PERTENGAHAN bulan Oktober tahun lalu, Perusahaan Jawatan Kereta
Api wilayah eksploatasi Jawa Barat memburu "pedagang usungan".
Selama 5 hari dengan bantuan tenaga Brimob, kereta api disikat
bersih. Adanya pedagang usungan dianggap menyebabkan kebersihan,
ketenangan dan keimanan para penumpang sudah terganggu.
Tindakan yang disebut "Operasi Gemas" itu menangkapi semua
pedagang usungan yang ada di atas kereta yang sedang berjalan.
Mereka didenda seharga karcis jarak yang sudah dilalui.
Kemudian diturunkan dan dibekali ultimatum akan dikurung kalau
sempat tertangkap satu kali lagi. Kalau ada yang bertanya
kenapa, langsung ditunjuk Peraturan Umum Jawatan Kereta Api
sejak zaman Belanda dulu (Algemene Bepaliugen Staatspoor en
Tramwegen, ABST) yang melarang berdagang di atas kereta.
Operasi tersebut tidak hangat-hangat tahi ayam. Sampai sekarang
di setiap stasiun dapat dijumpai 2 orang polisi ang bertugas 12
jam, untuk berjaga-jaga. Di stasiun Cikampek ada sedikit
perkecualian. Para pedagang masih diperkenankan untuk berjualan,
asal dari bawah kereta. Alasannya mungkin untuk memberikan
kesempatan para penumpang berkantong kempes yang tak sanggup
berbelanja di restorasi, memenuhi kebutuhannya. Tapi begitu
kereta berangkat dari peron, para pedagang itu harus keluar,
tidak diperkenankan lalu lalang.
Sekitar 200 orang pedagang usungan sekarang ada di stasiun
Cikampek. Dan lak kurang dari 300 orang yang dapat dijumpai di
stasiun Jatibarang, Cirebon. Enam orang pedagang di Cikampek
sempat ditahan polisi karena tertangkap basah di atas kereta,
Desember yang lalu. Semuanya mengeluh karena sumber hidupnya
terancam. "Keluarga saya morat-marjt karena penghasilan jauh
menurun dari biasa," kata salah seorang di antaranya kepada
Helman Eidy dari TEMPO.
Sudah Afkir
Di samping mengeluh, ada juga di antaranya yang mencoba
bertindak. Rasmid, pedagang lontong campur tahu goreng yang
sudah berusia 50 tahun, berusaha lari ke atas bus. Setelah
separuh usianya dihabiskan di atas kereta ia tidak melihat jalan
lain kecuali mengungsi. Untuk menukar pekerjaan, menjadi tukang
beca misalnya, atau balik ke kampunnya di Ciledug, Cirebon,
menjadi petani, ia tidak sanggup. Tenaganya sudah afkiran.
Rasmid memilih bus jurusan Jakarta Cikampek. Kadang-kadang ia
terus sampai ke Cirebon. Tetapi di atas bus, ia menemukan
persoalan yang sama. Kondektur bus sekarang tidak lagi seramah
dulu. Mereka juga tidak suka digerayangi oleh pedagang usungan.
Di terminal-terminal, mereka selalu buru-buru menutup pintu
sambil berkata: "Mereka mengganggu. Coba di satu kendaraan
mereka sampai 8 orang. Kan mengganggu?!"
Rasmid tidak mungkin lagi nekad bergelantungan di pintu bus,
berhubung dengan tenaganya. Kalau toh dicoba, belum tentu
diberikan, karena sopir-sopir sekarang juga keras. "Habis kalau
mereka jatuh, yang masuk penjara kan saya juga," kata seorang
sopir di terminal Pulo Gadung kepada TEMPO.
Entah berapa orang pedagang usungan di kereta api yang mengikuti
jejak Rasmid. Dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 500 sehari,
pedagarg usungan yang biasanya berdinas dari pagi sampai malam
itu, kini terpaksa harus menghadapi medan baru. Halangannya juga
tidak sedikit. Sebab di terminal bus juga bukan tidak ada
larangan berjualan. Di Cikampek pada tahun 1976 seorang pedagang
usungan pernah tertembak senapan angin oleh petugas terminal.
Meskipun ini kecelakaan, tetapi menunjukkan bahwa petugas
keamanan sempat menghunus senapan angin ke arah pedagang usungan
yang dianggapnya mengganggu keamanan penumpang bus.
Pedagang usungan yang melayani penumpang bus ada dua macam.
Rasmid sekarang adalah jenis yang ikut di dalam mobil. Ada juga
yang hanya menunggu di tepi jalan, biasanya di pintu kereta.
Waktu. bus-bus terpaksa berhenti menunggu kereta lewat, mereka
menyerbu masuk. Di sebuah pintu kereta (tepatnya di Bojang Sari,
Bekasi) tak kurang dari 200 pedagang dijumpai. Seorang petugas
LLD di Karawang memperkirakan antara Jakarta-Cikampek (85
kilometer) tak kurang dari 1000 orang jumlahnya. "Kalau
diteruskan sampai Cirebon lebih dari 3 000 orang," katanya.
Pedagang usungan itu umumnya bermodal kecil. Untungnya juga
kecil. Rata-rata mereka hanya mendapat laba Rp 200 sampai Rp 300
sehari. Tetapi ada juga yang akalnya besar. Seorang penjual teh
botol misalnya di pintu kereta Bojang Sari, bisa saja mengisi
botol dengan teh palsu, sehingga dapat keuntungan berlipat.
Tetapi ini langsung dibantah seorang pedagang teh botol di
daerah itu dengan sumpah mati. Meskipun ia tidak bisa
menjelaskan kenapa tutup botol tehnya sudah penyak-penyok
sebelum dibuka.
Pedagang usungan memang sejak lama namanya agak buruk. Kenapa?
Di stasiun Cikampek tahun yang lalu, pernah terjadi baku hantam
antara pembeli dan seorang pedagang usungan gara-gara salah
paham harga. Sebotol minuman yang disangka pembeli berharga Rp
25 ternyata Rp 250. Ini menimbulkan perang mulut dan kemudian
cabut belati. Baik pembeli maupun penjual akhirnya terpaksa
masuk Rumah Sakit.
Ada juga pedagang usungan yang dituduh menjual ayam goreng yang
berasal dari ayam mati. Maksudnya, tentu, mati secara tidak
wajar. Terhadap tuduhan ini Kasimah yang kini masih berjualan di
stasiun Cirebon, membantah keras. Ia memang mengaku bahwa
kadangkala ayam-ayam yang tak laku memang digoreng lagi untuk
dijual hari berikutnya. Ia juga mengaku, kadangkala jualannya
kotor, tapi itu disebabkan karena ulah para pembeli sendiri yang
suka membolak-balik sebelum membeli. "Tapi soal menjual ayam
mati, itu omongan yang ingin menghancurkan hidup kami," ujarnya,
'Kalau iya, berapa sih ayam mati ditabrak mobil sehari?"
Ada lagi keluhan berhubung adanya pedagang yang suka menawarkan
dagangan sambil main paksa. Barang yang urung dibeli dicampakkan
ke wajah pembelinya. Sekali waktu rokok yang sedang dihisap
penumpang dirampas dan kemudian dilemparkan ke muka penumpang
itu. Lain waktu, setelah berlangsung "Operasi Gemas" rumah
kepala stasiun Cirebon dihujani batu. "Kadangkala mereka memang
keterlaluan, kelihatannya sudah menjurus kepada kejahatan,"
kata polisi di Cikampek. Ini diperkuat oleh laporan seorang
kondektu bus Jakarta-Cirebon, yang menyatakan kaca busnya kena
lempar, setelah para pedagang itu dilarang naik. Tapi orang
kepepet, lumrah 'kan, kalau marah dan nekad?
Tentu saja tidak semua pedagang usungan galak-galak. Orang
seperti Wasim, 41 tahun, pedagang ayam goreng yang kita sebut
tadi, tidak pernah galak. Ia masih terus mencoba bertahan di
stasiun Cikampek, sambil mengeluh bahwa penghasilannya sekarang
jauh menciut.
Ia menjual ayam goreng, kepunyaan orang lain, dengan komisi Rp
50 setiap potong. Operasi Gemas memang memhuat penghasilan
rata-ratanya melorot. Dulu tidak berarti baik: meski keadaan
leluasa, ia sempat juga mengalami pasaran sepi. Misalnya satu
hari ia hanya mampu menjual nasi dan dua potong ayam tok. Kalau
sudah begini ia selalu berkata: "Rezeki terletak di tangan
Tuhan."
Karena barang jualan itu bukan miliknya, risiko Wasim hanya
terbatas pada tangan kosong. Yang rugi adalah sipemilik. Tetapi
meskipun demikian Wasim tetap susah. Di samping untuk perutnya
sendiri, ia juga harus menyisihkan Rp 3 ribu sampai Rp 5 ribu
untuk keluarganya yang ditinggalnya di Ciledug. Sekarang Wasim
mungkin sekali sudah berpikir-pikir untuk mengungsi ke dalam bus
seperti yang dilakukan oleh Rasmid. Asal ia tahu saja bahwa
pedagang usungan yang sekarang beroperasi di bus-bus di Jawa
Barat sekitar 6 ribu orang. Dan kemungkinan Operasi Gemas juga
akan menjamah bus. Ke mana akhirnya mereka harus pergi, Operasi
Gemas tak kasih jalan keluar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini