Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walaupun Indonesia menangis, mari kita bernyanyi?!
Di panggung, suara penyair Hamid Jabbar, 55 tahun, menggelegar meneriakkan kata-kata itu. Ia membungkuk, lalu berjalan ke balik mimbar. Buk?, Hamid jatuh tergeletak. Penonton pun bertepuk riuh. Seperti biasa, penyair kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, itu tampil mempesona.
Beberapa detik berlalu, Hamid masih tergeletak. Penonton masih menunggu, tapi kegelisahan mulai mengapung. Ketika penonton sadar ada yang tidak beres, semuanya sudah terlambat. Hamid telah berpamitan selamanya dengan cara tak terduga. Kegegeran pun tercipta di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang tengah merayakan dies natalis, dan mengundang Hamid, akhir Mei lalu.
"Ternyata itu aksi terakhirnya," ujar Yulianis Zain, istri Hamid. Tak ada firasat khusus menjelang kepergian suaminya. Kalaupun ada, belakangan Hamid lebih sering minta maaf. Sering permintaan maaf itu diiringi kalimat "mana tahu aku meninggal duluan." Ternyata Hamid benar. Ia meninggalkan istrinya lebih dulu karena serangan jantung.
Sosok Hamid sama sekali bukan tipe calon korban serangan jantung. Badannya tidak gemuk. Redaktur senior majalah Horison ini juga tak pernah mengeluh ihwal jantungnya. Ia memang penggemar lemak daging, tapi yang dia derita justru diabetes melitus. Tak aneh, ke mana-mana, ia selalu mengantongi obat diabetes untuk berjaga-jaga jika penyakitnya kambuh.
Di saku satunya, Hamid selalu menyimpan rokok. Maklum, dia perokok berat yang bisa melahap dua bungkus rokok sehari. Lalu, Zain bercerita, kalau diabetesnya kumat, Hamid menderita gatal-gatal, kesemutan di ujung-ujung jari, dan pusing. Bila sudah begini, Hamid akan menelan obat-obat bawaannya. Tapi, sebelum manggung di UIN, Hamid segar bugar. "Sudah takdirnya dia pergi," kata Zain.
Dari sisi medis, menurut Dokter Ach-mad Fauzi Yahya, spesialis jantung dan pembuluh darah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ada kemung-kinan besar sang penyair meninggal setelah mengalami kelainan denyut jantung alias aritmia (arrhythmia). Gara-gara kelainan ini, jantung berdenyut dengan irama tak teratur. Akibatnya, pasokan darah ke otak, jantung, dan sel-sel tubuh yang lain terganggu.
Dokter Eko Antono, spesialis jantung dari Divisi Pelayanan Jantung Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, menambahkan, dalam berbagai kasus kematian jantung mendadak, yang paling umum terjadi adalah fibrilasi ventrikel. Dalam kondisi ini?sebagian dokter menyebutnya aritmia ganas?terjadi kekacauan aktivitas elektrik di bilik jantung, yang berfungsi sebagai mesin pompa darah utama. "Jantung sudah tak ada pompanya lagi, cuma getar, dret? dret?," ujarnya.
Bila itu terjadi, organ tubuh yang pertama terkena adalah otak karena pasokan darah kaya oksigen terhenti. Dan inilah sebetulnya tahap paling kritis. Korban yang terserang harus segera mendapat pertolongan, misalnya dengan alat kejut jantung (defibrilator). "Waktu yang kita punya untuk menolong hanya 4-6 menit," kata Eko. Sayang, tak seorang pun sadar apa yang terjadi pada Hamid saat dia terjatuh sehingga waktu yang sangat singkat itu terbuang.
Dalam rentang waktu sependek itu, sejatinya orang awam bisa memberikan pertolongan. Begitu otot jantung seseorang berhenti, tak ada nadi dan napas, bisa segera diberikan napas buatan. Prinsipnya mengikuti pola ABC, yakni airway, breathing, dan circulation. Dalam dunia medis, upaya orang awam itu masuk kategori bantuan hidup dasar (basic life support).
Setelah upaya itu selesai, giliran orang terlatih yang harus menolong, yakni tenaga medis (advance cardiac life support). Di luar negeri, lewat layanan 911, begitu ada kejadian, ambulans lengkap dengan obat, peralatan, dan paramedis segera ke lokasi. Pada saat yang sama, rumah sakit sudah siap menunggu korban datang. Walhasil, dengan penanganan serba tepat dan cepat, komplikasi pada korban bisa dicegah, risiko meluasnya kerusakan jaringan pun bisa ditekan.
Masalahnya, di negeri kita, langkah cepat seperti itu belum jamak dilakukan. Ketika korban jatuh, orang di sekitarnya sering malah kebingungan. Boro-boro memberikan napas buatan, untuk memanggil ambulans pun banyak yang tidak tahu harus memutar nomor telepon berapa. Kalaupun ambulans datang, keterampilan perawat dan ketersediaan alat juga terbatas. Belum lagi urusan jalan macet.
Pentingnya memberikan pertolongan cepat itulah yang membuat Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita bekerja sama menggelar pelatihan khusus untuk menambah jumlah tenaga ahli penanganan serangan jantung. Dalam kursus selama empat hari yang dibuka dua kali setahun ini, lulusannya diharapkan memiliki kualifikasi yang sama dengan ne-gara lain. Target berikutnya adalah memberikan penyadaran kepada masyarakat. Tujuannya agar orang awam pun bisa memberikan pernapasan buatan kepada korban serangan jantung.
Upaya peningkatan kemampuan orang awam ini penting karena korban akibat serangan jantung mendadak umumnya tewas di luar rumah sakit. Di Amerika Serikat, misalnya, 52 persen kematian terjadi di luar rumah sakit, 19 persen terjadi pada 24 jam pertama perawatan, 8 persen terjadi pada 48 jam perawatan, dan 21 persen kematian terjadi pada masa 30 hari perawatan. Menurut Eko, kematian ini bisa terjadi karena luasnya kerusakan jaringan pasca-serangan atau karena gangguan irama jantung.
Ihwal aritmia, data menunjukkan, sekitar dua juta orang Amerika hidup dengan atrial fibrillation, salah satu jenis aritmia. Data lain, dalam setahun ada 250 ribu orang yang meninggal karena aritmia. Di Indonesia? Sayang, belum ada data pasti.
Secara medis, ada beberapa situasi yang potensial memunculkan aritmia. Situasi itu antara lain munculnya gangguan di pusat pembangkit listrik jantung di serambi kanan (sino-atrial node atau SA node), adanya pemblokiran transmisi listrik dari SA node ke AV node (atrio-ventricular node, pembangkit berikutnya yang berada di antara serambi dan bilik), dan punya riwayat penyakit jantung. Ada aritmia yang muncul karena bawaan dan terkadang ada juga aritmia yang tak bisa ditemukan secara pasti penyebabnya.
Kondisi medis seseorang, seperti mengidap diabetes atau darah tinggi, juga potensial memicu aritmia. Beragam gaya hidup, seperti peminum, perokok, penggemar kopi, kondisi stres, ataupun penggunaan obat-obatan, herba, atau suplemen diet tertentu, idem ditto. Maklum, hal seperti itu bisa mempengaruhi pola alamiah denyut jantung. Di sinilah, bagi almarhum Hamid Jabbar, yang mengidap diabetes dan perokok berat, terbuka kemungkinan kena aritmia.
Sebenarnya aritmia bisa dihindari. Caranya sama persis dengan upaya menghindari penyakit jantung: mengubah perilaku dan gaya hidup, tidak mengalami stres, rajin mengontrol gula darah bagi penderita diabetes, dan sebagainya. Cuma, jika pencegahan tidak berhasil juga, dan ada pertanda mengalami gangguan denyut jantung, pergi ke dokter tak bisa dihindarkan. Apalagi kalau ada gejala seperti sesak napas, capek, pusing, dan gelisah.
Langkah terbaik jika kita curiga menderita aritmia, carilah rumah sakit yang memiliki alat holter monitoring. Di sini, pasien akan dipasangi alat yang merekam detak jantungnya selama 24 jam. Hasil rekaman akan dianalisis komputer sehingga kepastian ada atau tidaknya aritmia cepat diketahui. Selanjutnya, pengobatan dan tindakan dokter bisa segera diberikan. Itu pula yang dilakukan 102 orang di Rumah Sakit Hasan Sadikin, terhitung sejak September 2003 hingga Juni 2004.
Jika semua proses itu dilalui, dan kefatalan bisa dihindari, ajakan Hamid Jabbar untuk bernyanyi bisa dituruti.
Dwi Wiyana, Indra Darmawan (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo