Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kesehatan

Dokter Paru Ingatkan Persepsi Keliru soal Rokok Elektrik

Masih ada kesalahan persepsi masyarakat soal rokok elektrik. Mereka berpikir nikotinnya lebih rendah dan bisa dipakai untuk terapi berhenti merokok.

10 Januari 2024 | 09.59 WIB

Ilustrasi vape. sumber: AFP/english.alarabiya.net
Perbesar
Ilustrasi vape. sumber: AFP/english.alarabiya.net

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI) Prof Dr dr Agus Dwi Susanto mengingatkan kesalahan persepsi masyarakat soal rokok elektrik atau vape. Ia menjelaskan riset pada 2021 mencatat sebanyak 17,2 persen dari 937 responden di Jakarta menggunakan rokok elektrik karena terkait rasa, 3,4 persen karena dapat menggunakan trik asap, serta 1,7 persen mengikuti tren. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Mereka berpikir bahwa nikotinnya lebih rendah dan bisa dipakai untuk terapi berhenti merokok atau placement therapy, itu sebanyak 76,7 persen," katanya, Selasa, 9 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada riset berbeda yang dilakukan terhadap 104 mahasiswa Universitas Indonesia pada 2019, mayoritas responden memiliki persepsi positif terhadap definisi, kandungan, manfaat, dan kerugian penggunaan rokok elektrik. Padahal, ia menilai rokok elektrik tidak berbeda dengan rokok konvensional yang sama-sama mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh.

"Fakta bahwa rokok konvensional maupun rokok elektrik sama-sama mengandung bahan adiktif yang bersifat iritatif dan merangsang peradangan inflamasi," ujarnya.

Sama-sama mengandung zat berbahaya
Agus menjelaskan baik rokok elektrik maupun konvensional sama-sama mengandung nikotin, zat karsinogen penyebab kanker, serta bahan toksik lain yang iritatif meskipun uap pada rokok elektrik tidak mengandung karbon monoksida (CO) dan TAR. Ia memaparkan sejumlah bahan yang terkandung dalam rokok elektrik seperti nikotin yang berpotensi menyebabkan ketergantungan, nitrosamin yang berpotensi menjadi zat karsinogen, gliserol/glikol yang berpotensi menyebabkan iritasi saluran napas dan paru-paru, dan lain sebagainya.

Pada 2018, ia bersama tim melakukan penelitian terhadap 71 laki-laki pengisap rokok elektrik dengan menggunakan kuesioner dan indeks terkait ketergantungan nikotin Penn State Nicotine Dependent Index. "Ditemukan sebanyak 76,5 persen laki-laki pengguna rokok elektrik itu memiliki ketergantungan terhadap nikotin," tuturnya.

Mengingat bahaya kesehatan yang ditimbulkan, Agus menganjurkan rokok elektrik seharusnya dilarang atau diatur penggunaannya, terlepas dari potensinya untuk berhenti merokok yang masih diperdebatkan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus