Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kisah Kematian Pandu

Pandu, 5, yang sakit koreng meninggal akibat disuntik penstrep di Jakarta. Subiyakto, ayah pandu, menggugat dokter ke pengadilan. (ksh)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMURNYA 4 tahun 8 bulan. Panduwiratmaji namanya. Di kalangan orangtua dan teman-teman sepermainan dia cukup dipanggil Pandu. Dia sudah bersiap-siap masuk sekolah taman kanak-kanak. Semua keperluan untuk itu sudah disiapkan ayahnya. Dia mendapat sepasang sepatu baru, stelan baju batik dan lain-lain. Hanya ada satu kekurangan Pandu untuk terjun ke bangku sekolah, begitulah kira-kira fikiran ayahnya, Pak Subiakto yang sehari-harinya menjadi guru SMP. Yaitu si cilik menderita koreng di lengannya. Sore tanggal 2 Desember ibunya membawa ke praktek dokter yang terletak tak jauh dari rumah. Di Jalan Percetakan Negara, Jakarta. Pandu dan adiknya memang sering dibawa ke dokter tersebut kalau kebetulan hanya menderita penyakit ringan. Koreng yang menyerupai eksim memang sudah agak lama diderita Pandu. Sudah dua kali dia mendapat suntikan penisilin dari dokter tersebut, menurut cerita ibunya. Tapi penyakit kulit tersebut tak sembuh-sembuh juga. Untuk pengobatan yang kesekian kalinya itu, Subiakto sudah berpesan kepada isterinya atau bisa minta saja salep yang lebih paten dan jangan disuntik". Ketika akan berangkat sore itu, Pandu sempat membuat protes kecil. "Bu saya mau ke rumah sakit tapi jangan ke dokter itu". Protes ini ditawar oleh ibunya dengan mengatakan: "Tak boleh begitu ya, Pandu harus patuh pada dokter". Karena bujukan itu iapun bersedia berangkat ke dokter langganan keluarga tersebut. Di tengah jalan Pandu dan ibunya singgah dulu di rumah neneknya. Di rumah nenek itu ia pamitan dan berkata: "Mbah Uti, Pandu mau ke dokter. Daag". Mereka pun sampai ke tempat dokter. Ruangan praktek masih sepi. Dia mendapat giliran kedua. Sehabis diperiksa, dokter lantas menyuruh mantrinya menyuntik. Meskipun suami sudah berpesan agar kalau mungkin jangan disuntik, tapi Ibu Pandu terpaksa menyerah juga kepada kenyataan. "Kalau dokter memang menyuruh disuntik ya apa boleh buat", fikirnya. Menurut keterangan mantri, suntikan tersebut berisi penstrep. Suntikan tadi nampaknya bukannya membawa perbaikan bagi penderitaan Pandu. Dia sudah tak dapat beranjak dari tempat tidur. Jangankan berdiri duduk pun dia tak mampu. Ibunya kontan panik seketika. "Kenapa bisa begini?", tanyanya kebingungan kepada dokter. Dia jadi tambah panik lagi begitu melihat buih dan busa yang mengalir dari mulut dan hidung anaknya. Si dokter hanya menjawab: "Tenang saja, anak ibu nanti juga akan sembuh". Tak lama kemudian Pandu sudah tak bernyawa dan ibunya menangis tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Ketika malapetaka itu menghampiri Pandu, di rumah, ayahnya sedang duduk-duduk beristirahat. Dia dikejutkan oleh orang yang datang dan memintanya untuk datang ke kamar praktek dokter. Dia langsung berangkat dan menemukan ruangan praktek dokter penuh sesak oleh kerumunan orang. Orang-orang yang berkumpul ini antara lain datang karena diundang oleh isak-tangis ibu Pandu. Dari kerumunan orang itu Subiakto mendengar kabar bahwa anaknya sudah meninggal di ruangan praktek. Dia lantas menguak kerumunan orang, menerobos pintu dan masuk menemui dokter. Sambil memegangi tangan dokter, dia bertanya setengah berteriak: "Kenapa anak saya?". Berulang-ulang dia berkata begitu, sedangkan dokter menyahut: "Tenang Pak. Tenang". Dia berpaling dari dokter dan menyerbu anaknya yang tak bergerak lagi di tempat tidur. Dia peluk ketat-ketat anak yang sudah tak bergerak dan dia ciumi. Sementara busa mengalir dari mulut Pandu si cilik. Benda Tajam Tak lama kemudian Pandu dibawa ke rumah neneknya. Dokter menawarkan jalan damai dan bersedia membiayai semua ongkos penguburan asal keluarga Subiakto tidak menuntut. Dan kalaupun mau menuntut jalan tetap tersedia. Sebuah ambulans sudah siap untuk membawa tubuh Pandu dan membuat visum di rumahsakit. Tapi tawaran ganti-rugi itu ditolak karena keluarga Pandu tidak ingin mendapat ganti-rugi berupa uang atau apa saja. Subiakto memilih jalan mengajukan tuntutan terhadap kejadian yang menimpa anak sulungnya itu. Semula dia memang sudah mengikhlaskan kepergian Pandu begitu saja, tapi atas nasehat seorang famili, tuntutan itu diajukan dengan tujuan untuk melindungi pasien terutama kanak-kanak. Meskipun untuk itu dia harus siap menghadapi prosedur dalam pembuatan visum. Malam itu juga pengaduan disampaikan pada pihak kepolisian. Dan besok paginya jam 6 mayat Pandu dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo. Siangnya Pandu, anak yang kelihatan segar bugar, yang siap masuk taman kanak-kanak, yang penurut makin manja, makin suka bergaul dengan teman-temannya diberangkatkan ke perjalanannya yang terakhir. Begitulah perjalanan seorang anak berdasarkan cerita orangtuanya sendiri. Sementara dokter yang semula diharapkan meringankan beban, ketika dihubungi menjelaskan bahwa: "Nasib saya lagi naas. Sebenarnya Pandu sudah sepuluh kali menerima penstrep. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda alergi. Begitupun kedua orangtuanya tidak pernah mengadukan kepada saya tentang adanya keluhan dari anaknya begitu dapat penstrep". Menurut keterangannya begitu dia melihat Pandu turun dari tempat tidur dan tak kuasa untuk berdiri, dia perintahkan mantrinya untuk memberikan adrenalin. Dan setiap Pandu dapat penstrep katanya dia selalu memberikan obat anti-alergi, denadryl. Dan menjelang kematian itu dia berikan pula adrenalin dan ternyata tak menolong. Dokter ini nampaknya siap untuk menghadapi pengadilan untuk peristiwa mana dia terlibat. Dan pada malam naas itu pun dia sudah meninggalkan ruangan prakteknya langsung ke rumah untuk membuat laporan kematian. Tapi malang kacamata dan kuncinya tertinggal di kamar praktek. Di samping itu dia memang kelihatan terdorong pula untuk keluar ruangan praktek, karena suasana yang menjadi ribut dan kabarnya ada yang membawa benda tajam ke tempat prakteknya. Menurut dokter ini Pandu memang mengalami infeksi dengan korengnya. Ada nanah di situ, katanya. Karena itu dia beri suntikan penstrep.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus