Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menceritakan isi buku dan cerita film perlu ekstra hati-hati karena banyak orang bisa tersinggung saat kena bocoran atau spoiler.
Sebagian orang merasa kenikmatan membaca dan menonton terganggu karena lebih dulu mengetahui ujung cerita gara-gara spoiler.
Penelitian membantah perspektif tersebut.
Saat saya menulis artikel ini, istri saya tengah berjibaku menghindari spoiler (bocoran) episode terbaru Strictly Come Dancing. Karena melewatkan siaran aslinya, dia dengan panik keluar dari semua platform media sosial agar tidak ada status Facebook atau retweet yang memberi dia bocoran. Atau seorang teman yang dengan polosnya mengungkapkan apa yang terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tampak jelas betapa sulitnya hidup bebas spoiler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini bukan hanya sulit bagi mereka yang menonton siaran televisi. Para penggila konten olahraga juga memiliki masalah lama, yaitu menghindari skor akhir sebelum sempat menonton pertandingan.
Seri buku populer turut menghadapi masalah plot-plot kunci yang terungkap terlalu dini. Ketika novel J.K. Rowling berjudul Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran terbit pada 2005, sebuah spanduk yang tergantung di atas jembatan di A442 di Shropshire, Inggris, mengungkapkan kematian karakter penting.
Petugas dewan kota dengan cepat menurunkan spanduk tersebut—meskipun alasannya mungkin lebih karena spanduk tersebut akan jatuh, bukan karena takut mengganggu kenyamanan masyarakat.
Ilustrasi seorang pria memberikan bocoran sebuah film. Shutterstock
Tak ada tempat sembunyi
Spoiler sepertinya ada di mana-mana—dan pandangan umum menyatakan bahwa spoiler itu buruk. Dalam bentuk yang ekstrem, spoiler “beracun” muncul dari kesenangan beberapa orang mengganggu kejutan dan merusak alur cerita sebagai bentuk balas dendam.
Kemarahan ini bisa ditujukan kepada orang tertentu atau serial itu sendiri seperti yang terjadi dalam film prekuel Star Wars. Beberapa penggemar membocorkan bagian akhir film tersebut demi menciptakan “imunisasi terhadap kekecewaan” bagi penggemar yang belum menonton.
Spoiler dapat dijadikan senjata dengan cara ini karena beberapa asumsi. Yang utama adalah spoiler dianggap merusak kenikmatan. Namun apakah sesederhana itu?
Dalam serangkaian eksperimen psikologis yang terbit pada 2011, peneliti di California menemukan bahwa pengetahuan seputar akhir sebuah cerita tidak mengurangi kenikmatan pembaca. Faktanya, pembaca lebih menyukai kisah yang akhir ceritanya telah terungkap sebelumnya.
Para peneliti berteori bahwa kita memikirkan spoiler secara negatif karena kita tidak dapat membandingkan pengalaman yang rusak dengan yang belum terjamah. Dari situ, kita berasumsi bahwa pengalaman yang masih alami lebih baik.
Namun mereka juga berpendapat bahwa “ada kemungkinan spoiler justru meningkatkan kenikmatan dengan benar-benar meningkatkan ketegangan. Mengetahui akhir dari (naskah teater) Oedipus Rex dapat meningkatkan kenikmatan yang disebabkan oleh perbedaan pengetahuan antara pembaca mahatahu dan karakter yang sedang menuju kehancurannya”.
Eksperimen ini berfokus pada sastra klasik, yang sering kali memerlukan semacam penjelasan agar alur ceritanya bisa diikuti. Karena itu, spoiler dalam penelitian ini bisa dibilang mampu melengkapi alur cerita, setidaknya bagi pembaca kontemporer yang belum terbiasa dengan kompleksitas tragedi Yunani Kuno.
Mungkin eksperimen tersebut akan mencapai kesimpulan yang berbeda jika mereka menggunakan, katakanlah, episode terakhir serial Succession.
Ilustrasi seorang wanita melihat bocoran dari sebuah film. PEXELS
Bepergian dengan kecepatan spoiler
Selain itu, karena penelitian ini melibatkan teks-teks yang semuanya sudah lama ditulis, eksperimen mereka menghilangkan masalah garis waktu kapan suatu informasi dianggap sebagai spoiler dan tidak.
Batasan ini masih bisa diperdebatkan. Pada 2008, Vulture, sebuah situs web berita hiburan, menerbitkan satire “statuta pembatasan” dalam mengungkapkan spoiler. Pembatasan ini dari “segera setelah episode selesai” untuk acara realitas TV hingga “100 tahun setelah penampilan debutnya” untuk opera.
Kecepatan spoiler ini penting karena erat kaitannya dengan platform digital yang menyajikannya kepada pembaca, baik yang bersedia maupun yang tidak.
Dengan kata lain, mengetahui sesuatu terlalu cepat akan menimbulkan pertanyaan yang lebih mendasar tentang bagaimana kita berinteraksi dengan ketersediaan informasi yang cepat di seluruh media digital yang ada hari ini.
Pertimbangkanlah kontroversi saat terbitnya artikel Wikipedia tentang drama panggung The Mousetrap karya Agatha Christie. Menurut pedoman Wikipedia, ringkasan plot diperlukan. Pertanyaannya adalah apakah alur cerita tentang siapa pembunuhnya harus diungkapkan dalam ringkasan ini, mengingat penonton teater secara historis disumpah untuk menjaga kerahasiaan pada akhir setiap pertunjukan.
Pada akhirnya disepakati bahwa pengguna Wikipedia harus siap dengan kemungkinan informasi ini terungkap. Kita tidak perlu menjadi Poirot untuk menyimpulkan bahwa harapan kita akan ketersediaan informasi yang mudah dan tersedia menciptakan kondisi yang selalu menimbulkan ancaman spoiler.
Ini menunjukkan masalah sebenarnya ihwal spoiler. Apakah mereka merusak alur cerita atau tidak bergantung pada gagasan bahwa menyajikan ringkasan yang reduktif—informasi murni—entah bagaimana menggantikan atau menyamakan pemahaman tentang film, pertunjukan, atau cerita.
Dalam bukunya yang berjudul Spoiler Alert, ahli teori sastra Aaron Jaffe berpendapat ancaman spoiler bergantung pada gagasan bahwa segala sesuatu dapat diterjemahkan menjadi informasi, dan informasi itu dapat ditemukan di mana saja. Namun ini, kata Aaron, adalah mitos. Sebenarnya informasi jarang sekali dapat diakses sepenuhnya atau secara lengkap karena cara penyimpanan dan koneksinya berbeda.
Tampaknya jelas bahwa jika saya tidak sengaja mengetahui skor pertandingan sepak bola sebelum menontonnya, hal itu akan merusak hiburan saya. Namun skor tersebut tidak akan memberi tahu saya apakah tim saya pantas kalah, apakah mereka dirampok karena keputusan wasit, apakah pemain favorit saya telah berkembang, dan sebagainya.
Singkatnya, spoiler tidak memungkinkan saya untuk menafsirkan arti permainan tersebut.
Jadi, meskipun spoiler sepertinya mengharuskan kita keluar dari X atau menghindari jembatan rendah di Inggris, masih ada bagian kesenangan yang tidak dapat dihilangkan oleh informasi tumpul dari spoiler.
---
Artikel ini ditulis oleh Tom Grimwood, guru besar filosofi sosial dari University of Cumbria, Inggris. Terbit pertama kali di The Conversation.