Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HERMAN nekat, dan karena itu jadi berita. Dua pekan lalu ia mengoperasi dirinya sendiri. Bukan untuk menyaingi dokter. Pemuda 24 tahun itu memang tak punya duit. Keruan saja, para dokter di RS Pirngadi (RSP) Medan, yang sebelumnya merawat Herman, terheran-heran. Di Jakarta, Menteri Kesehatan dr. Adhyatma, M.P.H. menyesalkan kejadian itu. Kepada kantor berita Antara, Adhyatma mengatakan, mestinya Herman bisa dioperasi gratis. Syaratnya, ringan: surat keterangan lurah yang menyatakan bahwa pihaknya benar-benar tidak mampu. Tapi apa boleh buat. Nasi sudah jadi bubur. Herman sekarang mesti menginap di RSP. Serentak dengan itu, rezeki yang tersendat kini mengalir. Sesudah kejadian itu ramai diberitakan, banyak orang jatuh iba. Dan sumbangan pun melimpah untuknya. Swa-operasi macam apa yang dilakukan Herman? Pemuda itu sebetulnya tidaklah sembrono. Menurut sumber TEMPO -- seorang ahli bedah di Medan -- yang dilakukan Herman tidak tergolong operasi rumit. Menurut sumber yang tak mau disebutkan namanya itu, batu di kandung kemih Herman sudah sangat menonjol. Maka, yang dilakukan Herman samalah seperti menyayat duri yang tampak ujungnya dari bawah kulit. Atau seperti orang memecahkan bisul. Namun, ini pun sebenarnya mesti dipercayakan pada dokter. Mengapa Herman begitu nekat? Ceritanya panjang. Bermula tahun 1985. Herman, yang bekerja sebagai montir, mengalami kecelakaan ketika mencoba motor yang baru direparasinya. Tulang dekat kemaluannya patah. Terjadi pula pendarahan di bawah perut bagian dalam. Dan yang gawat, saluran kencing di penisnya mengalami cedera. Hasil pemeriksaan di RSP menunjukkan bahwa cedera pada jaringan itu mengakibatkan penyempitan saluran kencing. Proses rehabilitasi segera dilakukan. Herman menjalani operasi pengupasan bagian bawah perut, dengan tujuan membuka kantung kencing. Dari kantung itulah air seni Herman dikeluarkan lewat kateter -- slang pembuangan darurat. Sementara itu, saluran kencingnya yang tersumbat disodok, agar bisa berfungsi normal. Proses penyodokan ini makan waktu lama. Pelebaran itu dilakukan untuk memasukkan semacam kateter besi -- berbagai ukuran -- dari hulu ke hilir penis, menyusuri saluran kencing di kemaluan. Bisa dibayangkan sakitnya. Untuk ini, Herman tak perlu dirawat di rumah sakit, namun ia harus tetap datang ke RSP untuk kontrol. Bila penyempitan terjadi lagi, penyodokan harus diulang. Menurut sumber TEMPO tadi, kasus-kasus penyempitan saluran kencing memang sulit terapinya. Apalagi penyempitan yang terjadi karena cedera. Diperlukan kesabaran, baik di pihak dokter maupun pasiennya. Herman rupanya tidak sabar. Berbulan-bulan ia tak datang untuk kontrol ke RSP. Mungkin karena rumahnya jauh. Lagi pula, kondisi ekonominya tidak memungkinkan. Dan dia juga tidak tahan sakit. Akibatnya jelas: penyempitan saluran kencing semakin parah. Ketika Herman pulang ke rumah orangtuanya di Desa Sukatani, Kuala Binjai, Kabupaten Langkat, 38 km dari Medan, ia mulai sulit kencing. Tentu saja. Selain itu, ada rasa perih di kandung kemihnya bila buang air kecil. Herman kembali ke RSP untuk diperiksa. Setelah dua kali dironsen, ketahuan ada batu bersarang di kantung kemihnya. Nah, itu batu dari mana datangnya? "Pangkal pembentukan batu itu adalah penumpukan air seni pada kandung kemih Herman," kata sumber TEMPO. Karena penyodokan saluran kencingnya tidak sempurna, pembuangan air seni Herman terhambat. Dan air seni yang tidak bisa terbuang itu menumpuk berlebihan di kandung kemih. Akibatnya, terjadi kristalisasi dalam jumlah besar, dan ini memang potensial dalam pembentukan batu. Tak ada jalan lain, batu itu mesti dikeluarkan. Cara satu-satunya cuma operasi. Tapi uang tak ada. Biaya operasi sebelumnya, 400 ribu rupiah, sudah merepotkan Juhrah, ayah Herman yang berasal dari Banten. Untuk itu, Juhrah habis-habisan, sampai terpaksa menjual sepetak sawah. Maka, Herman pasrah saja. Ia mencoba bertahan. Supaya tidak terlalu sakit, ia pun mencoba mengeluarkan sendiri air seninya lewat perut. Ia menemukan lubang kecil di bawah perutnya. Lubang apa itu? Itulah warisan operasi pemasangan kateter di kandung kemih Herman yang tidak sempurna. Mungkin pada operasi di RSP dulu, mungkin pada pencabutannya. Akibatnya, muncul saluran abnormal dari kandung kemihnya, ke kulit di bawah perut. Dari "kateter" yang tersisa ini, Herman mengeluarkan air seninya dengan alat injeksi. Ternyata, ia bisa kencing lebih banyah dengan cara ini. Dan rasa sakit yang dideritanya agak berkurang. Namun, timbul cobaan baru. Batu di kantung kencing Herman semakin membesar. Sakitnya menjadi-jadi. Oktober lalu famili terdekatnya sepakat memikul beban bersama. Mereka mencoba mengumpulkan duit, untuk dana operasi Herman. Cuma, jumlahnya tak juga cukup. Sementara itu, saking besarnya, batu yang bercokol di bagian bawah perut terasa menonjol. Kesabaran Herman habis. Akhir November lalu, pemuda kurus dan agak gondrong itu tidak tahan lagi melihat tonjolan batu di bawah kulit perutnya. Ia menyayat kulit perut di bawah pusatnya dengan silet. Darah muncrat. Karena masih sulit mengeluarkan batu, buru-buru sayatan itu dilebarkannya dengan gunting kecil yang memang sudah disiapkannya. Ketika itu Herman melolong kesakitan. "Tentu saja, bedah tanpa bius, siapa bilang tidak sakit," ujar Herman, yang ditemui TEMPO di RSP. Ketika tetangganya berdatangan, mereka lihat Herman tergeletak di tikar bersimbah darah. Di tangan kanannya gunting, di kiri batu sebesar mangga berlumuran darah. Waktu ditimbang, berat batu ini 250 gram. Mereka tak segera membawa Herman ke RS. Musyawarah dulu soal biaya. Mujur bagi Herman, ada Abi Hajad. Pemimpin Pesantren Nurul Amal itu menyumbang Rp 100 ribu. Barulah kemudian Herman diboyong ke RSP. Belakangan, setelah surat kabar memberitakan soal Herman, masyarakat geger. Dan muncul dermawan lain, Mahruzar Muchtar. Direktur PT Addis Ababa ini bersedia membiayai pengobatan Herman sampai sembuh. Laporan Makmun Al-Mujahid (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo