Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kemacetan adalah masalah lalu lintas di banyak perkotaan, baik di Jakarta maupun kota lain. Berbagai kebijakan dilakukan untuk mengatasi kemacetan, seperti di Jakarta mulai dari 3 in 1, ganjil genap, hingga sekarang yang ramai diperbincangkan yaitu jalan berbayar atau ERP. Lalu, kenapa banyak kota tetap macet? Bagaimana cara mengatasinya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akademisi Prodi Teknik Sipil UNIKA Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menjelaskan masalah macet ini, baik di Jakarta dan sekitarnya atau di kota-kota lain, karena dominasi kendaraan pribadi. Selain itu, minimnya layanan angkutan atau transportasi umum. Menurut Djoko, Pemda, kecuali Jakarta, tidak punya kemampuan finansial dalam menyediakan angkutan umum sendiri sehingga perlu bantuan pemerintah pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bappenas pada 2019 menyebutkan tahun 2045 diperkirakan 230 juta penduduk akan bertempat tinggal di perkotaan. Dampak sekarang, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jabodetabek sebesar Rp 71,4 triliun per tahun akibat pemborosan bahan bakar dan waktu hilang. Terjadi pemborosan BBM sebesar 2,2 juta liter per hari,” kata Djoko.
Bergantung pada kendaraan pribadi
Lebih lanjut, ia menuturkan ketika warga sudah semakin bergantung pada kendaraan pribadi maka transportasi umum akan ditinggalkan. Jakarta sudah bagus memiliki sistem transportasi umum yang baik, terintegrasi, dan nyaman. Namun, daerah-daerah penyangga masih belum banyak yang memiliki angkutan umum yang memadai sehingga kendaraan pribadi masih memenuhi jalanan Jakarta.
“Pengguna angkutan perkotaan mengalami penurunan demand secara signifikan ketika masyarakat semakin tergantung pada kendaraan pribadi. Apabila dibiarkan maka angkutan perkotaan terancam punah dan sudah banyak kota-kota di Indonesia tidak memiliki lagi angkutan umum yang memadai. Jika pun ada, hanya tinggal sisa armada yang masih mampu beroperasi apa adanya namun sudah tidak bisa lagi melakukan peremajaan,” ucap Djoko.
Untuk itu, penyelamatan angkutan perkotaan harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah. Intervensi pemerintah dibutuhkan untuk meremajakan kembali dan mengembalikan daya saing angkutan perkotaan. Penerapan skema pembelian pelayanan (buy the service) merupakan intervensi yang bisa dilakukan pemerintah dengan membeli produksi layanan angkutan perkotaan.
Manajemen transportasi skema buy the service (BTS) tidak menggunakan sistem setoran, pengemudi mendapat gaji bulanan, operator hanya berkonsentrasi pada pelayanan, pembayaran sesuai dengan kilometer layanan, dan mempunyai standar pelayanan tertentu. BTS dilakukan dengan membeli layanan dari operator dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.
Beberapa kota yang dinilai Djoko berhasil menerapkan skema tersebut adalah Solo, Surabaya, Palembang, Medan, Yogyakarta, Purwokerto, Banyumas, Banjarmasin, Bogor, Makassar, dan Denpasar. Peralihan pengguna sepeda motor ke angkutan umum mencapai 60 persen.
Batik Solo Trans mulai beroperasi Juli 2020 memiliki enam koridor dengan panjang 227,5 km, 54 titik integrasi termasuk angkutan feeder, mengoperasikan 116 unit bus sedang dan besar. Rata-rata tingkat isian statis 66,89 persen, peralihan pengguna sepeda motor 77 persen. Batik Solo Trans melayani hingga kawasan Bandara Adi Soemarmo dan ada kebijakan melawan arus di Jalan Slamet Riyadi.
Selanjutnya, Trans Musi Jaya Palembang mulai beroperasi 2 Juni 2020 memiliki empat koridor (127,2 km) dengan 11 titik integrasi, mengoperasikan 194 unit bus sedang dan besar. Rata-rata tingkat isian statis 24,74 persen, peralihan pengguna sepeda motor 60 persen sebagai pendukung LRT Sumatera Selatan.
“Contoh lain Trans Metro Deli Medan yang mulai beroperasi November 2021 memiliki lima koridor (143,19 km) dengan sembilan titik integrasi, mengoperasikan 72 unit bus besar dan sedang. Rata-rata tingkat isian statis 50,68 persen, peralihan pengguna sepeda motor 52 persen,” ujarnya.