Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Duit kecil dan banyak begadang

Suka duka polisi desa, biar gaji kecil asal harkat naik. ada yang takut diganti karena bakal tak dihargai lagi. di jakarta disebut kamtibmas, dimusuhi pedagang k-5, pelacur dan gelandangan. (sd)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBILAN bulan yang lalu Pasrana masih jadi buruh pembuat batu bata di kampungnya. Ia dianggap orang biasa, walaupun tubuhnya kekar berisi. Tubuh toh tak ada artinya. "Zaman sekarang, biar kecil, pokoknya jabatan," kata pemuda itu. Kini kata-kata itu terbukti. "Di mata orang desa, derajat kami tinggi. Karena jabatan opas desa banyak digilai cewek," kata Pasrana, opas Desa Purwasari, Kecamatan Cikampek, Karawang. Pemuda usia 32 tahun ini, baru 9 bulan menjabat pekerjaannya. Dalam waktu sependek itu ia sudah dapat merasakan bagaimana harkatnya naik dibandingkan sebelumnya. Sebagai polisi desa Pasrana tentu saja bertanggung jawab atas keamanan desa. Sebagaimana lazimnya pegawai, setiap pagi ia harus masuk kantor. Kalau ada perintah Lurah ia segera menyampaikannya kepada semua RK dan RT. "Sampai mengurus pengajian juga ditangani," ujarnya, "kan sebagai penanggung jawab keamanan harus ikut jaga supaya tiap waktu tahu keamanan desa." Setiap malam Pasrana begadang dari jam 11 sampai pagi. Meskipun kekar, tentu saja dadanya lama-lama kendor juga. Ini memaksanya untuk berfikir, bahwa setelah harkatnya naik, ternyata pendapatan tidak banyak berubah. Untuk suntik agar dada itu aman saja ia tidak mampu. Bayangkan gajinya Rp 30 ribu: untuk setahun. Sekali lagi setahun. Dibayarkan setahun sekali. Tete Beng Gaji Pasrana adalah hasil musyawarah desa, diambilkan dari anggaran desa. Ia juga menerima sawah bengkok seperlima hektar. Hasilnya tidak cukup. Untung kepala desanya sering memberi "tip". "Kadang saya berfungsi sebagai ajudan lurah," kata pemuda itu dengan bangga. Untuk menanggung 2 anak dari 4 isteri (sekarang isterinya tinggal satu) Pasrana terpaksa juga kembali ke kerja lama sebagai buruh batu bata. Apalagi yang punya usaha itu bapaknya sendiri. Polisi juga diangkat dengan Surat Keputusan Camat, atas usul kepala, desa. Jabatan ini hanya berlaku untuk 4 tahun --yakni selama satu periode jabatan kepala desa. Kalau lurah diganti biasanya polisi desa juga ikut terganti. Inilah yang ditakutkan Pasrana. Kalau lurah tidak cocok, berarti ia harus melepaskan jabatan kebanggaannya itu. Dia bakal tidak dihargai lagi. Dan ia yakin -- entah karena ketegasannya dalam bertugas--banyak orang desa yang menaruh dendam kepadanya. "Nanti setelah saya berhenti mereka akan melampiaskan dendam itu," kata pemuda ini dengan cemas. Di kampung Kakaskasen, Kecamatan Tomohon (Minahasa) ada polisi desa yang sudah memikul tugasnya selama 40 tahun. Namanya Habel Ramblng. Biasa dipanggil Tete (kakek) Beng. Tampangnya serem. Kumis lebat dengan tubuh penuh tato. Tidak pernah naik pangkat. Tidak punya daftar gaji dan masa pensiun. Tapi semua orang dari kecil sampai kakek -- setidak-tidaknya di kampung itu--kenal pada Tete Beng. Sejak ia memangku jabatannya di zaman pendudukan Jepang sudah 9 kali ada pergantian hukum tua atawa kepala desa. Sudah dua kali ia minta berhenti karena merasa sudah uzur. Tapi sampai sekarang belum dikabulkan. "Soalnya, saya satu-satunya sandaran hukum tua di desa ini untuk semua urusan," katanya kepada TEMPO. Tete Beng tidak hanya bertugas untuk menjaga keamanan desa. Ia juga bertindak sebagai "jaksa" dan "hakim" desa. Padahal ia buta hurup. Paling banter hanya bisa menulis tanda tangannya. Namun reputasinya sebagai sherief itu cukup hebat. "Kelebihan saya banyak pengalaman dan berani bergaul dengan siapa saja," katanya sama sekali tidak dengan maksud berbangga. Kadangkala tengah malam pintu rumah Tete Beng digedor, seandainya ada peristiwa pidana atau gangguan terhadap desa -- seperti perkelahian, atau pertikaian pemuda kampung. Maka bagaikan a tokoh film seri teve, Barnab Jones, Tea te Beng tanpa rewel langsung melompat dari tempat tidurnya. Menyambar sebuah topi lebar ala koboi dan sebuah samurai kesayangan--langsung menuju ke tempat kejadian jreng-jreng-jreng! Musuh Pelacur Kalau hanya soal perkelahian atau keributan anak muda, soal sepele buat Barnaby Jones Tomohon ini. Belum sempat buka mulut, baru melihat kumis jagoan tua itu, segalanya biasanya beres. Tete Beng tidak pernah menghadapi mereka dengan kekerasan. "Hati mereka perlu disentuh. Tapi yang mau keras, boleh juga," kata Tete Beng. Tete Beng dengan cepat bisa membedakan mana perkara perdata dan mana yang pidana. Ia mengaku nalurinya sangat peka untuk mengetahui siapa yang benar dalam setiap perkara. Tidak dijelaskan bagaimana, tapi Tete Beng mengakui juga bahwa ia memang punya ilmu yang diwariskan oleh seseorang kepadanya. Semacam jimat. Akibatnya setiap perkara bisa selesai dengan damai. Tak ada yang marah atau ingin naik banding. Untuk menghidupi keluarganya, tokoh ini bergantung pada hasil kebun. Jabatannya tidak mengenal upah atau uang jasa. Namun ia tetap bergairah menjabatnya. Satu-satunya yang memperkayanya dari jabatan ini hanya berupa satu stel baju dinas pamong desa, lengkap dengan tanda pangkat yang selalu disimpannya dengan rapi. Dia pakai kalau ada pembesar berkunjung. Yang tidak boleh dilupakan, Tete Beng tidak hanya seorang jagoan. Ia juga seniman tari. Tarian yang dibawakannya bukan tari hiburan, tapi tari perang yang bernama tari kabasaran. Biasanya dilakukan di Lapangan Terbang Sam Ratulangi kalau ada tamu agung--juga kalau ada upacara resmi lainnya. Tete Beng juga pernah menjadi sersan--20 tahun yang lalu--sersan Permesta. Di Jakarta polisi desa mulanya bernama Pagar Baya. Kemudian jadi Pagar Praja lalu Polisi Pamong Praja. Tatkala masih bernama Pagar Baya fungsinya menjaga keselamatan atasannya di tingkat kecamatan sewaktu berpatroli ke desa-desa. Senjatanya meski hanya sebuah pentung, tampaknya angker juga. Sekarang setelah bernama polisi pamong praa keadaannya sudah banyak berubah. Di Kantor Kecamatan Senen (Jakarta) misalnya, kita bisa bingung mencari di mana mereka. Sepucuk pistol sudah terselip di pinggang. Inilah yang membedakannya dengan hansip. Seragamnya abu-abu. Sepintas lalu bisa salah kaprah dengan polisi beneran. "Kami harus siap 24 jam di samping hansip untuk menjaga keamanan," kata M. Ashak, Kepala Polisi Pamong Praja Kecamatan Senen. Menurut dia tugasnya sangat luas. Termasuk membina hansip, tugas-tugas operasionil, penertiban, pelayanan dan sebagainya. Kenapa begitu banyak? "Ya begitulah, yang penting tugas kami memang sangat luas," kata Ashak. Polisi pamong praja di Jakarta tidak terkenal lagi karena peranannya telah digeser ke tingkat kecamatan. Namanya yang lebih populer adalah petugas "kamtibmas". Merekalah musuh para pedagang kaki-lima, pelacur, tuna karya alias gelandangan. Kalau bau petugas Ini tercium, langsung terdengar seruan: "Awas pembersihan, pembersihan!" Lantas ramai-ramai penghuni kaki lima yang tergolong liar menyelamatkan diri seperti ayam diburu elang. Seorang polisi praja bernama M. Yusuf H.S. mengaku tugasnya sekarang lebih ringan dibanding tahun 1974. "Dulu tidak jarang kita harus menghadapi golok, karena kaum gelandangan dan muda-mudi biasanya melawan," katanya "Pernah sewaktu mengadakan operasi di bawah jembatan Kwitang dalam keadaan gelap, saya mendapat sambaran golok. Untung sempat menghindar lantas terjun masuk kali, bau air bercampur sampah tidak terfikirkan lagi," cerita Yusuf. Yusuf ini penduduk Betawi asli. Ganteng dan awet muda. Sepintas kilas kelihatannya baru berusia 25 tahun. Nyatanya sudah beranak 12 orang. Isterinya pun dua. Ia tidak bersedia mengatakan berapa gajinya (belakangan seorang rekannya mengatakan antara Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu). Kebutuhannya terpenuhi karena kedua sterinya membuka warung. "Ada uang insentif sebesar Rp 3 ribu dan uang lembur Rp 1.500," katanya menjelaskan. Ia bekerja 24 jam, selang-seling dengan istirahat. Kadangkala sehari suntuk Yusuf hanya duduk-duduk di kantor kecamatan. Kadangkala sehari di jalanan. "Kami sekarang beroperasi dengan 3 mobil dengan anggota 35 orang bersenjata," katanya. Kemudian dilanjutkannya: "Kalau diukur dengan uang, apalagi kalau tanggung bulan, tidak banyak kesukaan yang bisa diperoleh sebagai polisi praja." Yusuf ini pada mulanya jadi polisi praja hanya iseng, sekedar kerja timbang nganggur. Ternyata ia betah. "Harus banyak tertawa dan senang-senang saja supaya tetap awet," katanya dengan tenang. Muchtar, 28 tahun, polisi pamong praja di bilangan Pasar Minggu, Jakarta mengatakan persoalan yang paling banyak dihadapinya adalah pedagang kaki lima. "Ini soal paling rumit," katanya pada TEMPO. Umumnya para pedagang itu bandel. Memang selalu berhasil dihalau dari tempat terlarang untuk berjualan--tapi toh selalu kembali lagi. "Yang bandel kita sita dagangannya kemudian kita kembalikan dengan suatu peringatan tertulis dengan segel segala. Tapi tetap saja ada orang lain yang muncul," kata Muchtar. Kewibawaan Muchtar bertugas bersama 10 orang rekannya. Waktu tugas dibagi. Pukul 9 pagi sampai pukul 1 siang. Malamnya pukul 10 sampai pukul satu. Tiap unit terdiri dari 5 atau 6 orang. Selama kegiatan Sea Games X yang lalu, para polisi pamong praja dari masing-masing wilayah dikerahkan. Ia menganggap penting kalau petugas seperti dia diberi senjata. "Memang tidak untuk menembak, tapi penting untuk menambah kewibawaan," ujarnya. Soedi, 27 tahun, di Kecamatan Menteng Jakarta juga, sering harus berhubungan dengan gelandangan atau pengemis. Satu kali pernah terjadi seorang pengemis kecil mengusap-usap mobil gubernur yang sedang berhenti di perempatan jalan. Selesai mengusap, pengemis itu menadahkan tangan ke jendela mobil persis ke arah gubernur. Tak berapa lama kemudian handy-talky di tangan Soedi bersuara "Harap segera diatasi pengemis di jalan anu." Perintah ini datang dari piket Walikota Jakarta Pusat. Selama 3 tahun bertugas Soedi mengaku lebih banyak duka. "Senangnya cuma karena ini tugas, harus kita laksanakaan dan cari kesenangan dalam tugas itu, katanya lebih lanjut. Apa misalnya Ia bisa berkenalan dengan para ajudan pejabat-pejabat. "Dapat pengalaman dari ngobrol-ngobrol kalau lagi tugas di rumah pejabat yang sedang mengadakan pertemuan," kata Soedi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus