Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elisa Tandiono
Pelancong
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telah lama saya mendengar soal keindahan Kota Dresden di Jerman, tak jauh dari perbatasan Jerman-Republik Cek-Polandia. Jadi, ketika beberapa waktu lalu—sebelum ada pandemi—saya berkesempatan mengikuti sebuah kongres di Praha, Republik Cek, saya berangkat lebih awal agar bisa berkunjung ke Dresden lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya berangkat ke Dresden melalui Bandara Ruyzne, di Praha. Dari sana, saya bersama beberapa orang dari Indonesia naik bus menuju stasiun kereta api yang akan membawa kami ke Jerman. Perjalanan dari Praha ke Dresden yang berjarak sejauh 118 kilometer ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Sepanjang jalan, pemandangan Sungai Vltava yang berakhir menjadi Sungai Elbe sungguh menawan. Begitu kami memasuki kawasan Jerman, Sungai Elbe terlihat biru berkilau ditimpa sinar mentari sore. Hamparan padang rumput dan rumah-rumah pertanian juga terlihat asri.
Keesokan harinya, dengan penuh semangat kami mengitari kota yang pernah dijuluki sebagai Kota Permata itu. Julukan itu diberikan karena kota ini sangat indah dan dihiasi bangunan-bangunan yang mayoritas bercorak barok. Pada zaman dulu, Dresden memang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Saxony, salah satu kerajaan di Jerman kala itu. Setelah monarki runtuh, Dresden tetap dinobatkan sebagai ibu kota Provinsi Saxony. Sampai Perang Dunia II, Dresden merupakan salah satu pusat budaya, musik, dan ilmu yang paling maju di Eropa.
Sayangnya, pada Februari 1945, Angkatan Udara Inggris dan sekutunya, Amerika Serikat, membombardir kota ini empat kali dan meluluhlantakkannya. Serangan ini sampai sekarang masih kontroversial karena menewaskan banyak warga sipil, terutama wanita dan anak-anak. Sebab, saat Perang Dunia II berlangsung, Dresden menjadi tempat pengungsian warga-warga dari kota-kota di sekelilingnya. Lalu pusat kota dengan aneka bangunan bersejarah yang total luasnya mencapai 39 kilometer persegi itu rata menjadi puing-puing. Korban tewas juga mencapai 25 ribu orang.
Saat menjadi bagian dari negara Jerman Timur, pusat-pusat kebudayaan kota mulai dibangun, tapi hanya sebagian karena kurangnya dana. Baru setelah reunifikasi Jerman pada 1990 pembangunan kembali tempat-tempat bersejarah digenjot dan menarik jutaan wisatawan setiap tahun. Ada beberapa tempat bersejarah menarik yang saya kunjungi. Selain karena kecantikan arsitekturnya, tempat-tempat ini punya kisah menarik.
Tempat pertama adalah Royal Palace. Bangunan istana yang juga disebut Kastil Dresden ini dibangun pada 1530 dengan gaya renaisans oleh Duke of Saxony, George the Bearded. Kastil ini berkali-kali hancur. Pada 1701, kastil itu terbakar hebat, lalu dibangun kembali. Tapi saat Perang Dunia II Royal Palace rusak karena terkena bom. Setelah itu, kompleks istana ini sempat terbengkalai. Barulah pada 1985 kompleks ini kembali dibangun sesuai dengan aslinya dan selesai pada 2006, tepat pada perayaan ulang tahun Kota Dresden ke-800.
Adapun koleksi harta karun dari Kaisar Augustus the Strong ditempatkan kembali ke dalam istana seakan-akan menghidupkan legenda “Green Vaults” (Ruang Hijau). Konon Kaisar ini memiliki cita rasa seni tinggi. Ia mengoleksi karya-karya maestro perhiasan dunia saat itu dan mengumpulkannya dalam suatu ruangan bercat hijau. Konon pula tamu-tamu yang pernah diundang memasuki ruangan tersebut bersumpah mereka seakan-akan berada dalam gua Ali Baba. Keelokan tiap karya dari 3.000 karya seni yang dipajanglah yang menarik perhatian nyaris 20 juta pengunjung selama 30 tahun terakhir ke Museum Albertinum, sebelum akhirnya kembali ke Royal Palace ini.
Sebagai orang yang awam akan karya seni, tadinya kami hanya ingin melihat-lihat sepintas. Tapi ternyata kami menghabiskan waktu hingga tiga jam di ruangan itu saking terkesima melihat keindahan perhiasan-perhiasan tersebut. Sebut saja pajangan miniatur Kerajaan India Saat Ulang Tahun Mogul yang Agung dengan 137 figur orang, unta, dan gajah yang dihiasi 5.000 butir berlian, rubi, dan mutiara. Benar-benar dibuat dengan presisi dan cita rasa tinggi. Memang dengan sedikit lagi imajinasi, kita bisa membayangkan diri kita kembali ke zaman Ali Baba.
Keluar dari Royal Palace, kita tinggal menyeberang ke arah timur dan langsung disambut oleh lapangan luas nan memukau. Itulah kompleks Istana Zwinger. Kompleks ini dibangun Kaisar Augustus the Strong yang terkesan melihat Istana Versailles dalam perjalanannya melalui Prancis. Memang kaisar ini dikenal sangat berminat akan arsitektur, bahkan membuat rancangan awalnya.
Lapangan indah ini membentang menjadi ballroom terbuka tempat diadakannya aneka pesta pernikahan hingga pesta bagi kaisar dan bangsawan. Ini sungguh merupakan ballroom terunik dan bisa dibilang satu-satunya dari zaman tersebut.
Pintu utama Zwinger adalah Gerbang Mahkota (Gate Crown/Kronentor). Bentuknya seperti mahkota yang dihiasi empat ekor rajawali dan empat sisi ukiran dari Balthasar Permoser, seorang pemahat yang tersohor pada zaman itu, yang mewakili empat musim. Gerbang Mahkota ini juga merupakan salah satu ikon Kota Dresden.
Tempat ketiga adalah Opera House. Bangunan itu berdiri sejak 1678, dan inilah yang menjadi salah satu alasan Dresden disebut sebagai salah satu pusat budaya di Eropa. Pada 1838, Gotfried Semper, seorang arsitek ternama, mulai membangun Opera House yang kemudian dinamai sesuai dengan namanya. Akustik dalam Opera House diakui sebagai yang paling bagus, melebihi yang berada di Milan sekalipun. Berbagai komposer tenar, termasuk Richard Strauss, mengadakan pertunjukan di sini. Setelah rusak karena pengeboman pada 1945, Semper Opera House dibangun kembali 40 tahun kemudian dengan sebagian besar dinding bagian depan masih berasal dari bangunan lama.
Selepas dari Opera House, kami mendatangi Procession of Prince. Tempat ini berupa lorong sepanjang 102 meter yang dihiasi lukisan buatan Wilhelm Walter pada 1870-1876. Semua lukisan tersebut menggambarkan 35 bangsawan, pangeran, hingga raja yang berkuasa pada Dinasti Wettin mulai 1127.
Semua sosok bangsawan dalam lukisan itu duduk di atas pelana kuda dengan nama mereka masing-masing dan tahun kekuasaan tertera di bawah lukisan. Karena awalnya hanya terbuat dari plester, lukisan tersebut memudar dengan cepat. Jadi, pada 1906, lukisan itu ditutupi oleh 25 ribu keping keramik porselen.
Procession of Prince selamat dari serangan udara Perang Dunia II pada 1945. Tempat ini kemudian menjadi bukti penting akan panjangnya sejarah Westin yang membentang hingga 1.000 tahun. Detail baju dan senjata yang digunakan dalam tiap era terekam jelas dalam lukisan ini.
Puas melihat lukisan di Procession of Prince, tujuan berikutnya adalah Church of Our Lady, yang disebut juga Fraunkirche. Gereja ini sarat muatan sejarah. Pada awal abad ke-18, gereja kaum Kristen Protestan ini terasa semakin sesak karena penganutnya bertambah banyak. Pada 1726, warga Kota Dresden sepakat membangun gereja yang bagus sebagai iman mereka sekaligus protes terpendam terhadap Kaisar Augustus, yang berpindah agama menjadi Katolik hanya karena ingin diangkat sebagai Kaisar Polandia.
Gereja ini kemudian menjadi salah satu masterpiece di Eropa. Sayangnya, dua hari setelah serangan udara sekutu, gereja ini runtuh. Meskipun rencana untuk memugar dan membangun kembali gereja ini sudah dilakukan sejak 1945, tak lama setelah serangan. Namun, karena ketiadaan dana, puing-puing dengan dua dinding utama yang masih tegak ini menjadi lambang kemubaziran perang.
Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menyampaikan ide dan pendapat. Contohnya, berbulan-bulan sebelum Tembok Berlin diruntuhkan, lapangan di depan puing-puing itu menjadi area protes dan demonstrasi.
Setelah kedua Jerman bersatu, barulah gereja tersebut dibangun kembali berkat pengumpulan dana melalui berbagai acara amal, lelang, hingga sumbangan dari Inggris, Amerika, Prancis, dan Swiss. Bahkan salibnya merupakan sumbangan dari Inggris, yang dikirim langsung Ratu Elizabeth secara pribadi dengan acara seremonial serta diserahkan oleh Duke of Kent dan seorang putra dari pilot yang bertugas dalam serangan udara 1945. Pemberian yang diterima dengan hati lapang ini mencerminkan rekonsiliasi antara dua musuh besar dalam Perang Dunia II tersebut.
Di belakang Fraunkirche, kita akan menemukan sebuah bangunan kuning bergaya barok yang indah. Itulah Cosel Palace, yang dibangun Count Cosel, anak dari Kaisar Augustus the Strong. Istana ini digunakan untuk wanita simpanan yang paling ia sukai. Setelah Fraunkirche dipugar, istana ini dilengkapi restoran yang termasuk paling ramai dikunjungi di Dresden. Kami sempat pula mencoba makanan khas Dresden yang enak di sana.
Berikutnya kami mengunjungi Art Passage di daerah Dresden baru (Neustadt). Art Passage adalah sebuah lorong memanjang yang berawal dari Jalan Alaunstrasse 70. Di sepanjang lorong ini kita disuguhi pemandangan kafe-kafe dengan dinding depan yang eksentrik dan berseni. Coba lihat saja dinding bercat biru itu. Kalau hujan turun, talang-talang air yang disusun sedemikian rupa akan membentuk simfoni yang indah.
Di kota itu juga ada tempat yang menjadi pusat keramaian wisatawan untuk berjalan kaki santai. Bila Praha terkenal dengan Charles Bridge, Dresden memiliki Bruhl Terrace. Letaknya yang strategis di antara Hofkirche yang membentang ke arah timur hingga mendekati Fraunkirche menyuguhkan pemandangan ke arah Elbe yang cantik. Itu membuat Bruhl Terrace selalu ramai sejak pagi hingga malam hari. Goethe sempat menyebutnya sebagai Balcony of Europe untuk menggambarkan keistimewaan teras ini.
Pada sore hari, kami menikmati suasana Kota Dresden dari Sungai Elbe dengan kapal dari dermaga di bawah Bruhl Terrace. Perjalanan selama tiga jam ini membawa kami melewati tempat-tempat yang belum terjangkau sebelumnya, seperti Pillnitz Castle, 7 kilometer dari pusat kota. Istana ini merupakan tempat peristirahatan favorit Kaisar Augustus yang sering dikunjunginya dengan gondola. Pemandangan sepanjang Sungai Elbe cukup menarik. Selain ada kastil-kastil di atas gunung, kami menjumpai tim dayung sedang berlatih dan anak-anak kecil bermain pasir di sekitar tepi Elbe yang bersih.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo