Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Manfaat Taman bagi Kesehatan Kejiwaan

Anak yang tinggal di permukiman padat penduduk rentan mengalami gangguan mental, seperti mudah marah dan tersinggung. Keberadaan taman dan ruang terbuka hijau bisa menjadi solusi menekan risiko gangguan kesehatan anak.

2 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Anak yang tinggal di permukiman padat penduduk rentan mengalami gangguan mental, seperti mudah marah dan tersinggung.

  • Anak-anak tersebut juga berisiko sulit berkonsentrasi saat belajar.

  • Keberadaan taman dan ruang terbuka hijau bisa menjadi solusi menekan risiko gangguan mental anak.

JAKARTA — Memakai baju bola kedodoran, Azam berdiri membungkuk di bawah mistar gawang futsal di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Krendang, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, pada Senin, 30 Mei lalu. Bocah berusia 8 tahun itu dipercaya menjadi kiper oleh anak-anak lain yang lebih tua usianya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun penampilan Azam tak seciamik gayanya yang dimirip-miripkan kiper klub Liga 1. Dengan mudah ia kebobolan. "Biarkan saja, Bang, enggak apa-apa, biar dia ikut main," kata Noval, 13 tahun, yang ikut bermain sepak bola saat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cuaca berawan dan berangin pada sore itu membuat suasana bermain di RPTRA Krendang semakin asyik. Bahkan anak-anak harus bergantian memakai lapangan futsal. "Karena enggak hujan, jadi ramai," kata Noval, bocah kelas VII SMP.

Noval, Azam, dan kawan-kawan tinggal tak jauh dari RPTRA Krendang. Hampir saban sore mereka bermain di taman publik itu. Mereka tak pernah bosan bermain sepak bola.

Jika lapangan futsal gratisan di RPTRA Krendang sedang dipakai kelompok lain, Noval cs memilih kongko sambil bercerita dan bercanda di sudut lain Taman Krendang. Bagi mereka, duduk-duduk di taman sudah cukup menyenangkan dalam mengisi waktu luang pada sore hari. Terlebih mereka tinggal di gang-gang sempit di Tambora, permukiman terpadat di Asia Tenggara dengan 50 ribu orang per kilometer persegi. "Makanya sering ke sini. Di sini adem dan luas buat main," kata dia.

Sejumlah anak dan warga bermain di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Jakarta Barat, 30 Mei 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Orang dewasa juga menghabiskan hari di RPTRA Krendang. Kebanyakan adalah orang tua yang mengajak anak balitanya. Seperti Rusli, pria 35 tahun, yang mengaku sering mengajak anaknya, Sarah, 5 tahun, bermain di taman seluas 2.692 meter persegi itu. "Teman-teman seumurannya juga banyak, jadi bisa bermain bareng," kata pengemudi ojek online tersebut.

Adapun Susi, 28 tahun, berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menambah atau memperluas RPTRA Krendang. Menurut ibu rumah tangga itu, taman tersebut sangat bermanfaat bagi warga. "Terutama yang tinggal di kampung padat. Jadi alternatif hiburan setiap hari," kata dia.

Situs berita 360info yang berbasis di Monash University, Melbourne, Australia, baru-baru ini menulis tentang ancaman kesehatan mental bagi penduduk di permukiman padat seperti di Tambora. Kepadatan penduduk di kecamatan itu mencapai 50.627 orang per kilometer persegi. Padatnya penduduk membuat akses mendapatkan air, bahkan udara bersih, pun terbatas. Walhasil, RPTRA Krendang menjadi solusi bagi warga sekitar untuk sekadar meluruskan kaki.

Dalam artikel yang ditulis oleh Eka Permanasari, asisten profesor di Monash Art, Design, and Architecture Monash University, itu, tempat tinggal yang padat berpotensi mengganggu kesehatan mental warganya. Adapun ketersediaan ruang terbuka hijau bisa meningkatkan kesehatan mental seseorang. Walhasil, ruang terbuka hijau semacam RPTRA diyakini bisa menjadi obat melepas penat dan stres yang cukup ampuh bagi masyarakat yang tinggal di permukiman padat. (Baca: A Place to Breath in Jam-packed Jakarta)

Masih merujuk 360info, pengajar di Aarhus University, Kristine Engeman, menulis artikel tentang korelasi ruang terbuka hijau dengan kesehatan anak, khususnya kejiwaan. Menurut sejumlah hasil penelitian di Denmark, Engeman menyimpulkan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan alami yang asri cenderung lebih rendah risiko terkena penyakit mental di kemudian hari.

Singkat cerita, anak yang tumbuh di lingkungan perkotaan cenderung lebih berisiko mengalami gangguan mental saat dewasa. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 450 juta orang di dunia mengalami gangguan mental. Mayoritas mereka tinggal di perkotaan. WHO memprediksi angka tersebut bisa semakin naik, mengingat semakin banyaknya penduduk dunia yang tinggal di kota padat. "Jadi, hidup di lingkungan lebih hijau dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Meningkatkan pemulihan stres dan mengikat ikatan sosial di lingkungan," kata Engeman. (Baca: Greening the City to Prevent Mental Illness)

Sejumlah anak dan warga bermain di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Jakarta Barat, 30 Mei 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Psikolog klinis Anna Surti Ariani menyebutkan sejumlah penelitian luar negeri yang menyinggung tentang efek buruk bagi anak yang tinggal di permukiman padat penduduk. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, anak-anak yang tinggal di kawasan padat cenderung sering sakit dan izin tak masuk sekolah.

Anak-anak itu juga cenderung mendapat nilai yang lebih rendah, kurang konsentrasi saat belajar, hingga lebih mudah marah dan tersinggung. "Lebih mudah dipengaruhi oleh orang lain secara negatif," kata psikolog yang lebih dikenal dengan panggilan Nina itu.

Dia menyebutkan anak-anak yang tinggal di permukiman padat di DKI Jakarta memang membutuhkan ruang terbuka hijau seperti RPTRA. "Baik juga kalau masyarakat secara bergotong royong membantu menjaga anak-anak di ruang terbuka hijau," kata Nina.

Dosen psikologi dari Universitas Indonesia, Dian Wisnuwardhani, mengatakan tinggal di permukiman padat memang rentan menimbulkan beragam persoalan. Singkat kata, bersenggolan di lingkungan rumah saja bisa berakibat panjang.

Kondisi seperti ini yang membuat anak-anak yang tinggal di lingkungan tersebut mudah marah. Belum lagi dekatnya interaksi anak dengan lingkungan usia dewasa bisa mempengaruhi cara pikir hingga bahasa anak.

Selain itu, keterbatasan ruang gerak membuat proses perkembangan mental anak terganggu. Sebab, sebagai anak, mereka membutuhkan waktu untuk bermain. Banyak hal yang bisa diserap anak saat bermain. "Jika ruangnya terbatas, terbatas pula kesempatan mereka mengeksplorasi hal-hal baru," kata Dian, kemarin, 1 Juni.

Padahal, dalam proses eksplorasi tersebut, anak bisa mendapat beragam keuntungan, dari membangun kepercayaan diri sampai cara berinteraksi dengan teman seumuran. Walhasil, menurut Dian, orang tua harus cerdas memenuhi kebutuhan perkembangan mental anak.

Cara paling sederhana adalah rutin mengajak anak ke taman hijau atau RPTRA. Setidaknya, taman yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu bisa mengakali kebutuhan ruang terbuka yang selama ini sulit didapatkan. "Dua kali sepekan saja cukup. Itu sudah memberi kesempatan anak eksplorasi ruang terbuka hijau," kata Dian.

Saat bermain di taman itulah, para orang tua harus memanfaatkan situasi untuk membuat waktu kumpul berkualitas. Caranya dengan mengajak anak bermain atau sekadar saling bercerita. Aktivitas tersebut akan sangat bermanfaat dalam perkembangan mental anak. "Buat anak nyaman. Termasuk mengajarkan anak contoh berperilaku baik diterima secara norma sosial," kata Dian.

Bukan cuma mental, tinggal di permukiman padat penduduk dapat mengganggu kesehatan fisik anak. Dokter anak-ahli gastro hepatologi Ariani Dewi Widodo menyebutkan diare dan infeksi saluran pernapasan akut menjadi penyakit yang paling rentan menjangkiti anak yang tinggal di permukiman padat. "Keduanya penyebab kematian tertinggi pada anak," kata Ariani, kemarin. Gangguan kesehatan lain yang umum menyerang kelompok itu adalah penyakit kulit.

Untuk menekan risiko penularan penyakit-penyakit tersebut, Ariani berharap orang tua lebih giat menjaga kebersihan anak dan tempat tinggal. Contohnya, memastikan sumber air bersih untuk minum, memasak, dan mencuci. Air minum harus direbus hingga mendidih. Kebiasaan mencuci tangan sebelum dan setelah makan harus dijaga. Selain itu, konsumsi makanan harus terjaga kebersihan dan keseimbangan gizinya.

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus