Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kisah abdullah, zain dan djedar

Kisah abdullah, 50, menjadi guru sejak 1951 di kab. banjar, kalimantan. ahmad zain, 48, kepala sd, rumahnya pernah dikepung penduduk. djedar pernah bertemu dengan polisi yang seram dan ternyata muridnya. (sd)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG tidak "teladan" bagaimana?. Hidup mereka kelihatan aman, karena tak berbeda: berada di belakang meja, di bawah atap sekolah, dengan jaminan uang pensiun sebagai pegawai negeri. Tetapi sesungguhnya berat bila diingat tanggung jawabnya. "Selama saya bertugas jadi guru, pernah dua kali saya terancam bahaya maut," ujar Abdullah, seorang guru SD di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan. Abdullah berusia 50 tahun. Menjadi guru sejak 1951. Ia tamatan Vervolgschool (SD di zaman Belanda. Karena tahun 50-an Pemerintah gentayangan mencari guru, Abdullah kena sabet sebagai guru pembantu di desa. Kendati orangnya sendiri rada ketir-ketir tak tahu bagaimana harus menjalankan prakteknya. Toh dia tancap juga. Dikepung Parang Abdullah ikut kursus PSBG. Sempat lulus juga di KPG. Akhirnya diserahi menjabat kepala SD. Dari pelosok Tandipah, perlahan-lahan ia mendesak ke Sungai Tabuk, hanya beberapa kilometer dari Banjarmasin. Daerah itu masih bertemperamen tinggi -- di zaman Abdullah. Guru ini tidak bisa hanya berdiri di depan kelas. Bersama tetuha masyarakat dan orangtua murid ia melihat kampung-kampung yang tak punya sekolah, lantas membangun gedung berswadaya. Peralatan sekolah sering diusahakan sendiri -- kasihan murid menulis di lantai. Untuk itu dari setiap murid baru biasanya ditarik upeti untuk uang bangku. Tahun 1968 setiap murid membayar Rp 100. Pembayaran lancar. Anehnya ada juga wali murid berkelit -- bukan karena tak mampu, hanya karena pelit. Satu kali Abdullah menegur wali murid yang pelit itu dalam lorong kampung. Seingatnya ia hanya berkata: "Mengapa tak membayar-bayar?" Tapi orang tersebut tak menyahut. Nah. Beberapa hari kemudian, Abdullah lewat di depan rumah orang itu. Ia dilambai supaya singgah. Abdullah sudah senang, menyangka orang tersebut akan membayar. Tapi begitu turun dari sepeda, sebuah parang berkelebat arah dadanya. Abdullah masih sempat mengelak. Orang tersebut kalap dan membetot sepeda dengan gila. Untunglah lewat seorang ulama yang keburu melerai sebelum ada pertumpahan darah. "Biasanya turun dari rumah saya membaca Ayat 7. Hari itu entah kenapa tidak," ujar Abdullah kepada Rachmat Marlim dari TEMPO, Peristiwa berikut terjadi lagi -- sesudah ia melaporkan seorang guru bawahannya kepada penilik sekolah karena Abdullah sudah bosan menegur sendiri bawahannya. Akibatnya guru itu disemprot oleh penilik sekolah. Tapi apa buntutnya? Ia mengasah parang hendak mencegat Abdullah. Orangtua guru itu sendiri langsung datang ke Abdullah dan marah "Kalau sama-sama Islam, mengapa melapor!" Untung Abdullah tenang. Ia berdoa. Tak tersangka, hati orang itu mendadak lemas. Aneh memang. Ia malah menasehati agar Abdullah jangan melewati rumahnya, karena anaknya sudah siap tempur. Sekarang mengenai tanggung jawab. Tersebutlah Ahmad Zain (48 tahun) Kepala Sekolah SD Banjarbaru 11. Satu kesempatan, ia membawa murid-muridnya ke kolam mandi di Lok Tabat. Mereka main air puas-puas. Pada waktu pulang, Zain sendiri menghitung muridnya naik truk. Tapi malam han datang seorang wali murid, melaporkan anaknya belum pulang. Selidik punya selidik, ternyata anaknya ketinggalan di kolam. Rupanya ia merasa belum puas waktu teman-temannya pulang. Tapi waktu ditemukan, ia sudah berupa mayat .... Zain dianggap bertanggung jawab atas kematian itu. Rumahnya dikepung dengan parang terhunus. "Mana gurunya. Ayo keluar, sikat saja," ujar khalayak. Zain tak berani keluar -- tapi ia sudah bersiap mati bersama adiknya yang satu rumah. Berjam-jam ia menunggu. Tapi orang-orang itu ternyata hanya mengancam. Akhirnya orang-orang kampung muncul mendamaikan. Zain pun mengirim utusan dan uang duka untuk membantu penguburan. "Sebenarnya orangtua korban sendiri tak apa-apa, hanya orang lain yang galak memanasi," kata Zain mengenangkan peristiwa yang sangat disesalinya itu. Berbeda dengan Abdullah, Zain kemudian tak betah jadi guru. Begitu ada kesempatan jadi instruktur pendidikan jasmani, ia melamar. Sekarang ia menjabat Kasi Masorda pada Kandep P dan K Kabupaten Banjar di Martapura. Anehnya, sampai sekarang ia tetap dipanggil Pak Guru -- bukan Pak Kasi Masorda. Masa lalunya sebagai guru kadangkala membuat ia merasa bahagia -- kalau melihat bekas anak didiknya jadi orang. "Biarlah kita begini-begini saja. Anak dan murid jadi harapan, katanya pasrah. Memang, tidak semua guru pasrah dan sabar. Almarhum Guru Djedar, yang sudah menjelajahi Kal-Tim dan Kal-Sel, adalah guru tipe tahun 20-an. Disiplinnya 24 karat. Rajin. Keras. Selama menjalankan tugas ia sering menekan perasaan marah. Akibatnya ia menderita tekanan darah tinggi. Jalannya pincang. Sekali tempo, Djedar melintas di Bioskop Rex Banjarmasin --sekarang bernama Ria. Tak tersangka seorang polisi militer yang angker mencegatnya. Ia dinaikkan ke mobil dan diantarkan ke Kantor Perbendaharaan Pusat -- di mana ia mengurus pensiunnya. Ditinggal di situ, tapi diharuskan kembali ke depan bioskop kalau urusan rampung. Djedar cemas dan takut, tapi ia bukan guru yang galak lagi. Setelah urusan di KPP selesai, ia menurut kembali ke hadapan orang yang angker itu. Djedar dinaikkan kembali ke dalam jip. Bekas guru itu sudah bertambah cemas. Jip berhenti di depan restoran. Djedar masih bingung. Di dalam restoran, polisi militer yang angker itu baru berkata: "Maaf bapak, saya murid bapak ketika di Berau dulu." Djedar sertamerta seperti disiram air anyep. Ia memandangi orang itu sambil mengingat-ingat. "Ingat murid bapak yang paling nakal, yang bapak pukul dengan belebas sampai patah," kata CPM itu sambil tersenyum sekarang. Tatkala Djedar menanyakan kenapa tidak dari mula dijelaskan, polisi itu tertawa kecil: "Dulu bapak menghukum saya, sekarang saya coba-coba membalas menghukum. Ini surprise," katanya sambil tertawa ngakak. Maka Almarhum Djedar waktu itu sempat terharu. Apalagi ketika bekas murid itu menyelipkan uang kertas ke sakunya. Ia menasehati Djedar supaya tidak jalan kaki lagi. Dan yang lebih mengharukan Djedar, setelah itu, bekas murid brandal itu menjabat tangannya dengan sungguh-sungguh. Suaranya mengharukan: "Berkat pukulan bapak, akhirnya saya jadi orang. Terima kasih dan selamat jalan." Mungkin ini salah satu dari pengalaman Djedar yang paling diingatnya, sebelum pada akhirnya ia menghadap Tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus