Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kecanduan Makanan Sehat

Gandrung pada pola makan sehat ternyata bisa berakibat negatif terhadap kesehatan jiwa. Belum dianggap sebagai gangguan kejiwaan. Tapi kehidupan pribadi dan sosial sudah sangat terganggu.

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sophie Navita tengah menyantap sayur urap di kotak makannya dengan kalem saat kami temui di daerah Prapanca, Jakarta Selatan, Selasa sore pekan lalu. Jarak satu suapan dengan suapan berikutnya bisa 5-10 menit. Tak mengherankan bila sejam mengobrol, makanannya belum juga tandas.

Kata aktris 38 tahun itu, ia memang punya kebiasaan meresapi apa yang masuk ke saluran cernanya. Misalnya, sore itu, ia melahap urap sembari menyadari dari mana sayuran tersebut berasal, sekaligus mendaraskan doanya kepada para pembawa tumbuhan itu ke meja makannya. Sophie sadar caranya memperlakukan makanan itu dianggap berlebihan oleh orang lain.

Dua tahun lalu, ia punya kebiasaan yang lebih lebay. Ia emoh makan jika yang disantap tak jelas asal-usulnya—apakah ditanam secara organik atau tidak, apakah terkena pestisida, atau apakah proses pengemasannya benar. Kepada kawan yang tak sejalan dengannya, Sophie juga kerap bawel. Ia menceramahi mereka tentang arti pentingnya makanan sehat. "Pernahlah sampai freak. Kalau enggak organik, gue enggak mau makan," ucapnya.

Bahkan, lantaran itu, ia mesti kehilangan beberapa teman dekat yang tak mau menerima perubahannya. Teman-teman yang hengkang dari hidupnya, kata Sophie, adalah mereka yang menganggap ibu dua putra itu "tak asyik lagi" karena menolak diajak makan enak. Gara-gara itu pula ia dianggap "sakit jiwa" oleh banyak orang.

Tergila-gila pada makanan sehat memang bisa membikin masalah kejiwaan, meski tidak bisa dianggap sebagai gangguan kejiwaan, apalagi sakit jiwa. Masalah ini kerap disebut orthorexia. Kata itu diturunkan dari bahasa Yunani—ortho berarti lurus atau benar dan orexis bermakna lapar. Istilah ini diperkenalkan oleh dokter Steven Bratman pada 1997, setelah mengamati fenomena obsesi terhadap makanan sehat. Lewat bukunya, Health Food Junkies, ia menjelaskan bahwa pasien orthorexia biasanya menjalani diet ketat makanan sehat, tapi menjadi berlebihan.

Dengan meningkatnya tren makan sehat belakangan ini, besar kemungkinan yang terkena orthorexia juga bertambah. Hal itu diprediksi oleh dokter yang juga konsultan penurunan berat badan, Grace Judio-Kahl. "Biasanya itu terjadi pada mereka yang tingkat pendidikannya tinggi," katanya. Apalagi kini masyarakat modern justru berlomba-lomba untuk hidup sehat. Hidup sehat itu tren dan keren. Orthorexia ini, menurut Grace, diderita oleh orang yang sadar akan kesehatan. Mereka bahkan dengan sukarela datang dari dokter ke dokter hingga rutin menjalani pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh untuk mencari pembenaran pola hidup yang dianut.

Semakin ketat pola makan yang diterapkan, semakin besar adanya kemungkinan terkena orthorexia. Pengaturan pola makan itu dari sekadar menakar jumlah asupan, vegetarian, mengkonsumsi makanan organik, melahap makanan rebus-rebusan, fruitarian (makan buah-buahan saja), sampai hanya makan sayur atau buah mentah (raw food), seperti Sophie beberapa waktu lalu.

Menurut dokter spesialis kejiwaan, Sylvia Detri Elvira, penyandang orthorexia semula hanya berpikir untuk makan sehat belaka. Lama-kelamaan keinginan itu menjadi obsesi. Apa yang dilakukannya bukan lagi didorong oleh kesadaran pentingnya makanan sehat, melainkan sudah dilecut oleh alam bawah sadar. "Obsesi itu membuat pikiran bawah sadarnya terdesak terus," ujar Sylvia. Keinginan kuat tersebut lalu disalurkan lewat tindakan berulang atau kompulsi.

Karena dilakukan secara kompulsif, kata Sylvia, hal itu mengakibatkan depresi. Apalagi biasanya orang-orang seperti ini perfeksionis. Segala sesuatunya harus sempurna. Dalam soal makanan, misalnya, mereka menetapkan standar tertinggi, ya raw food itu tadi. Kalau tidak sampai derajat sempurna, ujar pengajar di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, "Harga dirinya turun." Mereka beranggapan, kalau tidak makan sehat derajat tertinggi, berarti bukan dirinya lagi.

Imbas gaya hidup ini terang saja merembet ke kehidupan sosial. Menurut Grace, gangguan pola makan itu tercapai jika dia sudah tidak memenuhi fungsi sosial lagi. "Mau makan saja susah banget," kata anggota International Association of Eating Disorder Professionals itu. Penderitanya jadi tidak bisa lepas dari "makanan sehat". Mereka selalu membawa makanan sendiri di mana pun berada. Bahkan untuk acara sosial, seperti arisan, hajatan, dan kumpul keluarga.

Yang mengesalkan adalah, kata Grace, mereka mendadak menjadi dokter, ahli gizi, hingga marketing gaya hidup sehat ala mereka. Kalau cuma sesekali, mungkin tak mengapa. Tapi, saat hal itu dilakukan terus-menerus, Grace menuturkan, jelas banyak yang jengah dan menjauh dari kehidupan penderita orthorexia. Sayang, mereka tidak sadar bahwa kehidupannya sudah terganggu. "Memang biasanya sulit mengakui diri sendiri karena ada bias dalam kehidupan mereka," ujar pemegang sertifikat manajemen obesitas dari University of Sydney, Australia, itu.

Dalam Pedoman Penggolongan Penyakit dan Diagnosis Gangguan Jiwa, orthorexia belum termasuk. Begitupun dalam standar global yang dimuat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Mengutip ucapan Tim Walsh, profesor psikiatri dari Universitas Columbia, masalah utamanya adalah karena belum cukupnya penelitian klinis. "Isu riilnya adalah data yang signifikan," kata salah satu penelaah gangguan pola makan dalam buku DSM itu kepada majalah Time.

Grace menambahkan, orthorexia masuk kategori gangguan pola makan tidak spesifik. "Belum ada pedoman baku untuk mendiagnosisnya," ujarnya. Untuk disebut gangguan jiwa, definisi Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengharuskan penderitanya sudah mengalami gangguan fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Sylvia menengarai, karena masih bisa hidup normal ketimbang penderita gangguan jiwa lainnya, penderita orthorexia belum masuk kategori gangguan jiwa.

Gastroenterolog atau ahli di bidang saluran pencernaan, Ari Fahrial Syam, menyatakan masalah gangguan pola makan memang erat hubungannya dengan otak. Dari pasien-pasien yang mengalami masalah saluran cerna saja, kata pengajar Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia itu, berawal dari pikiran. "Sebesar 60-70 persen masalah bersumber dari situ," ujarnya.

Memulai hidup sehat, menurut Grace, itu perlu. "Tapi, ya, jangan berlebihan," katanya. Ada baiknya, ia mengingatkan, untuk memperhatikan gejala orthorexia. Pertama, ketakutan berlebihan terhadap sakit. Kedua, obsesi sehat itu kemudian diejawantahkan dengan mulai mengumpulkan informasi makanan sehat dan menjalaninya dengan ketat. Terakhir, penderita mulai menyalahkan segalanya pada makanan. Misalnya, kalau terkena flu atau tertular cacar air, penderita orthorexia yakin bahwa itu akibat mereka sempat menyantap makanan yang tidak sehat dan tidak murni.

Sophie, yang sempat menjadi "pejuang" raw food, belakangan menyadari kesalahannya. Bukan kesalahan dalam memilih hidup sehat, melainkan bagaimana ia memperlakukan makanan. "Saya sempat bingung, frustrasi, dan terus-menerus bertanya kepada diri sendiri, 'Apa yang terjadi pada diri saya?' Sampai akhirnya saya sadar, affair saya dengan makanan harus diperbaiki," ujarnya.

Ia menganggap obsesinya terhadap makanan sehat itu seperti adiksi atau kecanduan. Ia pun menjalani sederet meditasi dan perenungan, yang membuatnya mau berkompromi dan tidak lagi menjadi perfeksionis dalam soal makanan. Lepas dari adiksi menganalisis makanan dianggap Sophie sebagai perjuangan berat. "Perjalanan saya ini enggak mudah. Proses untuk keluar dari sana penuh dengan air mata," katanya.

Dianing Sari, Isma Savitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus