Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG anak laki-laki membetot sebatang plastik bergerigi. Tangan kanannya tertarik kencang ke belakang. Sedetik kemudian, meluncurlah benda seperti cakram, berputar kencang di atas arena yang berbentuk lempengan bundar. Sembari melesatkan beyblade jagoannya, anak itu berteriak, "Ayo, Dragoon!"
"Dragoon" beradu dengan dua benda serupa. Kadang-kadang terjadi gesekan di antara mereka, yang membuat salah satu terpental ke luar arena. Beyblade yang paling lama berputar akan menjadi pemenang, dan terdengarlah sorak-sorai dari beberapa anak berusia 10 tahunan yang mengelilingi arena.
Seperti itulah suasana adu gasing modern yang diadakan di sebuah pusat pertokoan di Jakarta Barat. Anak-anak yang ikut serta dalam pertunjukan itu tidak sekadar memutar gasing milik mereka, tapi juga berusaha menirukan gaya jagoan pemutar gasing seperti yang ada di serial kartun televisi.
Berkat serial televisi itulah permainan anak-anak klasik ini populer kembali sekarang. Beyblade memang sebenarnya adalah gasing yang dimodifikasi. Dan Jepang adalah pelopornya. Tidak lagi terbuat dari bambu yang diputar dengan seutas benang, mainan baru ini terbuat dari plastik berkualitas terdiri dari lima bagian, yang merakitnya sendiri sudah menjadi keasyikan bagi anak-anak. Bagian paling atas, disebut bit beast, menentukan watak putaranapakah agresif menyerang atau bertahan. Lalu, ada cincin penyerang, piringan pemberat, sekrup pemutar, dan landasan. Untuk bertanding, ada "arena" berbentuk lingkaran dengan lekukan-lekukan, yang disebut beystadium.
Ya, apa pun sebutannya, beyblade sebenarnya adalah gasing, yang sudah dikenal sejak zaman dulu di Indonesia dan Malaysia. Adu memutar gasing pun masih menjadi kegemaran anak-anak, khususnya di kampung-kampung. Tapi, seperti dalam berbagai bentuk produk lain, Jepanglah yang memodifikasi mainan klasik ini menjadi sebuah sukses komersial.
Berbeda dengan gasing klasik, gasing Jepang ini memang lebih menarik karena karakter itu. Apalagi karakter tersebut digairahkan oleh sebuah serial kartun Jepang berjudul Beyblade, yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta tiap Minggu. Serial ini berkisah tentang petualangan lima sekawan petarung beyblade: Tyson, Kai, Max, Ray, dan Kenny.
Tiap tokoh memiliki karakter sendiri, serasi dengan sifat gasing mereka. Tyson digambarkan sebagai anak remaja yang cerdas, pemberani, dan tidak takut apa pun. Gasingnya bernama Dragoon, bersifat agresif. Sedangkan Max adalah anak yang penuh strategi dan selalu mencari jurus-jurus baru. Sangat berlawanan dengan Tyson, Max adalah jago bertahan dengan gasing bernama Draciel.
Adapun Kai punya Dranzer, yang terkenal dengan serangan mendadaknya, sehingga lawan tidak sadar apa yang menyerangnya. Sedangkan Ray, yang digambarkan sebagai anak yang penuh percaya diri, memiliki Driger, yang berkarakter sama dengan pemiliknya.
Nah, Kenny adalah satu-satunya perempuan di dalam geng dan sekaligus pemimpin kelompok. Cewek cuek yang tidak pernah lepas dari komputer laptop-nya itu punya jagoan bernama Dizzara atau Dizzi, yang sudah terjebak selamanya di dalam laptop. Kenny bertugas menganalisis gerakan beyblade dan gaya putaran yang dipakai lawan.
Dalam film, para tokoh itu diceritakan menjelajahi dunia untuk berkompetisi di berbagai beystadium. Mereka harus menghadapi petarung dari berbagai penjuru dunia. Yang membuat cerita makin menarik, gaya bertarung, teknik memutar gasing biasanya dikaitkan dengan ilmu bela diri kuno suatu negara.
Serial kartun Jepang itu memang seru sehingga demam gasing modern pun melanda belahan dunia lainnya. Di Amerika Serikat, hak tayang serial kartun itu dimiliki oleh ABC Family Channel sejak awal 2002. Segera, gasing Jepang mulai menyerbu pasar Amerika dan sempat menjadi jenis permainan paling laris pada acara festival permainan di sana, Februari 2002 lalu. Bahkan Hasbro, toko permainan raksasa di sana, membeli lisensi beyblade asli untuk kawasan Amerika Utara.
Di Indonesia, produk asli itu dijual di toko spesialis mainan mahal seperti Toy 'r Us dan Kidz. Harganya dari Rp 90 ribuan hingga Rp 150 ribuan. Bila ingin membelinya lengkap dengan variasi bentuk dan beystadium, harga bisa mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu.
Menurut Edwin, penjaga Toko Toy 'r Us, permintaan akan gasing modern sudah meningkat sejak Desember lalu, terutama menjelang hari Natal. Dalam sehari, puluhan gasing terjual. "Dibeli orang tua untuk hadiah Natal dan Tahun Baru bagi putra mereka," katanya.
Nah, enaknya tinggal di Indonesia, orang tidak perlu pusing membeli barang asli yang mahal. Tidak punya uang ratusan ribu pun tak masalah karena ada juga versi murahan buatan Republik Rakyat Cina, yang dijual di depan sekolah dasar dan pasar-pasar.
Menjual mainan itu di depan gerbang Sekolah Dasar Kaliasin, Surabaya, Suyanto selalu dikerumuni bocah-bocah berseragam putih-merah. Mereka tak hanya menimang benda-benda itu, tapi juga mencobanya. Harganya antara Rp 10 ribu dan Rp 35 ribu. "Untuk setiap kepingnya, saya minimal untung Rp 3.000," kata Suyanto, yang mengaku bisa menjual rata-rata 20 keping mainan itu setiap harinya.
Adu keterampilan yang seru pun kini tidak hanya monopoli anak orang kaya. Dengan gasing plastik murahan, anak kebanyakan bisa mengadu gasing mereka di atas "beystadium lokal", yaitu wajan penggorengan atau tampah untuk menjemur sisa nasi. Dan kegembiraan yang diperoleh pun tak kalah dengan kompetisi di mal-mal Jakarta.
Demam seperti ini memang sudah luas menjalar. Anak-anak seusia sekolah dasar merengek membeli gasing itu bukan hanya untuk kompetisi, tapi juga sebagai barang koleksi. Muhammad Abdul Ghony, misalnya, anak kelas satu sekolah dasar di Surabaya, memiliki tiga keping sekaligus. Alasannya, agar bisa dimainkan sekaligus sendirian di rumah.
Ariyana, ibu Ghony, tidak menganggap gasing ala Jepang ini jenis permainan yang merugikan. Menurut dia, permainan baru tersebut justru bisa memicu kreativitas, terutama ketika anak-anak harus merakit sendiri mainannya.
Prima, siswa SD Padjadjaran di Bandung, yang tergolong tidak mampu, pun tak mau kalah. Bocah ceking itu keras berjuang sendiri untuk mendapatkan mainan favoritnya. Dia mencari uang dengan menyewakan payung saat hujan. Dengan uang sewa Rp 500 hingga Rp 1.000, Prima berharap segera bisa membeli gasing itu dan bertarung dengan teman-temannya meniru acara serial televisi. "Saya ingin bertanding," kata Prima, sambil menggigil kedinginan karena hujan.
Para orang tua umumnya tidak terlalu mempersoalkan kemungkinan dampak negatif akibat demam yang melanda anak-anak mereka. Syaifullah, seorang pengacara di Surabaya, dengan santainya mengeluarkan uang Rp 100 ribu ketika Fikri, anaknya yang berusia tujuh tahun, menunjuk gasing modern di sebuah toko mainan Plaza Tunjungan, Surabaya. Padahal Fikri sudah punya beyblade yang dibeli dari penjual mainan di sekolah dengan harga Rp 10 ribu. Fikri tetap menginginkan versi asli, seperti milik teman-temannya, yang bisa mengeluarkan suara dan bercahaya bila berputar.
Tapi, sampai kapan demam ini akan berlangsung sebelum digantikan jenis mainan lainnya? Edwin dari Toy 'r Us mengaku tidak tahu. Menurut dia, itu semua tergantung promosi dari produsen dan penyalur. "Jika mereka rajin membuat kompetisi, mungkin permainan ini akan bertahan cukup lama," tuturnya.
Sementara itu, gasing tradisional masih dijajakan di depan Keraton Yogyakarta. Gandung, penjual gasing di situ, mengaku kalah dari produk baru. "Beyblade meniru gasing buatan kita," ujarnya, "Tapi mereka bisa mengemasnya lebih baik sehingga lebih menarik." Jadi, mungkin perlu dibuat seri kartun tentang para petarung gasing bambu di pedesaan Jawa.
Bina Bektiati (Jakarta), Sunudyantoro (Surabaya), L.N. Idayanie (Yogyakarta), Bobby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo