Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. dr. Lili Legiawati, Sp.KK(K), menyebut sejumlah penyebab kebotakan berpola atau Androgenetic Alopecia (AGA). Salah satunya faktor keturunan. Menurutnya, hormon androgen pada laki-laki berperan menyebabkan miniaturisasi atau mengecilnya folikel rambut dan kondisi ini banyak dialami yang berusia di atas 50 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Di atas 50 tahun hampir 50 persen botak tetapi pada orang Kaukasia itu lebih cepat. Pangeran Andrew usia 30 tahun sudah botak. Kalau kita orang Asia, Afrika, lebih lambat botaknya," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada yang sudah mengalami kebotakan di bawah usia 30 tahun, penyebabnya tak hanya genetik tetapi juga faktor stres dan peranan mikronutrien seperti zinc, biotin yang mempengaruhi kesuburan rambut. Namun, hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Perempuan juga bisa botak
Kolega Lili, dr. Farah Faulin Al Fauz Lubis, mengatakan tak menutup kemungkinan yang berusia di awal usia 20 tahun juga mengalami kebotakan. Kemudian tak hanya lelaki, perempuan juga berpeluang mengalami kebotakan berpola dengan gambaran rambut yang lebih tipis di bagian puncak kepala. Hanya saja, penyebabnya bukan didominasi hormon androgen.
Farah menyayangkan orang-orang di Indonesia yang cenderung pasrah menghadapinya. Padahal, kebotakan berpola sebenarnya bisa disembuhkan dengan ketelatenan dalam perawatan.
Sejauh ini, terapi AGA yang diizinkan BPOM-nya Amerika Serikat (FDA) menggunakan finasterida oral dan minoksidil topikal. Namun, penggunaan finasterida oral dapat memberikan efek samping yang mengkhawatirkan bagi pasien, antara lain penurunan libido dan disfungsi ereksi.
Menurut penelitian yang dilakukan di Eropa, pengunaan finasterida topikal dapat memberikan khasiat yang sama dengan penggunaan finasterida oral dengan kemungkinan efek samping sistemik yang lebih kecil. Kombinasi dengan minoksidil topikal juga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas terapi.
Penelitian lanjutan mengenai keamanan finasterida oral dan monoksidil pun akan dilakukan Lili bersama Farah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan bagi pria untuk dapat merawat dan mengobati AGA dengan efek samping sistemik yang lebih kecil. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian lanjutan terkait efektivitas dan keamanan dalam pemberian kombinasi finasterida 0,1 persen topikal dan minoksidil 5 persen topikal sebagai salah satu pilihan terapi AGA.