Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UMURNYA 4 tahun 8 bulan. Panduwiratmaji namanya. Di kalangan
orangtua dan teman-teman sepermainan dia cukup dipanggil Pandu.
Dia sudah bersiap-siap masuk sekolah taman kanak-kanak. Semua
keperluan untuk itu sudah disiapkan ayahnya. Dia mendapat
sepasang sepatu baru, stelan baju batik dan lain-lain. Hanya ada
satu kekurangan Pandu untuk terjun ke bangku sekolah, begitulah
kira-kira fikiran ayahnya, Pak Subiakto yang sehari-harinya
menjadi guru SMP. Yaitu si cilik menderita koreng di lengannya.
Sore tanggal 2 Desember ibunya membawa ke praktek dokter yang
terletak tak jauh dari rumah. Di Jalan Percetakan Negara,
Jakarta. Pandu dan adiknya memang sering dibawa ke dokter
tersebut kalau kebetulan hanya menderita penyakit ringan.
Koreng yang menyerupai eksim memang sudah agak lama diderita
Pandu. Sudah dua kali dia mendapat suntikan penisilin dari
dokter tersebut, menurut cerita ibunya. Tapi penyakit kulit
tersebut tak sembuh-sembuh juga. Untuk pengobatan yang kesekian
kalinya itu, Subiakto sudah berpesan kepada isterinya atau bisa
minta saja salep yang lebih paten dan jangan disuntik". Ketika
akan berangkat sore itu, Pandu sempat membuat protes kecil. "Bu
saya mau ke rumah sakit tapi jangan ke dokter itu". Protes ini
ditawar oleh ibunya dengan mengatakan: "Tak boleh begitu ya,
Pandu harus patuh pada dokter".
Karena bujukan itu iapun bersedia berangkat ke dokter langganan
keluarga tersebut. Di tengah jalan Pandu dan ibunya singgah dulu
di rumah neneknya. Di rumah nenek itu ia pamitan dan berkata:
"Mbah Uti, Pandu mau ke dokter. Daag". Mereka pun sampai ke
tempat dokter. Ruangan praktek masih sepi. Dia mendapat giliran
kedua. Sehabis diperiksa, dokter lantas menyuruh mantrinya
menyuntik. Meskipun suami sudah berpesan agar kalau mungkin
jangan disuntik, tapi Ibu Pandu terpaksa menyerah juga kepada
kenyataan. "Kalau dokter memang menyuruh disuntik ya apa boleh
buat", fikirnya. Menurut keterangan mantri, suntikan tersebut
berisi penstrep.
Suntikan tadi nampaknya bukannya membawa perbaikan bagi
penderitaan Pandu. Dia sudah tak dapat beranjak dari tempat
tidur. Jangankan berdiri duduk pun dia tak mampu. Ibunya kontan
panik seketika. "Kenapa bisa begini?", tanyanya kebingungan
kepada dokter. Dia jadi tambah panik lagi begitu melihat buih
dan busa yang mengalir dari mulut dan hidung anaknya. Si dokter
hanya menjawab: "Tenang saja, anak ibu nanti juga akan
sembuh". Tak lama kemudian Pandu sudah tak bernyawa dan ibunya
menangis tanpa tahu apa yang harus dilakukan.
Ketika malapetaka itu menghampiri Pandu, di rumah, ayahnya
sedang duduk-duduk beristirahat. Dia dikejutkan oleh orang yang
datang dan memintanya untuk datang ke kamar praktek dokter. Dia
langsung berangkat dan menemukan ruangan praktek dokter penuh
sesak oleh kerumunan orang. Orang-orang yang berkumpul ini
antara lain datang karena diundang oleh isak-tangis ibu Pandu.
Dari kerumunan orang itu Subiakto mendengar kabar bahwa anaknya
sudah meninggal di ruangan praktek. Dia lantas menguak kerumunan
orang, menerobos pintu dan masuk menemui dokter. Sambil
memegangi tangan dokter, dia bertanya setengah berteriak:
"Kenapa anak saya?". Berulang-ulang dia berkata begitu,
sedangkan dokter menyahut: "Tenang Pak. Tenang". Dia berpaling
dari dokter dan menyerbu anaknya yang tak bergerak lagi di
tempat tidur. Dia peluk ketat-ketat anak yang sudah tak bergerak
dan dia ciumi. Sementara busa mengalir dari mulut Pandu si
cilik.
Benda Tajam
Tak lama kemudian Pandu dibawa ke rumah neneknya. Dokter
menawarkan jalan damai dan bersedia membiayai semua ongkos
penguburan asal keluarga Subiakto tidak menuntut. Dan kalaupun
mau menuntut jalan tetap tersedia. Sebuah ambulans sudah siap
untuk membawa tubuh Pandu dan membuat visum di rumahsakit. Tapi
tawaran ganti-rugi itu ditolak karena keluarga Pandu tidak ingin
mendapat ganti-rugi berupa uang atau apa saja. Subiakto memilih
jalan mengajukan tuntutan terhadap kejadian yang menimpa anak
sulungnya itu. Semula dia memang sudah mengikhlaskan kepergian
Pandu begitu saja, tapi atas nasehat seorang famili, tuntutan
itu diajukan dengan tujuan untuk melindungi pasien terutama
kanak-kanak. Meskipun untuk itu dia harus siap menghadapi
prosedur dalam pembuatan visum.
Malam itu juga pengaduan disampaikan pada pihak kepolisian. Dan
besok paginya jam 6 mayat Pandu dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo.
Siangnya Pandu, anak yang kelihatan segar bugar, yang siap masuk
taman kanak-kanak, yang penurut makin manja, makin suka bergaul
dengan teman-temannya diberangkatkan ke perjalanannya yang
terakhir.
Begitulah perjalanan seorang anak berdasarkan cerita
orangtuanya sendiri. Sementara dokter yang semula diharapkan
meringankan beban, ketika dihubungi menjelaskan bahwa: "Nasib
saya lagi naas. Sebenarnya Pandu sudah sepuluh kali menerima
penstrep. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda alergi. Begitupun
kedua orangtuanya tidak pernah mengadukan kepada saya tentang
adanya keluhan dari anaknya begitu dapat penstrep". Menurut
keterangannya begitu dia melihat Pandu turun dari tempat tidur
dan tak kuasa untuk berdiri, dia perintahkan mantrinya untuk
memberikan adrenalin. Dan setiap Pandu dapat penstrep katanya
dia selalu memberikan obat anti-alergi, denadryl. Dan menjelang
kematian itu dia berikan pula adrenalin dan ternyata tak
menolong.
Dokter ini nampaknya siap untuk menghadapi pengadilan untuk
peristiwa mana dia terlibat. Dan pada malam naas itu pun dia
sudah meninggalkan ruangan prakteknya langsung ke rumah untuk
membuat laporan kematian. Tapi malang kacamata dan kuncinya
tertinggal di kamar praktek. Di samping itu dia memang kelihatan
terdorong pula untuk keluar ruangan praktek, karena suasana yang
menjadi ribut dan kabarnya ada yang membawa benda tajam ke
tempat prakteknya. Menurut dokter ini Pandu memang mengalami
infeksi dengan korengnya. Ada nanah di situ, katanya. Karena itu
dia beri suntikan penstrep.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo