebih dipilih pasien disabilitas dibanding pengobatan medis.

Pasien pengobatan tradisional Ida Dayak di Depok, Jawa Barat, 3 April 2023. ANTARA/Asprilla Dwi Adha

Kebijakan yang Belum Memihak Penyandang Disabilitas

Dari sisi kebijakan, sebenarnya sudah ada peranti legal yang memberikan pelindungan dan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas membuka angin segar untuk pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia.

Dalam pemenuhan hak kesehatan, misalnya, telah diamanatkan juga penyelenggaraan habilitasi dan rehabilitasi yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020  tentang Penyelenggaraan Habilitasi dan Rehabilitasi. Namun persoalan ini ternyata masih dibebankan kepada Kementerian Sosial (Kemensos) semata, sehingga cara pandang penyelenggaraan habilitasi dan rehabilitasi juga masih bersifat charity

Rehabilitasi dalam program Kemensos kemudian dimaknai sebagai penyediaan alat bantu. Padahal habilitasi dan rehabilitasi seharusnya juga perlu difokuskan pada upaya memperlengkapi individu dengan pengetahuan, alat, atau sumber daya khusus yang dibutuhkan. Juga memastikan bahwa lingkungan, program, praktik, atau pekerjaan umum mencakup fitur yang dibutuhkan penyandang disabilitas untuk berhasil atas dasar kesetaraan dengan orang lain.

Habilitasi mengacu pada suatu proses untuk membantu penyandang disabilitas mencapai, menjaga, atau meningkatkan keterampilan dan bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Layanannya meliputi terapi fisik, okupasi, dan bahasa wicara; berbagai perawatan terkait dengan manajemen nyeri dan audiologi; serta layanan lain yang ditawarkan di rumah sakit dan lokasi rawat jalan.

Sedangkan rehabilitasi mengacu pada mendapatkan kembali keterampilan, kemampuan, atau pengetahuan yang mungkin hilang atau dikompromikan sebagai akibat dari disabilitas. Atau karena perubahan disabilitas atau keadaan seseorang. Pada kenyataannya, rehabilitasi yang diselenggarakan selama ini juga dinilai belum inklusif karena tidak memberikan pilihan pada cara dan mekanisme rehabilitasi.

Pelaksanaan rehabilitasi melekat dalam program Atensi atau Asistensi Rehabilitasi Sosial di Kementerian Sosial. Program Atensi diberikan berdasarkan layanan multifungsi sehingga diharapkan semua balai rehabilitasi Kemensos dapat melayani semua ragam disabilitas. Hal tersebut sayangnya justru menimbulkan persoalan karena tidak diikuti kesiapan sumber daya dan pengetahuan pekerja sosialnya.

Selain program layanan rehabilitasi, program Atensi lebih banyak memberikan alat bantu yang dimasukkan dalam program Indonesia Melihat, Indonesia Mendengar, dan Indonesia Melangkah. Program ini sering dikritisi karena justru semakin membuat bingung penyandang disabilitas, lebih banyak bersifat program amal, dan sarat akan ableisme.

Butuh Dukungan Semua Pihak

Kita semua bertanggung jawab untuk terus mengawal pemenuhan hak-hak kesehatan yang inklusif. Kita harus mengakhiri mispersepsi dan stigma terkait dengan penyandang disabilitas serta berbagai hambatan yang mereka alami dalam mengakses hak-hak kesehatan.

Pertama, layanan dan program kesehatan bagi penyandang disabilitas tidak bersifat one-size-fits-all (satu solusi untuk semuanya). Penyandang disabilitas memiliki berbagai jenis dan ragam disabilitas serta perbedaan lingkungan sosial dan kultural yang melingkupinya. Kedua, upaya pemenuhan hak-hak kesehatan penyandang disabilitas harus meminimalkan hambatan-hambatan yang selama ini mereka alami. 

Semua pihak, baik negara maupun masyarakat, harus memahami bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dan menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkannya.

---

Artikel ini ditulis oleh Sri Sunarti Purwaningsih dkk, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus