PUSAT-PUSAT kesehatan masyarakat di Kabupaten Asahan, Sumatera
Utara, belum seluruhnya dimanfaatkan masyarakat sebagaimana
harapan pemerintah yang membangunnya. Gedung-gedung yang
berharga lebih Rp 5 juta sebuah itu sebagian besar (semuanya
berjumlah 18), menjadi lengang. Menurut dugaan para petugas
kesehatan di sana keadaan ini disebabkan oleh fasilitas yang ada
di puskesmas itu. Seperti adanya dokter dan obat-obatan dianggap
sebagai sesuatu yang asing, karena selama ini penduduk hanya
berkenalan dengan dukun. Ini terutama di kampung-kampung yang
jauh dari kota.
Untuk membuat puskesmas itu lebih ramai dikunjungi pasien,
sebelumnya dinas kesehatan di sana berusaha menumbuhkan
kesadaran hidup sehat dengan menyelenggarakan asuransi
kesehatan, yang dinamakan "Dana Sehat". Sekali lirik "Dana
Sehat" ini nampaknya berupa asuransi kesehatan yang dibiayai
oleh penduduk dengan kewajiban menyetor sejumlah uang. Di balik
kearifan bergotong royong tersebut, usaha ini ditujukan oleh
para petugas untuk menumbuhkan kesadaran kesehatan. Usaha itu
nampaknya begitu lambat datangnya, sementara gedung puskesmas
sudah dibangun menggebu-gebu.
Dana Sehat (DS) ini sebenarnya bukan murni fikiran orang-orang
di Asahan. Karena memang sudah jadi jalan keluar yang ditempuh
Departemen Kesehatan, setelah kepergok dengan kenyataan adanya
puskesmas yang belum bisa menarik minat masyarakat DS dikerjakan
dengan agak hati-hati. Tidak semua daerah menyelenggarakannya,
karena harus pula dilihat kemampuan keuangan masyarakat. Dan di
Asahan DS mula-mula diadakan dalam sebuah proyek percobaan di
Kampung Siumbut-Umbut, Kecamatan Kisaran, sejak April 1976.
Berbeda dengan puskesmas yang dipimpin oleh seorang dokter, DS
ini dipimpin oleh kepala kampung dan ketua Lembaga Sosial Desa
setempat. Sedangkan dokter puskesmas dalam kepengurusan hanya
duduk sebagai pembina merangkap pelindung. Tiap kepala keluarga
dipungut Rp 100 per bulan, yang kemudian dibelanjakan untuk
membeli obat dan keperluan lain. Para angota dapat kartu tanda
pengenal.
Setiap pemegang kartu anggota, termasuk anak mereka, dapat
pengobatan gratis. Jika ada yang sakit berat dan perlu mendapat
perawatan di rumahsakit, DS akan menanggung seluruh biaya
pengobatan. Yang menentukan perlu tidaknya seseorang diobati di
rumahsakit, adalah para dokter atau tenaga kesehatan lain yang
sehari-harinya bertugas di puskesmas. Tetapi sambil jalan
petugas-petugas kesehatan yang memang sudah trampil itu, punya
kewajiban pula untuk mendidik dua orang pengurus DS dalam bidang
pengobatan. Maksudnya kalau para petugas sedang dinas ke daerah
lain, maka pengurus DS sendiri dapat mengatasi penderita,
terutama untuk penyakit-penyakit ringan. "Jadi kalau ada yang
celaka, luka misalnya, tak perlu memanggil dokter", kata dr
Lodewik Sitorus, pimpinan Puskesmas Sidorejo, Kisaran, yang
membina DS di Kampung Siumbut-Umbut.
Pertumbuhan DS di Kampung Siumbut-Umbut nampaknya membanggakan
hati, terutama bagi dr TM Panjaitan, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Asahan. "Ketika didirikan anggota dana sehat itu hanya
8 kepala keluarga, tapi setelah berumur 6 bulan sudan 210
keluarga yang ikut", katanya. Itu berarti hampir separuh dari
557 kepala keluarga di kampung itu ikut DS. Lagi pula uang iuran
yang terkumpul sudah mencapai Rp 100.000. Berkat bantuan
anggota-anggota yang dermawan, kini DS Siumbut-Umbut sudah punya
kantor sederhana. Spuit (alat suntik), stetoskop dan seperangkat
meja-kursi sudah pula dimilikinya.
Tidak Pelit
Petugas-petugas kesehatan di Asahan boleh bangga dengan proyek
percontohan dana sehat tersebut. Ketika rombongan ahli dari WHO
yang terdiri dari Karalliyada, NHC de Silva dan Alagoda, mereka
juga nampaknya terkesan dengan proyek Siumbut-Umbut ini. "It's
good ...", komentar salah seorang anggota rombongan.
Melihat hasil yang dicapai di Siumbut-Umbut itu, Bupati Asahan
H. Abdulmanan sejak awal tahun ini punya rencana untuk
melebarkan dana-sehat ke daerah lain. Seperti Teluk Nibung,
Bagan Asahan, Tanjung Tiram, Pangkalan Dodek, Pulau Rakyat,
Kampung Aras dan Kampung Antara. Di antara daerah tadi ada yang
dapat bantuan modal sebesar Rp 300.000. Sedangkan daerah
selebihnya dibiarkan membiayai diri sendiri "Kebijaksanaan ini
ditempuh untuk melihat mana yang berhasil. Yang dapat modal atau
yang memodali diri sendiri", kata dr Panjaitan. Mana di antara
mereka yang berhasil akan dikembangkan. Sebab untuk mengeluarkan
uang sebesar Rp 303.000 lagi, pemerintah daerah Asahan nampaknya
tidak begitu pelit. Kalau usaha itu memang untuk mempertinggi
kesehatan dan kesadaran kesehatan di daerah yang sering dapat
serangan malaria, muntah berak dan tetanus itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini