Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Generasi Siap Pakai

Desainer muda saat ini banyak yang mengawali karier lewat busana siap pakai. Tantangan berat, tapi inilah fondasi industri mode.

5 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun lalu Stella Rissa berhasil menarik perhatian dunia mode Tanah Air. Saat itu usianya 23 tahun, baru dua tahun lulus sekolah mode College LaSalle, dan untuk pertama kalinya menggelar fashion show. Pergelaran koleksi perdananya dibicarakan banyak orang karena dua hal. Pertama, tidak digelar di hotel mewah sebagaimana layaknya pergelaran busana lain, tapi di Taman Menteng, Jakarta Pusat, yang gerah. Kedua, dia mengawali karier dari jalur ready to wear.

Ini adalah pilihan berani. Apalagi untuk pemula. Harus ada modal besar untuk membuat sejumlah koleksi dari berbagai ukuran dan warna. Semuanya wajib tersedia di toko meski belum tentu laku. Ketika ditemui di Indonesia Fashion Week pada akhir bulan lalu, Stella masih berapi-api bicara tentang bisnis busana siap pakainya. Juga tentang butiknya di Mal Grand Indonesia. Sepertinya, dia berhasil mewujudkan obsesinya.

Ada banyak desainer muda masa kini yang sejak awal berkonsentrasi pada busana siap pakai. Kecenderungan ini agak berbeda dengan para senior mereka yang dulu memulai kariernya dari jalur made by order. Jalur "dibuat karena dipesan" ini jadi favorit karena aman. Selain hanya dibuat manakala ada pemesan (artinya tak ada retur), harganya lebih mahal daripada busana siap pakai. Setelah mapan, biasanya mereka baru mau melirik busana siap pakai. Biyan adalah satu perancang senior yang berhasil membesarkan label busana siap pakai.

Perancang muda lain yang sejak awal sudah merintis busana siap pakai adalah Kleting Titis Wigati. Ia membuat merek Kle pada 2008. Label yang berfokus pada kaus, kemeja, celan panjang, gaun, dan aneka jaket ini semakin disukai anak muda. Perancang kelahiran 16 November 1981 ini mengaku jatuh cinta pada ready to wear karena pengalamannya bekerja di beberapa label dari Hong Kong dan Italia. "Tantangan awalnya berat, karena apa mungkin aku bisa bersaing dengan label impor yang sudah mendunia dan mendapat tempat di Indonesia," kata dia.

Untuk menekuni pilihannya ini, Kleting membobol tabungan dari delapan tahun bekerja di beberapa tempat. Dengan modal awal hanya Rp 20 juta, dia membuat koleksi yang simpel. Kle membidik pasar usia 18-35 tahun dengan harga mulai ratusan ribu hingga di atas sejuta rupiah. Dalam setahun, dia dua kali mengeluarkan koleksi dengan 500 potong busana. Kleting kini memiliki butik di Level One Grand Indonesia. Di luar itu, dia memasarkan produknya ke Bandung, Bali, bahkan Singapura.

Tak seperti Stella dan Kleting yang membangun usahanya sendiri, Dana Maulana, 32 tahun, memilih berpartner. Bersama Syarifah Liza Masitha pada 2000, mereka membuat label ready to wear Danjyo, yang berarti keren dalam bahasa Jepang. Belakangan, Rama Adrianus Dauhan, yang pernah bekerja tujuh tahun di label busana siap pakai milik Biyan XSML, bergabung dan menambahkan nama Hiyoji untuk produk ready to wear pria.

Mereka meraih penghargaan majalah Elle Indonesia sebagai Fashion Label of the Year 2011 serta Ready to Wear Label Award 2012 dari InStyle.

Mereka tertarik masuk ke busana siap pakai setelah melihat pergerakan distro. "Hanya, model dan desain distro terlalu basic. Kami ingin menambahkan sentuhan desainer dalam sebuah koleksi ready to wear," kata Dana. Harga busana DH dari Rp 295 ribu hingga Rp 825 ribu. Gerai pertama mereka dibuka pada Agustus 2010 di Level One, Grand Indonesia. Koleksi mereka juga hadir di Leftfoot Entrepot dan BlackMarket (Singapura), serta Australia.

Tantangan terberat para desainer muda di jalur siap pakai ini adalah soal produksi. "Dengan membuat sendiri, kami tak mungkin memproduksi secara massal. Karena sedikit, ongkos produksi jadi mahal," kata Stella. "Padahal, kalau dikerjakan secara massal oleh garmen, ongkosnya bisa dipangkas sampai 50 persen."

Harga mahal itu agak susah bersaing dengan rumah mode impor seperti Zara. Kleting mengaku nyalinya sering ciut manakala melihat label-label impor mengumbar diskon. Hal itu membuat koleksi mereka kurang diminati. "Tetapi aku berusaha konsisten, jalan terus pantang mundur mau segede apa pun rintangannya," kata alumnus Istituto Maragoni, Milan, Italia, ini.

Bertahan di tengah badai seperti itu memang melelahkan. "Saya tidak mau pret a porte (busana siap pakai) lagi," kata Bai Soemarlono, pendiri merek Populo, yang sempat dipasarkan di Koln dan Berlin pada 1997-2007. Kini nama itu diabadikan sebagai nama butik. "Produksinya sangat besar, kalau tidak didukung investasi besar seperti perusahaan konglomerasi, sangat sulit. Lama-lama capek juga," ujar Bai.

Kelelahan yang sama sudah mulai dirasakan Stella. Karena itu, dia ingin menggandeng perusahaan besar—baik di bidang retail maupun produksi. Dengan demikian, dia bisa berkosentrasi dalam desain, karena urusan bisnis sudah diambil alih oleh pihak yang lebih mengerti. "Tanpa itu, label ini tak akan ke mana-mana," kata dia.

Qaris, Hadriani, Evieta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus