Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK semua prajurid berguna untuk perang. Di Yogya ada yang
dinamakan "Prajurid Kraton" yang tampaknya lebih menyerupai
pajangan. Atau semacam etalase budaya dari masa lalu Kerajaan
Mataram. Mereka umumnya sudah pada tua. Tapi tetap tegak di
Pagelaran menjaga istana Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Abdurachman Sayidin
Panotogomo Kalifatullah Ingkang Kaping IX yang sekarang menjabat
Wakil Presiden R.l
Ada di antara prajurid tersebut orang-orang berada. Mereka punya
hari depan lain dan juga usah sendiri. Mereka punya anak-anak
yang mahasiswa salah satu perguruan di Yogya. Keprajuridan
mereka bukanlah usaha untuk mencari nafkah, akan tetapi
pengabdian dan keyakinan. Barangkali itu sebabnya mereka
mengenakan seragam dengan sebuah keris di pinggang. Mata mereka
memandang ke depan, dengan dagu terangkat. Sementara anak-anak
muda selalu memandang mereka dengan rasa humor.
Untuk Kebudayaan
Dengan senjata tombak kakek Bekel Yudostomo Suryowijayan --63
tahun --dan konconya kakek Ngatijan -- 60 tahun -- berdiri di
sisi regol Kraton. Piket. Mereka bertugas mengawasi orang keluar
masuk Kraton yang memang dibuka lebar buat wisatawan. Pakaian
mereka adalah pakaian "peranakan". Terdiri dari belangkon, kain
batik, keris, baju peranakan dan tanpa alas kaki. Mereka dapat
giliran setiap 10 hari. Lama tugas: satu hari satu malam. Mereka
tergabung daLam barisan "Punakawan" yang jumlahnya kini sekitar
1500. Mereka sangat senang disebut abdi dalem. Ini seakan-akan
memberikan harga diri yang membedakan mereka dengan penduduk
Yogyakarta yang lain.
Prajurid Kraton mulai dikenal sejak Kraton Yogya berdiri tahun
1755. Pada zaman Sultan larnengku Buwono I hingga VI, mereka
masih pinter berperang. Kemungkinan karena situasi tambah tenang
sejak Hamengku Buwono VII, para prajurid tersebut hanya menjadi
inventaris upacara-upacara. Bahkan pada tahun 1939 - Hamengku
Buwono IX - mercka dicoret. Boleh jadi pertimbangannya karena
masing-masing swapraja terikat dengan pemerintah penjajah.
Keamanan kraton pada masa ini ditangani langsung oleh Reh
Purorekso yang mempunyai atasan berpangkat Purorekso.
Dengan Ketetapan Presiden (Soekarno) 19 Agustus 1945, negeri
Ngayogyakarta Hadiningrat dan Paku Alaman menjadi bagian dari
daerah kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1970 reruntuhan
prajurid Kraton dirakit kembali. Bukan karena keadaan mulai
mengharuskan peperangan, tapi semata-mata untuk keperluan
upacara. "Bukan untuk tujuan politis, tapi untuk kebudayaan,"
ujar Karebet Sutardi BCHK, sekretaris Tepas Keprajuridan. Tepas
Keprajuridan yang berkedudukan di kraton, bertugas untuk
mengkordinir. Pimpinannya GP Mangkubumi. Di samping itu juga
banyak bergerak dalam bidang sosial.
Terakhir pada zaman Hamengku Buwono VIII jumlah prajurid kraton
sekitar 900-an. Sekarang tercatat 600 orang. Bedanya yang lain,
mereka sekarang diambil bukan saja dari kalangan "abdi dalem".
Di antaranya ada yang dari mahasiswa dan pelajar. Semacam
peremajaan. Struktur organisasi mengenal tingkatan sebagaimana
yang ada dalam militer pada umumnya. Pucuk pimpinan yang disebut
Manggoloyudo dipegang oleh BRM Ibnu Prastowo--putera Sultan. Di
bawahnya adalah Pandego alias "kapten" sebanyak 7 orang.
Kemudian ada 21 orang Komandan Peleton yang disebut Panji. Di
bawahnya ada 42 orang sersan. Selebihnya prajurid yang disebut
jajar.
Kalau kesatuan-kesatuan tempur memiliki apa yang disebut "para",
prajurid kraton juga punya yang disebut Wirohrojo (prajurid
lombok abang). Pakaian yang dikenakannya berwarna merah.
Peleton-peleton lain memiliki nama dan kostumnya masing-masing.
Dabeng serba putih, Patangpuluh dan Jagakarya pakai lurik.
Prawiratama seragam hitam. Adapun senjata kebanggaan mereka
berupa tombak, panah, towah dan senjata lantaan. Tapi
senjata-senjata ini ditanggalkan kalau ada upacara keprajuridan.
Mereka dapat kesempatan memikul LE hasil pinjaman dari Korem 072
Pamungkas yang tentu saja jauh lebih berat.
Tidak Ada Gaji
Mereka benar-benar pengabdi yang non komersiil. Karena itu gaji
mereka juga rendah sekali. Yudostomo, kakek yang barusan kita
kenal, mengaku dapat gaji Rp 2 ribu per bulan. Ini mestinya
tidak cukup untuk hidup. Tapi orang tua itu membantah. "Cukup!
Sebab yang dipakai adalah berkahnya Sri Sultan " Maklum, bapak
dari 5 anak ini ternyata tidak sepenuhnya menggantungkan diri
pada kraton. Ia nyambi jadi tukang masak "bakpia". Anda tahu
sendiri apa itu bakpia. "Apa yang menyebablan saya kerasan,"
kata Yudostomo, "adalah karena naluri, karena nenek moyang juga
sejak dulu sudah jadi abdi dalem."
Ngatijan alias Ngabei Martopatmo Wiharjo malahan mengaku "tidak
ada gaji." Abdi Lialem yang berasal dari Ringinharjo (Bantul)
ini setiap bulan hanya menerima honor Rp 200. Tapi ia tampak
sangat bangga dengan gelar Mas Ngabei yang diberikan Sultan.
"Yang pokok setia pada Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Sultan
Hamengku Ngayogyakarta " Tentu saja doa restu tidak cukup
dijadikan modal untuk hidup. Ngatijan cukup sehat fikiran untuk
mempertimbangkan hal itu. Ia masih memiliki jatah pensiunan
sebagai pegawai pengairan Kabupaten Bantul, sejak tahun 1970.
Sedangkan di Kraton debutnya mulai tahun 1972. Ia menanggung
anak yang baru duduk di kelas Vl SD. Entah bagaimana nasib
pendidikan anak itu di hari kemudian. Sebagaimana diketahui
fasilitas pendidikan di Nga-Yogyakarta amat luas, tetapi yang
menikmatinya kebanyakan orang luar daerah. Apalagi kalau bukan
alasan ekonomi.
Sesuai dengan dasar tolaknya, persyaratan untuk menjadi prajurid
kraton bukanlah kesempurnaan fisik. Di sini terbuka kesempatan
bagi mereka yang berjiwa militer tapi tidak berbodi perkasa.
Pokoknya setia-Yudostomo misalnya, yang magang sejak tahun 1931,
baru pada tahun 1939 diangkat menjadi abdi dalem. Waktu itu ia
termasuk prajurid Wirobrojo dengan tugas sebagai pemain
drumband. Tentulah ia telah sempat membuktikan kesetiaannya,
kepatuhannya -- sesuatu yang kelihatannya memang sangat terpuji
dalam filsafat hidup orang Jawa.
Sekaten
Para prajurid ini berkesempatan memamerkan diri setiap tahun
pada perayaan yang disebut "Sekaten". Pada hari tersebut mereka
menjadi pengawal dan sekaligus tontonan yang mengingatkan
bagaimana cara-cara kraton menyebarkan agama Islam. Pesta ini
dibuka dengan mengeluarkan "Gamelan Sekaten" yang bernama
"Kanjeng Kyai Sekati" dari kraton menuju ke bangsal "Ponconiti".
Dan pada 5 Maulud yang jatuh pada tanggal 13 Pebruari baru lalu,
para prajurid ini mendapat kehormatan mengawal gamelan menuju
Kaguruan Dalem Masjid Besar. Ini dilakukan pada malam hari
sehingga terasa amat dramatis. Setelah di wiyoskan, kurang lebih
seminggu kemudian, gamelan tersebut ditabuh di halaman masjid
besar Kaumanan. Lantas menjelang tengah malam pada 12 Maulud (19
Pebruari yang lalu) dikawal kembali masuk kraton. Disusul pagi
berikutnya yang diisi oleh upacara bernama "Grebeg". Upacara
yang juga disebut "Gunungan" ini sebagai hajat dengan
membagi-bagikan makanan kepada rakyat setelah terlebih dahulu
didoakan di masjid. Upacara semacam ini juga diselenggarakan
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan kraton tetap
sebagai dalangnya.
Setiap tanggal 28, orang seperti Yudostomo menerima gajinya yang
sedikit itu. Tapi setiap hari itu pula nyawanya Seperti
disambung oleh bangga karena bisa mengabdi. Lepas dari adakah
pengabdian total boleh dianggap sebagai sari teladan, tugas
sebagai prajurid-prajurid etalase ini sudah memberikan hiburan
buat orang-orang tua. Mungkin fungsi sosialnya akan berkembang
sehingga kelak ia bisa merupakan kesatuan yang berarti lebih
dari pajangan. Sekarang yang dapat dicatat, ia telah sempat
membuat orang kecil merasa bangga dalam kesederhanaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo