Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggapan bahwa stres dapat menyebabkan rambut beruban mungkin telah sering Anda dengar selama ini. Hanya sedikit penelitian yang membahas topik ini. Dan meskipun beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara uban dini dan stres, tidak ada penelitian yang membuktikan hubungan tersebut.
Dalam penelitian terdahulu, peneliti meminta partisipan untuk mengisi kuesioner tentang warna rambut dan tingkat stres mereka, kemudian para ilmuwan akan melihat apakah mereka dapat menghubungkan keduanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah penelitian berjudul “Risk Factors for Premature Hair Graying in Young Turkish Adults” yang diterbitkan pada tahun 2016, misalnya, para ilmuwan mensurvei lebih dari 1.100 orang dewasa muda Turki dan menemukan bahwa 315 orang yang melaporkan rambut beruban sebelum waktunya memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Mereka yang mengalami uban sebelum waktunya juga memiliki riwayat konsumsi alkohol dan penyakit kronis, dan memiliki orang tua yang rambutnya beruban di usia muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, sebuah studi terhadap tikus terbitan 2020 yang dikutip The New York Times membawa penelitian tersebut selangkah lebih maju. Dalam studi tersebut, para peneliti memberi tekanan pada tikus dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuntikkan zat kimia mirip cabai yang memicu respons "fight-or-flight". Hal ini menyebabkan tikus melepaskan hormon stres norepinefrin yang menguras folikel rambut tikus dari sel induk. Bulu tikus kemudian tumbuh menjadi abu-abu.
Para peneliti juga menunjukkan efek serupa dari kadar norepinefrin yang tinggi pada sel punca manusia di laboratorium, mendukung gagasan bahwa hormon stres tersebut terkait dengan munculnya uban pada manusia, kata Ya-Chieh Hsu, salah satu penulis penelitian ini yang juga seorang profesor sel punca dan biologi regeneratif di Harvard University.
Namun, penelitian mengenai topik ini sulit dilakukan pada manusia karena peneliti tidak dapat secara etis menimbulkan respons stres tinggi secara artifisial pada manusia seperti yang dapat mereka lakukan pada hewan atau sel, kata Hsu.
Satu studi kecil pada manusia berjudul “Quantitative mapping of human hair greying and reversal in relation to life stress” yang terbit pada 2021 masih mendukung narasi tersebut. Para peneliti mencabut beberapa helai rambut dari 14 relawan yang sedikitnya memiliki uban. Beberapa helai rambut sudah sepenuhnya beruban, beberapa beruban sebagian, dan beberapa tidak beruban sama sekali. Para ilmuwan kemudian membuat gambar digital beresolusi tinggi dari rambut tersebut dan menghitung kapan setiap helai rambut beruban menggunakan perkiraan seberapa cepat rambut tumbuh.
Mereka juga meminta para peserta untuk memetakan pengalaman-pengalaman yang paling memicu stress dari setahun lalu pada sebuah timeline dan mengurutkannya dari yang paling sedikit membuat stres hingga yang paling membuat stres. Para peneliti menemukan bahwa ketika sehelai rambut berubah menjadi abu-abu sering kali berhubungan dengan momen yang paling membuat stress pada tahun sebelumnya bagi relawan tersebut.
Ini adalah pertama kalinya sebuah penelitian menghubungkan peristiwa stres tertentu dengan momen tepat ketika rambut mulai memutih, kata Martin Picard, seorang profesor madya kedokteran perilaku di Columbia University dan penulis penelitian tersebut.
"Hal ini memberikan "bukti nyata pertama kami bahwa mungkin stres memang berperan bagi sebagian orang," kata Victoria Barbosa, seorang profesor madya dermatologi di Chicago University dikutip dari Channel News Asia.
Jika penelitian awal tersebut berlanjut mengidentifikasi perubahan terkait stres yang menyebabkan rambut beruban, suatu hari nanti hal itu dapat mengarah pada perawatan yang dapat mengembalikan warna rambut, kata Paradi Mirmirani, dokter kulit di Kaiser Permanente Vallejo Medical Center. Namun, masih diperlukan lebih banyak penelitian pada manusia dalam skala yang lebih besar untuk mengonfirmasi hubungan tersebut.
Penelitian di masa mendatang mungkin juga membantu menjelaskan mengapa stres dikaitkan dengan uban pada beberapa orang, tetapi tidak pada yang lain, kata Sindhuja Sominidi Damodaran, seorang dokter kulit di Mayo Clinic. Masih terlalu dini untuk mengetahui apakah mengurangi stres dapat memperlambat atau membalikkan munculnya uban prematur.
Bagi kebanyakan orang, faktor genetika merupakan penyebab utama rambut beruban, kata Barbosa. Kondisi medis tertentu dapat menyebabkan rambut kehilangan pigmen sebelum waktunya, jelasnya. Kondisi tersebut meliputi vitiligo, yang menyebabkan bercak-bercak kulit kehilangan warna, dan alopecia areata, sejenis kerontokan rambut.
Tiroid yang terlalu aktif atau kurang aktif serta perawatan kemoterapi juga dapat menyebabkan uban sebelum waktunya, kata Damodaran. Kekurangan zat besi, kalsium, dan vitamin B12 dan D juga berkorelasi dengan munculnya uban lebih awal, begitu pula obesitas dan merokok.