Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kasarnya saya suara pemerintah

Pada puncak hut ri 1978 di jakarta berkumpul sebanyak 107 guru teladan untuk tingkat tk, sd, slp & sla dari seluruh propinsi di indonesia. beberapa orang guru menceritakan pengalamannya.(sd)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURU, di zaman ini, selalu dibaangi hidup yang macet dan melarat. Banyak orang takut jadi guru -- padahal negeri ini tidak pernah berhenti kekurangan guru. Lalu siapa yang akan mengisi sektor yang terkenal tidak basah itu? Pertanyaan ini djjawab oleh 107 orang guru teladan yang berkumpul di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, dengan tegas "Kami." "Kita juga manusia biasa. Saya jengkel kalau hasil ulangan jelek," ujar I.J. Istigno, pemenang I Guru Teladan Nasional 1978 tingkat SLTP. "Tapi lebih jenkel lagi, kalau ternyata kesalahan itu berasal dari saya. Misalnya saya sudah berusaha menerangkan pelajaran tapi tidak dimengerti murid saya," kata lelaki usia 45 tahun itu. Istigno berangkat dari pendapat bahwa: "Tak ada anak bodoh. Yang ada adalah anak yang malas." Ia menerangkan misalnya: ada sementara orang menganggap murid-murid di Irian Jaya kurang bisa menyerap pelajaran. Ini tak benar. Ia memberi bukti banyak putera Irian yang mendapat prestasi baik di Jawa. Bahkan di antaranya sudah banyak yang sekarang pulang jadi dosen di Universitas Cenderawasih. Sebaliknya tak perlu ditutupi adanya anak pejabat dari Jawa yang pindah ke Irian, dan ternyata tak bisa mengikuti pelajaran di sana. Istigno, mengajar di SMP YPPK (Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik) Manokwari, adalah salah satu dari 107 guru teladan yang berkumpul di Jakarta selama 11 hari (11 s/d 21 Agustus 1978). Inilah ke-7 kalinya guru-guru teladan yang terpilih di seluruh propinsi -- untuk tingkat SK, SD, SLP dan SLA -- berkumpul di puncak HUT Kemerdekaan. Usaha itu mengandung maksud meningkatkan martabat guru sehingga diharapkan prestasi mereka melonjak di masa depan. "Sekarang tanggungjawab lebih berat. Coba. Kalau ada yang bilang guru teladan kok begitu, kita kan malu," kata Istigno, setelah menerima kemenangannya. Guru kelahiran Temanggung (Ja-Teng) ini dulu menikah dengan teman sebangkunya di SGB, tahun 1954. Lalu merantau ke Bengkulu tahun itu juga. Mengajar di SD St. Carolus sampai 1958. Kemudian pindah ke Jakarta, mengajar di SD Rajawali sehingga 1965. Sebagian besar muridnya di Bengkulu dan Jakarta berdarah Cina. Tangan Besi Tidak Baik Lewat 1965, ada edaran Guru Trikora ke Irian Jaya. Tanpa ngeri oleh berita-berita gerombolan OPL (Organisasi Pengacau Liar), ia memasuki Irian. "Entah mengapa saya tak takut. Seluruh hidup saya, soal mati dan hidup, saya serahkan kepada Tuhan." Ia menuju Senopi, sebuah desa sebelah barat Manokwari. Senopi dapat dicapai pesawat Cessna selama 40 menit -- sampai ke Kebar. Kemudian diteruskan jalan kaki selama 6 jam. Senopi berpenduduk 120 jiwa -- dan banyak di antaranya sudah berbahasa Indonesia. "Tapi soal kebersihan harus diperhatikan. Mereka jarang mandi. Habis kerja di kebun langsung tidur dengan daki dan keringat," tutur guru teladan itu. Hari pertama di Senopi, Istigno tertegun di depan asrama yang sekaligus menjadi SD. Ada 74 orang murid dan 2 guru lainnya. Anak didiknya ada yang berusia 19 tahun. Mereka datang berjalan kaki sudah tentu. "Pagi sekolah sore berkebun. Dari hasil itulah kami makan." Ada beras jatah 4 kg untuk sebulan. Guru-guru hanya mempergunakannya untuk makan siang, lalu selebihnya singkong dan keladi. Untuk perangsang, seminggu sekali murid-murid makan nasi juga. Istigno menganggap perlakuan terhadap guru di Senopi, di masyarakat yang sederhana itu, baik sekali -- dibanding dengan di Jawa atau kota besar lainnya. Kalau ada kesulitan, murid datang kepada guru. Guru dan masyarakat mengadakan kontak lewat jual beli garam dan tembakau, misalnya. Murid hormat kepada guru. Sekali waktu, Istigno hampir diculik oleh OPL. Murid-muridnya langsung melindungi -- dengan cara menyembunyikannya selama 2 minggu dalam hutan. Setelah 1 tahun di Senopi, Istigno pindah mengajar di SMP Manokwari. Hingga kini. Tapi anak isterinya (sekarang 4 anak) baru menyusul setelah ia 3 tahun di Irian Jaya. Sebab keadaan waktu itu masih gawat perang. "Kami para guru mempunyai tugas sebagai intel juga. Tapi syukur, dari murid-murid tak ada yang melakukan aksi," kisah Istigno selanjutnya. Ia pun kena giliran Jaga malam --walaupun tugas guru harus ditancap terus. Menghadapi anak SMP yang kadangkala besar brewok, ia sering tegang dan takut. "Tapi karena kita guru, kita tidak akan dipukul murid. Di Irian belum ada guru yang dipukul murid," katanya mengurut dada, seperti menyadari nasib guru pada umumnya dewasa ini. Istigno mengakui penghasilan guru selalu kurang. Sekarang gajinya Rp 78 ribu. Hidupnya sederhana. Beberapa tahun lalu ia pernah berusaha lebih produktip -- dengan mendirikan kios. Cuma 2 bulan. Usaha itu sengaja ditutupnya, karena: "pikiran kami jadi mendua. Pelajaran sekolah jadi kacau." Dalam keluarga Istigno, bukan saja kehidupan guru. Juga kehidupan anak guru menjadi penting. Salah seorang anaknya waktu di SD tidak dinaikkan oleh ibu guru. Alasannya bukan kepintaran. Justru sebaliknya. Karena anak itu sehari-harinya selalu bisa mengerjakan apa yang diajarkan bapak-ibunya di rumah, di sekolah ia tidak memperhatikan pelajaran ibu guru. Nah sebagai hukuman ia tidak dinaikkan. Dan yang lebih penting lagi, gurunya adalah ibunya sendiri. Ini hebat. Sementara itu di tingkat SMP, salah seorang anak Istigno sering menjadi sasaran kedongkolan teman-temannya. "Wah kalau bapak kamu kasih nilai, mahal-mahal. Ulangan sulit-sulit," kata mereka. Istigno, yang kemudian mendengar itu dari anaknya, tidak selalu menangapi. "Kecuali yang negatif, untuk dirundingkan dengan para guru," katanya menjelaskan. Dalam pekerjaannya ia menganggap tangan besi tidak baik. "Tapi kalau terpaksa sekali, ya kita lakukan, meski itu bukan dasar pendidikan. " Salim Syah (36 tahun) guru teladan dari Mataram, Lombok, mencoba menerangkan apa kejelekan guru. "Jelek saya, saya itu pingin anak saya menjadi duplikat saya," katanya kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. "Sekali pelajaran diterimakan, maunya sudah masuk otak," katanya lebih lanjut. "Tapi anak saya tidak. Sampai berkali-kali. Kalau sudah begitu kesal, tangan ini maunya mukul saja, sedang mulut sudah mengatakan yang bukan-bukan, otak udanglah, kambinglah." Meski ia guru yang rajin, pintar, banyak menolong murid yang kesulitan membayar SPP, ia tak ingin salah satu dari 6 orang anak kandungnya jadi guru. Sebab: ia merasa penghargaan masyarakat kurang. Ia sering bertanya kepada muridnya sendiri, mengapa mereka masuk Sekolah Pendidikan Guru. Jawabnya "Terpaksa". Lalu iapun berkata: "Cukup saya sajalah yang jadi guru. Kalau anak saya lulus SMA, tak usah masuk IKIP." Ia anak ke-8 dari 13 bersaudara. Orangtuanya sendiri buta huruf. Waktu sekolah ia hanya bermodal sepatu jebol. Pada suatu kali orang tuanya bertanya: nomor berapa ia di sekolah. Dengan bangga Salim Syah mengulurkan rapornya yang bagus, sambil menerangkan: nomor dua. Langsung ludah orang tuanya menempel di mukanya. Kenapa "Orang tua saya pengin anaknya nomor satu," katanya. Sejak itu Salim bertekad jadi juara. Prestasinya bagus sekali dari SD sampai ke SGA. Ia seorang yang sopan, patuh, pendeknya baik. Tapi enrah kenapa sebagai anak muda ia pernah frustrasi dan bikin onar di dalam kelas. Sekali peristiwa, guru asyik menerangkan sesuatu. Salah seorang murid wanita di depannya juga duduk tenang. Salim menoleh kanan kiri. Tiba-tiba ia bertindak. Tali BH murid wanita itu ditariknya. Kelas jadi ramai. Salim dihukum berdiri depan kelas selama guru mengajar. Tapi Salim sendiri protes juga terhadap hukuman itu -- dengan cara langsung duduk. Salim memulai karier sebagai guru tahun 1962 -- di Sekolah Menengah Islam di Taliwang, Sumbawa. Kemudian meloncat ke SMP Negeri. Tahun 1970 pindah ke SMP Negeri 11 Mataram, sampai sekarang. Pada awal riwayatnya sebagai guru, ia mengaku sering pakai tangan untuk memecahkan kesulitan. Tapi tahun-tahun di belakang ini ia lebih mengaktifkan mulutnya sambil membelenggu tangannya sendiri. "Tahun awal sebagai guru di Sumbawa, gaji tak cukup untuk 30 hari. Kita harus berusaha mencari tambahan," tutur Salim yang kini menanggung 6 orang anak. Cara menambah penghasilan agak luar biasa. Ada keinginan memberikan les, tapi itu tidak mendatangkan uang. Karena itu Salim menyewa tanah untuk ditanami kedelai. Pagi ia mengajar, sore jadi petani. Kadang ia menawarkan kepada muridnya kalau-kalau ada yang mau membantunya bekerja di sawah. Tampaknya wali murid senang, karena gurunya dapat memanfaatkan tenaga murid. Tapi ini juga tak cukup. Untung isterinya juga mengusahakan kredit barang. Di Mataram, Salim sering ketemu wajah murid yang murung, karena tak mampu bayar SPP. Menurut peraturan, murid itu seharusnya disuruh pulang. Tapi kalau Salim yakin muridnya tak mampu, ia merogoh kantongnya sendiri. Ia selalu mengandaikan murid itu dirinya. Ia masih percaya: belum bayar SPP bukan kesalahan anak. Ini beda dengan di Jakarta: murid kadangkala tidak bayar uang SPP yang sudah diterimakan oleh orangtuanya. Betul nggak? Menyadari tingkah-laku murid yang menjadi tanggungjawabnya, Salim sering terpaksa tak memakai sepeda motornya -- supaya dapat mematai murid-murid secara intensif. Ia pasang kuping di sana sini, kalau ada murid yang tak beres. Satu ketika ia heran melihat muridnya selalu pakai sweter. Ternyata, di balik sweter itu ada yang disembunyikan. Nah. Kandungan. Setelah ketahuan, kontan esoknya si baju sweter tidak muncul. Ini hanya sebagian dari begitu banyak yang harus dihadapinya sebagai guru. Apalagi soal mode. "Kadang kita repot. Soalnya murid membawa nama baik sekolah," katanya. Meski tak berhasil menjadi Guru Teladan nomor satu, Salim sudah sempat melihat Jakarta tahun ini. Ia merasa juga bahwa predikat teladan hanya menambah beratnya tugas sebagai guru. Lalu apa yang dibawanya ke Mataram sebagai oleh-oleh? "Saya harus mengikuti dengan aktif dan positif petunjuk dari Pemerintah. Saya harus menyampaikan apa itu kepada masyarakat. Saya juga harus menyampaikan apa itu KB. Kasarnya saya adalah suara Pemerintah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus