Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP tahun Sungai Citarum muntah besar. Tanggul-tanggulnya
kini dalam keadaan kritis. Ada sebuah jembatan beton peninggalan
Belanda -- panjang lebih kurang 200 meter antara
Jakarta-Karawang, dikhawatirkan akan rubuh. Ini bukan
semata-mata korban kebinalan alam, tapi akibat perkosaan manusia
juga.
Para penggali pasir di sepanjang lidah Citarum dianggap telah
menggasak pasir secara keterlaluan. Pemerintah Kabupaten
Karawang dan Bekasi, sudah kewalahan menyerukan larangan
mengggaruk pasir di setiap tikungan kali dalam jarak 500 meter
ke hulu dan ke hilir. Toh usaha mendapatkan hidup yang bisa
mendatangkan bahaya bagi umum itu, tetap gencar. Padahal
tanggul-tanggul di Kecamatan Rengasdengklok dan Batujaya yang
pernah bobol, seharusnya bisa dipakai sebagai contoh soal.
Waduk Jatiluhur
Pembangkangan yang dilakukan oleh para penggali pasir, bukan
karena mereka tidak ingin taat kepada pemerintah. Alasannya
mudah diduga: berhenti menggali sama dengan berhenti makan.
Pemerintah tidak menawarkan kesempatan kerja lain. Ini cukup
gawat, karena jumlah penggali pasir antara Karawang dan Bekasi
mencapai 3.000 orang. "Jadi kalau tak boleh beroperasi di situ,
mesti di mana? Berhenti kerja jelas tak mungkin!" kata Darsih,
di tikungan Citarum yang bernama Kertalaya, Rengasdengklok.
Darsih, 40 tahun, mengatakan bahwa hidup dari pasir Citarum
sudah dilakukan orang sejak zaman Belanda guna memenuhi arus
pembangunan di Jakarta. Sebelum ada waduk Jatiluhur, kiriman
pasir dari hulu sungai gencar, sehingga tak perlu takut tanggul
atau jembatan akan bobol. Kini Jatiluhur memonopoli pasir-pasir
itu, sehingga boleh dikatakan krisis pasir sudah mulai nyata.
Pasir di kawasan Citarum boleh dikata hampir punah, sehingga
Darsih harus bertahan di tempatnya sekarang.
Rengasdengklok dan Batujaya, dulu tersohor karena mutu pasirnya
terpuji untuk memasang bata, termasuk pelester tembok. Sekarang
mutunya anjlok, pasirnya pun tak banyak lagi. "Pasir dari sini
kini hanya bisa untuk penimbun pondasi bangunan saja," kata
Darsih. Lantas ia menunjuk ke jembatan Belanda yang sudah kritis
itu. Di sekitar jembatan itulah selama 7 tahun ia dan
rekan-rekannya menyambung hidup dengan mengeduk pasir. Tonggak
beton penopang jembatan kini -- menurut pengamatan beberapa mata
-- sudah miring. Di atasnya ada jalan kereta api dan mobil.
Kalau kereta api lewat, yang bersangkutan terpaksa mengurangi
kecepatan supaya getarannya berkurang.
Pa'ul (48 tahun) rekan Darsih mengakui, garukannya termasuk
yang menyebabkan beton yang kokoh itu sedikit menggeliat. Tapi
sampai sekarang ia tidak mengurangi kerajinannya. Alasannya,
kerja itu sudah terlalu melekat. Tetapi Pa'ul ini tidak menggali
setiap hari. Ia masih punya kerja lain di Mekaryati (Karawang)
sebagai buruh tani. Hanya setelah musim-musim mnanam lewat, ia
seratus prosen merampok Ciliwung. "Habis di sini kan tak pakai
modal uang dan langsung dapat upah," ujarnya. Sehari, kalau
rezeki bagus ia bisa mengantongi sampai Rp 800.
Penggali pasir bekerja beramai-ramai dengan ukuran perahu.
Setiap seperahu pasir, upah penggaliannya Rp 1500. Pekerjaan
dimulai pukul 7 pagi, berakhir pukul 5 sore. Ta'in (30 tahun)
yang dibantu oleh 2 orang anaknya, bisa mengisi 6 perahu dalam
sehari. Tapi upahnya masih harus dibagi dengan kelompok yang
anggotanya 14 orang. Kebanyakan kaum penggali ini tidak memiliki
izin menggali.
Ingin Sawah
Pemerintah setempat mengizinkan daerah di sekitar jembatan
dipakai sebagai pangkalan penimbunan, asal operasi jauh di hulu.
Hal tersebut sulit dipatuhi. Pada musim hujan, sukar mencapai
hulu sungai karena banjir. Sedangkan saat kemarau sama tak
berdayanya, karena perahu kandas. Jadi akhirnya operasi tetap
saja ngubek di sekitar jembatan. Ini menyebabkan pemerintah
terpaksa unjuk gigi. Perahu-perahu ditangkapi, orang-orangnya
ditahan. Toh tindakan itu tidak membikin orang jera. "Sebelum
dapat kerja lain, Citarum tak bakal kami tinggalkan," kata
mereka hampir serentak.
Permintaan pasir dari Jakarta tetap gencar. Di Teluk Bango,
Kecamatan Batujaya, penggali pasir bekerja sampai malam hari.
Tetapi tak seorang pun di antaranya yang berhasil kaya. Hidupnya
pas-pasan. Rumah reyot, menu tetap ikan asin dan tak mampu beli
pakaian kontan. "Padahal tenaga yang diperas besar," kata
mereka. Ini tentu merawankan. Sebeb sementara kerja mereka di
sana dilarang, mereka juga sebenarnya tak mendapat banyak. Tapi
apa boleh buat.
Berbeda dengan Kali Citarum, Kali Cimanuk di Indramayu dikerubut
oleh sekitar 300 penggali. Sebagian besar kaum wanita. Mereka
menggerayangi sungai mulai pukul 6 pagi hingga sore pukul 4. Di
sini tidak ada larangan menggali, malah pemerintah melihatnya
dengan mata bercahaya. Pasir yang disabet adalah bawaan banjir
yang mengendap di tengah kali. Dengan adanya barisan penggali,
sungai itu tetap terpelihara kedalamannya, sehingga mengurangi
bahaya meluap. Jadi rakyat penggali bagaikan "kapal keruk"
gratis.
Tetapi dilarang atau pun tidak, rupanya hidup para penggali
pasir tetap merupakan kerja berat dengan hasil kecil. Para
wanita di Indramayu yang mengangkut pasir dengan bakul bambu,
mendapat upah Rp 5 untuk satu bakul. Para lelaki yang memikul
dua bakul mendapat dua kalinya. "Memang setengah modar, tapi
kalau tak bekerja keluarga kami tak makan," kata Cantel, wanita
penggali yang berusia 51 tahun.
Cantel lahir dari keluarga buruh tani di kampung Rambatan Wetan,
Kecamatan Sindang. Sejak berangkat dewasa, ia terjun ke kali. Ia
mendapat suami di tepi kali. Sekarang memiliki 4 orang anak yang
disuapinya dengan nafkah dari kali. "Kalau menunggu hasil suami,
repot, jadi saya juga harus kerja," kata Cantel. Maka pukul 4
subuh ia sudah terjaga, langsung menyiapkan sarapan dan makan
siang untuk seluruh keluarga.
Dengan memeras otot, Cantel hanya bisa mengumpulkan Rp 250
sehari. Plus pendapatan suaminya, pukul rata keluarga itu hanya
punya Rp 750 setiap hari. Buat makan memang cukup. Tapi Cantel
berambisi untuk meneruskan sekolah anak-anaknya -- sehingga
pendapatan itu sangat pas-pasan. Kesempatan kerja lain tak ada.
"Di kampung sepi begini mau kerja apa?!" tanyanya setengah
membantah.
Kalau musim banjir, kadangkala keluarga Cantel terpaksa nyantol
3 bulan --tanpa kerjaan. Waktu itulah biasanya simpanan ludas.
Namun ia tak bisa mengutuki banjir, justru karena itulah pasir
bisa menumpuk untuk digali pada kesempatan berikutnya. Ia
sendiri tidak memikirkan lagi dirinya, tidak peduli apakah ia
masih akan sempat menikmati keadaan yang lebih enak. Yang
difikirkannya adalah anak-anak. Dan untuk itu ia mengandalkan
sekolah. "Asal mereka nanti tidak menderita sepeti orangtuanya,
cukup!" kata wanita itu dengan suara sendu.
Berkah dari Kali Cimanuk tidak hanya diangkut orang-orang tua.
Banyak penggali muda usia ikut bergumul di tepi kali. Ada yang
bernama Ropiah yang baru berusia 10 tahun dan terpaksa menggali
karena putus sekolah. Gadis kecil ini bahkan bekerja dibantu
oleh adiknya. Bapaknya seorang tukang becak, pernah memimpikan
dia untuk jadi guru. Tapi lelaki itu keburu meninggal tanpa
meninggalkan modal buat Ropiah. "Kalau biaya berguru juga tak
punya, bagaimana bisa jadi guru," kata Ropiah kepada Helman Eidy
dari TEMPO.
Sementara itu ada juga yang bernama Rusnan, seorang wanita yang
berusia lebih dari setengah abad. Cucunya sudah 6 orang, tetapi
ia masih tetap getol bekerja. Setiap pagi ia menempuh jarak 3
kilometer ke pangkalan penggalian. Ia sudah menggali sejak 25
tahun yang lalu. Tampaknya ia akan mengakhiri segalanya juga
sebagai seorang penggali, karena kelima anaknya yang juga jadi
penggali pasir, semuanya hidup pas-pasan. Penghasilannya Rp 350
sehari. Tinggal di sebuah rumah warisan sendirian, ketika TEMPO
menanyakan, apa yang masih diharapkannya dalam usia setua itu di
tepi Cimanuk ia segera menjawab tak ragu-ragu: "Sejak dulu saya
ingin punya sawah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo