Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Terdapat beberapa faktor penyebab gangguan pendengaran.
Gangguan dengar karena gaya hidup makin meningkat.
Bisa menimbulkan disabilitas.
Sering kali ketika telinga terasa gatal atau merasa ada banyak kotoran, kita langsung mengambil cotton bud untuk mengoreknya. Rasa gatal mungkin tertuntaskan dan kotoran ikut terangkat. Namun belum tentu kotoran itu tuntas terambil dan malah menimbulkan infeksi pada telinga. Sebab, kotoran terdorong masuk ke bagian tengah telinga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, Dr Dumasari Siregar, Sp THT-KL, mewanti-wanti, “Jangan sembarangan mengorek telinga.” Hal itu ia sampaikan dalam webinar Telinga Sehat untuk Hidup Lebih Bermakna pada Rabu, 9 Maret 2022. Pembicara lain di webinar dalam rangka Hari Pendengaran Sedunia itu adalah Dr dr Fikri Mirza Putranto, Sp THT-KL; dan dr Rakhmi Savitri, MKK, Sp Ok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dokter Duma, ada beragam gangguan dengar akibat infeksi, antara lain infeksi di lapisan luar yang disebut otitis eksterna. Hal ini terjadi karena kebiasaan mengorek-ngorek telinga atau adanya suhu udara terlalu tinggi dengan kelembapan tinggi sehingga mencetuskan infeksi jamur dan berdampak pada telinga. Hal ini terlihat dengan adanya benang halus atau spora jamur pada liang.
Gejalanya timbul nyeri pada telinga. Pada pasien dengan gangguan imunitas, seperti diabetes melitus dan HIV, infeksi ini bisa berbahaya. Sebab, bisa menyebar ke tulang-tulang di sekitar telinga.
Ilustrasi gangguan telinga. Shutterstock
Ada pula infeksi otitis media akut yang menjadi penyebab utama sumbatan tuba eustachius, pencetus infeksi saluran napas terutama pada anak. Bila ada kuman di saluran napas atas, bisa menular ke saluran telinga tengah. Hal ini bisa menyebabkan munculnya cairan yang lama-kelamaan akan menumpuk kental dan menekan gendang telinga. Akibatnya, merobek liang telinga dan keluarnya cairan di telinga. Hal ini memicu gangguan induksi karena menumpuknya cairan atau berlubangnya gendang telinga. Namun infeksi ini bisa disembuhkan.
Infeksi lain, kata dokter Duma, otitis media supuratif kronik (OMSK). “Orang menyebutnya congek. Pada kasus ini keluar cairan dari telinga hilang-timbul,” ujarnya. Ada dua tipe OMSK, yakni tipe aman dan berbahaya. Congek bisa berbahaya jika terdapat kolesteatoma. “Mengapa bahaya, karena kolesteatoma bisa menghancurkan tulang, menyebarkan infeksi tulang di sekitar telinga hingga otak.”
Gangguan dengar bisa menyebabkan tuli konduktif dan tuli saraf. Pada tuli ini terjadi penetrasi mediator inflamasi, struktur tulang labirin rusak. Maka tulang telinga dalam hancur dan mengakibatkan tuli saraf. Selain karena infeksi, gangguan dengar bisa terjadi akibat gaya hidup. Apalagi saat ini, pada kondisi pandemi, membuat orang terhubung dengan gawai lebih intensif. Baik untuk pekerjaan maupun untuk memenuhi kebutuhan rekreasi.
Dr dr Fikri Mirza Putranto, Sp THT-KL, juga menegaskan bahwa kebiasaan mengorek telinga untuk membersihkan kotoran atau serumen berisiko. Kotoran telinga merupakan sebuah hal wajar, terbentuk sebagai upaya melindungi telinga bagian dalam dari benda-benda asing. Serumen terletak di sepertiga telinga bagian luar, sedangkan di bagian dalam relatif tidak ada. Namun, karena kesalahan mengorek, serumen malah tidak keluar, melainkan terdorong ke dalam.
Ia juga menyebutkan sejumlah faktor yang membuat telinga gatal, seperti jenis serumen kering yang terjadi pada pasien dengan alergi dan kelainan kulit (dermatitis seboroik). Pada orang yang usianya lebih tua, kelenjar minyak berkurang. Lalu, pada pasien diabetes melitus, telinga gatal terjadi karena pemakaian obat pengencer darah, gangguan imun, kelainan liang telinga, dan perforasi membran timpani. Dengan demikian, orang jadi suka mengorek telinga.
Mirza juga menyebutkan saat ini banyak kasus gangguan dengar di Rumah Sakit Universitas Indonesia didominasi oleh infeksi. Namun, ia menyebutkan, gangguan dengar itu banyak muncul karena kebiasaan hidup atau gaya hidup. Ia mencontohkan kebiasaan olahraga menyelam. Gangguan dengar terjadi karena perubahan tekanan di dalam telinga. “Yang repot kalau terjadi pada orang yang punya bakat hidung tersumbat. Ia akan mudah terkena gangguan setelah menyelam,” ujarnya. Untuk itu, biasanya mereka dianjurkan minum obat yang membuka sumbatan tersebut sebelum menyelam atau dianjurkan untuk naik secara perlahan saat menyelam.
Gangguan dengar lain yang juga terjadi belakangan adalah karena meningkatnya penggunaan gawai yang intensif. Ketika masa pandemi, banyak orang bekerja di rumah atau sekolah jarak jauh. Termasuk mencari hiburan dengan menonton film, mendengarkan musik, dan bermain game. Ia menyitir sebuah penelitian di luar negeri dengan jumlah responden sebanyak 3.316 anak. Hasilnya, 1 dari 7 anak berusia 9-11 mengalami penurunan nada dengar tinggi. “Ini berhubungan dengan penggunaan gawai, angkanya 40 persen. Gede ini.”
Ilustrasi penggunaan gawai pintar pada anak remaja. TEMPO/Ijar Karim
Adapun faktor yang mempercepat kerusakan pendengaran akibat gawai antara lain kebiasaan menggunakan earphone sambil tidur. Telinga akan terpapar kebisingan secara terus-menerus hingga pagi. Faktor lainnya, kebiasaan mendengarkan sesuatu di tempat ramai. Lebih dari 50 persen orang cenderung menaikkan volumenya secara tidak sadar. Mereka yang tipe transduser pada ponsel akan menaikkan hingga 40 dB, sedangkan yang menggunakan earphone menaikkan volume 70 dB.
“Padahal kita hanya boleh mendengar gawai lebih dari 60 menit per hari, maksimal level 80 dB. Jika lebih, berisiko menyebabkan gangguan dengar,” kata Mirza. Faktor lain yang dapat mempercepat gangguan dengar adalah merokok, minum alkohol, gangguan vaskular, dan polusi lingkungan.
Adapun dr Rakhmi menekankan pentingnya perlindungan dan pencegahan gangguan dengar karena kebisingan di tempat kerja, baik untuk pekerja formal maupun informal. “Ketika kebisingan mencapai ambang batas 80 dB, harus ada upaya proteksi pendengaran,” ujarnya. Batas normal yang masih bisa ditoleransi adalah 85 dB selama delapan jam.
Kebisingan bisa menyebabkan rusaknya sel rambut yang dapat membuat gangguan dengar, baik itu temporer maupun permanen alias tak dapat disembuhkan jika terpapar terus-menerus.
Kapan harus curiga mengalami gangguan dengar?
- Sulit berkomunikasi di keramaian/telepon dengan volume normal.
- Sulit menentukan arah sumber bunyi.
- Terganggu hingga merasa sakit atau berdenging oleh suara keras di sekitar Anda (anak menangis, bunyi mesin pemotong rumput, dan pintu mobil ditutup).
- Telinga berdenging terus meski di tempat sepi.
- Sulit berkonsentrasi saat suasana ramai.
- Menghindari kondisi keramaian karena tidak nyaman dengan suara.
Cegah gangguan:
- Gunakan speaker phone
- Headphone
- Earphone—menggunakan yang punya fitur noice cancellation
- Mendengar di tempat sepi
- Batasi waktu. Istirahatkan telinga tiap satu jam pemakaian
- Hindari alkohol, rokok, dan polusi karena akan meningkatkan dampak gangguan dengar serta menghambat proses pemulihan pasca-munculnya trauma bising.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo