Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada suasana yang berbeda di kawasan Simpang Temu Dukuh Atas di Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu, 8 Mei lalu. Kawasan itu baru selesai direvitalisasi menjadi kawasan pedestrian yang luas. Daerah pejalan kaki di Jalan Kendal, dengan lorong yang menghubungkan stasiun kereta Commuter Line dan Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, sudah meluas serta menyatu dengan sebagian Jalan Blora, yang kini dilengkapi dengan bangku-bangku. Kondisi ini membuat nyaman orang yang ingin menggunakan fasilitas transportasi di sekitarnya atau sekadar cari angin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada lagi pedagang di sekitar kawasan itu, kecuali dua gerai mungil semipermanen berbentuk trapesium di terowongan Jalan Kendal. Kedua gerai itu milik Difabis Coffee and Tea, kedai kopi difabel yang menjual aneka minuman olahan kopi dan teh serta beragam kue. Seluruh pramusaji dan barista di sana adalah kaum difabel. Mereka penyandang tunadaksa dan tuli, tapi cekatan menyediakan pesanan para pelanggan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerai Difabis lahir dari kolaborasi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) DKI Jakarta dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam program Jakpreneur agar penyandang disabilitas punya kesempatan yang setara dengan masyarakat pada umumnya. Difabis dirilis oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Januari 2021. Gerai ini menjadi alternatif berbagai kafe di Jakarta.
Menurut Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Provinsi DKI Jakarta Muharyati, sampai saat ini tingkat kesempatan penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan masih jauh panggang dari api. Jangankan memberikan kesempatan kerja, menurut dia, para difabel masih saja dianggap sebagai warga kelas dua. “Stigmanya masih negatif, dianggap tidak berdaya sebagai penyandang masalah sosial,” kata dia pada Jumat, 10 Mei 2024.
Muharyati berharap makin banyak pengusaha swasta yang memberikan lapangan kerja untuk para penyandang disabilitas. Apalagi saat ini belum banyak pihak swasta yang melaksanakan kewajiban mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari seluruh karyawannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
****
Pekerja difabel tuli, Fajar Malik, melayani pelanggan Difabis Coffee and Tea di Terowongan Kendal, Menteng, Jakarta, 8 Mei 2024. TEMPO/Nita Dian
Tangan Fajar Malik dengan terampil meracik sirup gula aren, potongan es batu, susu cair, dan kopi hitam ke dalam gelas plastik bening di dalam gerai Difabis pada Rabu, 8 Mei lalu. Tak sampai dua menit, minuman es kopi susu gula aren pesanan saya jadi.
Setelah menyerahkan es kopi tersebut, pria kelahiran Jakarta pada 1998 itu segera mengarahkan tangan kanannya ke dapur dan kemudian digerakkan sedikit ke bawah. Itulah bahasa isyarat untuk “terima kasih”. Secara refleks saya mengikuti gerakan itu. Fajar kemudian menunjukkan ibu jari dan kelingking sembari menggerakkan tangannya di depan dada—jawaban untuk “sama-sama” dalam bahasa isyarat.
Fajar adalah barista Difabis yang tuli. Ia bergabung dengan Difabis sejak 2021 setelah menjadi peracik kopi di sebuah kafe di Jakarta.
Memesan kopi atau kudapan di gerai ini sama mudahnya seperti kedai kopi pada umumnya. Di meja etalase sudah terpampang menu minuman, termasuk permintaan khusus, seperti pengurangan es batu, gula, dan lainnya. Anda tinggal menunjuk makanan dan minuman yang Anda pilih.
Ada pula sebuah papan tulis kecil yang terletak di tengah meja etalase sebagai papan pengumuman. Hanya dua kata yang tertulis di papan tulis itu, “Saya tuli”. Informasi itu sengaja ditujukan kepada pembeli yang belum tahu tentang Difabis.
Menurut Fajar, beberapa pembeli tak tahu bahwa ia tuli sehingga memesan minuman dengan berbicara sembari memakai masker. Jika hal itu terjadi, Fajar akan menunjuk papan tulis kecil tersebut agar pembeli paham dan berharap mereka dapat langsung menunjuk pesanannya dari menu.
Sebenarnya Fajar bisa membaca gerakan bibir. Tapi, kalau pembeli berbicara dengan memakai masker, tentu ia tak dapat melakukannya. Dia berharap pembeli bersedia melepas masker sebentar bila ingin berbicara saat memesan minuman. “Bicaralah dengan normal, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat,” kata Fajar, yang punya pekerjaan sampingan sebagai model itu, secara tertulis.
Karena sudah berpengalaman, Fajar tak menemukan banyak kendala selama bekerja sebagai barista di sana. Ia bisa bekerja dengan cepat, bahkan bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus bila sedang banyak pesanan. Kendalanya cuma satu, yakni komunikasi dengan pembeli yang kurang kooperatif atau punya pesanan khusus.
Pelanggan memesan kue di Difabis Coffee and Tea di Terowongan Kendal, Menteng, Jakarta, 8 Mei 2024. TEMPO/Nita Dian
Di gerai sebelahnya, ada Nisa, yang juga tuli, sedang sibuk memotong kue chiffon pesanan pembeli. Perempuan berhijab berperawakan kurus itu bergabung dengan Difabis sejak Agustus 2023. Seperti Fajar, Nisa punya masalah bila bertemu pembeli yang memesan dengan berbicara sambil memakai masker. Meskipun pembeli sudah menunjuk hidangan yang dipesan untuk memastikan, tetap saja dia khawatir bila ada permintaan tambahan yang belum ia pahami. Nisa merasa lebih nyaman jika dia bisa membaca gerak bibir pembeli.
Menurut Nisa, sebagai pedagang di gerai makanan tentu ia membutuhkan ketelitian ekstra. Sebagai contoh, ia pernah hampir ditipu pembeli. Suatu ketika seorang pembeli datang dan mengaku sudah membayar pesanan melalui transfer uang di aplikasi bank dan menunjukkan slip tanda buktinya. Ternyata slip tersebut palsu. Nisa lalu meminta si pembeli mengulangi transaksi hingga benar dan tercatat di sistem pembayaran Difabis. “Lalu pembeli itu mengatakan akan mengambil uang tunai di ATM. Satu jam sudah berlalu dia tidak kembali,” kata Nisa dalam wawancara tertulis.
Masalah lain adalah saat Nisa berinteraksi dengan pengemudi ojek daring. Dia pernah beberapa kali kena semprot pengemudi ojek yang merasa kesulitan berkomunikasi dengannya, khususnya saat menanyakan alamat Difabis melalui telepon. “Terkadang pengemudi ojek daring masih marah-marah saat tiba. Mungkin saya tidak mendengar apa yang dikatakan, tetapi saya bisa melihat ekspresinya,” kata perempuan yang pernah bekerja sebagai admin di sebuah perusahaan rintisan di bidang agrikultur di Jakarta tersebut.
Fajar dan Nisa ditemani beberapa pendamping yang tidak memiliki keterbatasan fisik. Kehadiran pendamping ini khusus untuk membantu para difabel jika mengalami kendala tertentu. Az Zahra, salah satu pendamping mereka, mengatakan bahwa pada dasarnya kesalahan komunikasi antara pembeli dan relawan tunarungu jarang terjadi. Biasanya berupa kesalahan pesan, seperti pembeli yang salah menunjuk minuman atau kelalaian pembeli memberikan catatan khusus, seperti pengurangan takaran gula sampai es batu. “Biasanya kesalahan terjadi pada pembeli yang berusia lanjut dan yang kurang mengerti bahwa relawan kami tunarungu,” kata perempuan 22 tahun itu.
Menurut Zahra, tak sedikit pula pembeli yang penasaran dan bahkan tak percaya bahwa relawan serta barista di Difabis kebanyakan tuli karena ketika diajak berbicara mereka tetap paham dan bisa menyelesaikan pesanan dengan benar. Tak sedikit pula yang ikut-ikutan menggunakan bahasa isyarat berbekal papan pengumuman dan contoh bahasa isyarat yang wajib terpasang di depan gerai.
Dari segi bisnis, Zahra menganggap Difabis Dukuh Atas punya prospek yang cukup baik. Untuk gerai minuman setiap hari minimal mereka bisa menjual 40 gelas dan gerai kue beromzet Rp 1-2,5 juta setiap hari. “Untuk minuman, tetap kopi susu gula aren yang jadi favorit. Kalau kue, favoritnya adalah chiffon ekstra keju.”
Zahra berharap Difabis bisa makin berkembang dan menambah cabang di berbagai lokasi di Jakarta. Saat ini Difabis baru tersedia di enam lokasi, yakni di Dukuh Atas, Kantor Wali Kota Jakarta Utara, Kantor Wali Kota Jakarta Barat, Kantor Wali Kota Jakarta Timur, Kantor Wali Kota Jakarta Selatan, dan Jalan Matraman. “Harapan kami, Difabis bisa sampai ke seluruh Indonesia karena semangatnya mulia untuk membantu penyandang disabilitas,” ujarnya.
Sejumlah pelanggan Difabis Dukuh Atas juga punya harapan yang sama. Nur Alia mengaku terkesan dengan kinerja para difabel di Difabis. Perempuan 34 tahun yang bekerja di sebuah kantor di kawasan Dukuh Atas itu hampir setiap hari membeli minuman di gerai Difabis. “Sembari jalan dari stasiun KRL menuju kantor,” kata perempuan berambut sebahu itu pada Rabu, 8 Mei lalu.
Dari segi rasa dan harga, menurut Alia, produk minuman Difabis tak kalah dibanding kedai kopi lainnya. Bahkan, Alia menilai harga minuman di Difabis relatif lebih murah. Namun semangat dan konsep Difabis ini ia anggap bernilai lebih ketimbang kedai kopi lain karena tak banyak kedai kopi atau usaha lain yang menerima penyandang disabilitas sebagai pekerja. “Dari Difabis, saya melihat mereka jelas bisa bekerja dan saya pun tidak ada masalah,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo