Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kegelisahan para pengukir batu

Para pengukir batu di muntilan, jawa tengah mulai gelisah, persediaan batu mulai menipis, dan pesanan makin berkurang.(sd)

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA ketak-ketik para pengukir batu terdengar nyaring di tengah deru lalu-lalang kendaraan yang padat. Pengukir batu di Muntilan, Jawa Tengah, yang berjejer di pinggir jalan itu, memang harus mengeluarkan tenaga ekstra. Karena yang mereka geluti adalah batu muntahan Gunung Merapi, lebih keras dan padat dibandingkan dengan batu biasa. Batu yang punya berat berton-ton itu menjelma jadi berbagai bentuk patung di tangan para pengukir. Mulai dari patung burung kecil, sampai patung Gupala (tokoh dongeng) setinggi 2 meter. "Untuk membuat patung Gupala dibutuhkan waktu 2 bulan," kata Dadang Suwarno, 35 tahun, yang berpengalaman mengukir 15 tahun. Di sepanjang jalan antara Muntilan dan Magelang itu, ada sekitar 200 pengukir batu. Mereka bekerja pada 20 perusahaan yang menjual kerajinan ini. Dadang bercerita, setelah boss-nya memberi petunjuk, patung apa atau siapa yang akan dibuat -- sesuai pesanan atau yang sedang laris -- ia lantas mereka-reka. Mula-mula batu sebesar gajah dengan bentuk tak keruan itu ditatahnya secara kasar sehingga berbentuk lonjong. Untuk membuat patung Gupala, misalnya, proses membuat tatahan kasar itu memerlukan waktu setengah bulan. Dari bentuk lonjong, baru dikembangkan dengan menggarap anatomi kasar, ukuran kepala, tubuh, tangan, dan kaki. Setengah bulan lagi sudah berwujud Gupala sedang duduk -- belum ada detil seperti, mata, hidung, mulut, rambut, dan sebagainya. Untuk membuat bentuk-bentuk terperinci ini diperlukan lagi waktu setengah bulan. Kemudian tahap akhir, menghaluskan, perlu sekitar 5 hari. "Pekerjaan menghaluskan lebih rumit," katanya. Di sinilah perlu kerja hati-hati. "Sedikit saja mata tatah meleset, patung akan terluka. Tak bisa ditambah," kata ayah 4 anak ini. Dadang yang sekolahnya hanya sampai kelas I SMP menyebutkan patung Gupala setinggi 2 meter dan lebar 1 meter dengan berat 1,3 ton, kecuali memakan waktu lama, juga menelan biaya sangat besar. Karena itu para pengukir tak mampu bekerja dengan modal sendiri. Mereka harus bekerja pada "majikan" dan mendapat gaji. Dadang memilih kerja di Padepokan Kendalisada, perusahaan milik Suyatno H.P. Ia mendapat upah Rp 1.500 sehari ditambah makan 2 kali sehari. Namun Dadang pernah menerima pekerjaan patung Ganesha dengan sistem borongan. Patung itu ia selesaikan dalam waktu 1,5 bulan, dan ia mengantungi Rp 200.000. "Capek bukan main karena harus dikerjakan siang malam," ujarnya. Tapi ia puas. Bukan soal uang saja, tapi "saya merasa telah mengerahkan seluruh kemampuan saya untuk berkarya, patung itu saya anggap paling jempol." Sayang ia tak tahu siapa pembeli patung itu dan di mana sekarang berada, "saya sering kangen," tambahnya. Laki-laki berkulit hitam dan bertangan kekar itu mengaku sudah mengerjakan sekitar 100 patung berbagai ukuran, dari jenis Gupala, Ganesha, Hanoman, Ken Dedes, Roro Jonggrang, Syiwa, Wisnu, Brahma, dan Budha. Empat patung yang disebut belakangan ini tak boleh sembarangan ukurannya. "Modelnya harus mirip, ukurannya pas," katanya. Ia sempat pula ke Jakarta, membuat miniatur Candi Mendut di Taman Mini. Ia bekerja di bawah pimpinan seorang arsitek. "Wah senang sekali, pengalaman saya bertambah karena berkenalan dengan pengukir top," katanya. Tapi pada hari-hari selebihnya ia kembali mengeluh: tenaga terkuras menghadapi batu keras, sementara ia merasa menerima terlalu kecil. Ia toh harus menyerah, "karena saya tak punya keahlian lain. Sinu, 48 tahun, teman sekerja Dadang, juga pasrah. "Saya ini buta huruf, kalau tak mau kerja kasar, tak mungkin dapat pekerjaan," katanya. Dulunya ia kusir delman. Setelah gerobak berkuda itu menghilang, ia menggabungkan diri sebagai penatah batu. Satu-satunya yang membuat ia betah pada pekerjaan ini, karena "kerja bisa agak bebas, bayaran tetap." Ia dibayar Rp 1.000 sehari dengan tambahan dua kali makan. Yang dikerjakan khusus membuat hiasan ular yang melilit di pilar batu, atau patung katak dan binatang kecil-kecil. Tidak begitu menguras tenaga. "Mungkin karena saya sudah tua, badan cepat pegal-pegal," katanya. Karena itu ia mengaku, setiap satu jam harus beristirahat untuk merokok. Majikannya memberi jatah rokok sebungkus sehari. Sarkodim, 25 tahun, agaknya tukang ukir batu termuda di Muntilan. Menjelang Lebaran lalu, ia bernasib sial. Saat itu ia sedang melakukan pekerjaan akhir, menghaluskan pipi patung Gupala setinggi 1 meter. Ia sudah membayangkan bisa mengantungi hadiah Rp 60.000 jika patung itu selesai sebelum Lebaran. Ketika patung itu ia geser pelan-pelan, tumit Gupala membentur batu dan sumbing sekitar 3 cm. Ia mendadak sedih. Tapi segera mendapat akal, dengan tatah bermata tajam ia kikis tumit patung itu. Kembali kelihatan sempurna, namun jelas kekecilan jadinya. "Habis mau diapakan lagi?" kata Sarkodim sambil mengelap keringatnya. "Daripada ditambal semen, kan cacat." Sarkodim sudah 5 tahun bekerja di perusahaan milik Pak Dirjo. Patung Gupala yang diselesaikan tadi, merupakan patung ketujuh. "Sekarang saya tak perlu lagi menggantungkan diri pada orangtua, malah saya bisa mengongkosi adik sekolah," kata pemuda yang hanya tamat SD ini. Ia pernah ikut kerja borongan, membuat pot-pot dari batu keras di Bank Indonesia, Semarang, tahun 1980. Ketika itu sehari ia mengantungi uang Rp 5.000. "Sayangnya kerja borongan ini jarang sekali," katanya. Nasib Dadang, Sinu, Sarkodim, dan teman-teman mereka barangkali tak akan bisa bertahan lama. Karena persediaan batu keras serupa itu sudah mulai tipis. Selama ini batu-batu itu terus diambil, sementara Gunung Merapi tak selalu muntah. Suyanto H.P, 31 tahun, pemilik Padepokan Kendalisada bercerita, betapa sulit dan mahal batu itu sekarang. Mencari batu sebesar gajah itu, mesti mengontrak sawah penduduk di lereng Merapi. Kemudian perlu paling tidak 5 tenaga harus dikerahkan untuk menggali. "Itu pun kalau ada batunya, karena belum tentu sawah yang disewa menyimpan batu," kata Suyatno. Jika penggalian tahap pertama itu menemukan batu, diteruskan menggali sampai batu itu siap diangkut. Menggali saja memerlukan waktu setengah tahun. Setelah batu kelihatan seutuhnya, diperlukan 10 tenaga untuk membersihkan dan mengikis salah satu sisi menjadi datar. Maksudnya agar kelak mudah diangkut. Pekerjaan terakhir inilah yang penuh risiko dan rumit. Mencari truk, mengumpulkan alat-alat katrol untuk menaikkan dan menurunkan batu. "Apa boleh buat, itulah pekerjaan kami," kata Suyatno, ayah 2 anak yang sudah 6 tahun membuka usaha ini. Proses mencari batu itu saja memerlukan modal Rp 300.000 di luar ongkos angkut. Suyatno tak mau berbicara lebih detil, berapa keuntungannya. Hanya disebutkannya sebuah patung Gupala berharga Rp 1,5 juta. Kalau sekali waktu batu Merapi itu habis juga, para pengukir mungkin bisa ditampung pengusaha bongpay, yaitu pembuat batu nisan berukir untuk makam-makam pekuburan Cina. Usaha bongpay di sekitar Muntilan pernah ada, tapi kini agaknya tak terlihat lagi. Di Bandung, pengusaha bongpay yang cukup terkenal, adalah Tjung A Kwat. Ia mempekerjakan 9 orang, semuanya diupah dengan sistem borongan. Slamet, 45 tahun, yang mengaku berpengalaman 15 tahun mengukir batu nisan, menuturkan, perlu waktu sebulan untuk sebuah bongpay yang komplit. Ia dibayar Rp 60.000. "Kalau tak ada pesanan, buruh tak dapat borongan, berarti saya menganggur," kata Slamet. Tapi Tjung dinilainya baik, "kalau Lebaran dikasih hadiah Rp 10.000," kata Slamet lagi. Bongpay yang penuh ukiran itu terbuat dari batu alam yang banyak terdapat di daerah Purwakarta. Harga setempat Rp 420.000 untuk sebuah bongpay yang sudah jadi Kalau dijual langsung ke keluarga si mati, sebuah bongpay komplit yang terdiri dari 21 corak ukiran bisa berharga Rp 1,5 juta. Slamet, akhir-akhir ini mulai gusar: pesanan semakin berkurang dan ini berarti pengangguran. Tahun lalu hampir 3 bulan ia menganggur. Rezeki nomplok memang pernah ia terima, sekitar dua bulan lalu. Perusahaan Tjung ketiban pekerjaan untuk membobol balok batu yang dijadikan prasasti peresmian Proyek Saguling seluas 45 x 45 cm. Borongan itu dibayar Rp 350.000, dikerjakan 8 orang. Slamet tak menyebut, berapa bagian yang ia terima selama 4 hari bekerja itu. "Lumayan, tetapi pekerjaan itu berat, batunya keras," katanya. Sepinya peminat bongpay juga dirasakan pengusaha Susetyo, 45 tahun, di Surabaya yang mempekerjakan 10 buruh. Pengusaha ini menduga hal ini karena sekarang banyak orang keturunan Cina yang tak merasa perlu berbuat seperti leluhur mereka dulu: membuat makam seindah mungkin. Yang juga digelisahkan Susetyo adalah bahan baku yang mahal di Surabaya. Batu yang dipakainya juga dari Jawa Barat. "Sebenarnya yang paling bagus batu dari Pare-Pare, Sulawesi. Tapi yang lebih bagus lagi, ya batu dari Cina," katanya. Agaknya para pengukir batu, baik pengukir di Muntilan yang memproduksi patung-patung, maupun pengukir bongpay di beberapa tempat punya kegelisahan yang sama: suatu ketika akan berhenti bekerja karena kesulitan bahan baku atau karena orang tak menyenangi batu lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus