Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Leya Cattleya: Perempuan Sektor informal Perlu Meningkatkan Ekonominya

Leya Cattleya, bersama sejumlah sahabatnya di Komunitas EMPU, terus bergerak membantu kelompok-kelompok perempuan marginal.

26 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leya Cattleya, bersama sejumlah sahabatnya di komunitas EMPU, terus bergerak membantu kelompok-kelompok perempuan marginal. EMPU, yang bermula dari komunitas batik dan tenun ramah lingkungan dengan warna alam, melebarkan gerakannya untuk memberdayakan ibu-ibu penjual jamu hingga kelompok disabilitas di berbagai kota di Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Kami bergerak bersama, menggali yang kawan-kawan punya,” ujar salah seorang inisiator EMPU itu kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui telepon aplikasi pada 21 Desember lalu. Ia menceritakan tentang upaya mengadvokasi ekonomi perempuan marginal agar bisa bangkit dan bertahan di tengah pandemi Covid-19. Berikut ini petikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana awalnya kegiatan EMPU ini?
Sebenarnya ini berawal dari kumpul-kumpul mewujudkan tekstil ramah lingkungan dengan pewarna alam. Kebetulan adik saya berkolaborasi dengan dengan perajin warna alam, lalu bikin festival di Semarang. Ada talkshow, pameran, dan workshop. Seminggu kemudian, ada kerja sama dengan PT KAI membuat fashion show di kereta. Kami juga bekerja sama dengan para nelayan membuat fashion show di kapal. EMPU jadi makin dikenal kawan-kawan.

Nah, memasuki Maret 2020, pandemi Covid-19 diumumkan. Ada ide membuat masker dengan mencontoh masker yang ada di Republik Cek. Saat itu, komunitas batik EMPU mulai kehilangan pelanggan. Lalu saya bilang, mau enggak bikin masker? Tapi jawabannya, ini kan kain mahal, bagus. Saya bilang lagi, kalau bikinnya lebih bagus, keuntungannya lebih bagus juga. Daripada disimpan saja, lebih baik dikeluarkan. Akhirnya mereka mau. Kami enggak ambil untung.

Lalu?
Kami bikin masker bedah dari kain batik. Masyarakat berduyun-duyun menyumbang. Para donatur kain sangat antusias menyumbangkan kain-kain cantik kesayangan mereka. Masker-masker itu kami salurkan ke beberapa daerah terpencil. Pertimbangannya, untuk wilayah episentrum sudah banyak. Makanya kami arahkan ke perbatasan, yang belum terlindungi. Di sana ada banyak pekerja migran yang dipulangkan. Kami mengirimkan kain dan pola masker kepada mama-mama di Ambon. Mereka bisa membantu ratusan perempuan. Mereka akhirnya malah mendapat pesanan dari pemda.

Pengiriman tidak terhambat?
Oh, iya, itu saat PSBB, jasa kurir mahal sekali. Kami minta tolong BNPB, dikirim dengan pesawat AU. Kami kirim ke Pulau Seram, Jayapura, Yahukimo, Saumlaki, Alor, dan beberapa wilayah lainnya. Sasarannya kebanyakan kelompok rentan, seperti pekerja migran, petani garam, orang lansia, difabel, perempuan yang dilacurkan, petugas puskesmas, serta ibu-ibu penjual jamu.

Kegiatan ibu-ibu penjual jamu berlanjut?
Dari masker, lalu ke edukasi. Itu berawal pada Mei lalu. Kawan juga tergerak untuk mengenalkan edukasi protokol kesehatan. Kami pilih pamong, semacam koordinator program. Mereka mengumpulkan ibu-ibu penjual jamu. Mereka kan terkena dampak PSBB karena tidak bisa berjualan, semua jalan diplang. Kebanyakan dari mereka menjadi penjual jamu karena orang tuanya juga penjual jamu. Dapat ilmunya, ya, begitu saja, turun-temurun. Tidak memperhatikan soal aspek kesehatan dan faktor kebersihan pada saat proses pembuatan. Jamu yang mereka buat masih mengandung mikroba dan bakteri. Nah, saat pandemi, banyak muncul penjual jamu baru di perkotaan, dikemas bagus, dan dijual online.

Selanjutnya?
Saya pikir, ibu-ibu penjual jamu ini bisa mati pendapatannya. Di kota seperti di Bekasi dan Jakarta, banyak penjual jamu yang mudik. Sebagian masih bertahan. Kami mencoba mengumpulkan mereka untuk mendapatkan bimbingan teknis. Dari 200 yang terdata, ada 70 orang yang ikut acara secara daring. Dari Yogyakarta, Serang, Palu, Sragen, hingga Maluku. Yang dinamikanya sangat bagus ada di Sragen dan Maluku.

Pendiri Komunitas Empu, Leya Cattleya, menunjukan pembalut kain dari batik di Jakarta, 23 Desember 2020. TEMPO/Nita Dian



Dinamikanya seperti apa?
Di Ambon, Maluku, dikumpulkan oleh Kak Bai (Baihajar Tualeka), pengacara untuk kasus perempuan dan KDRT. Dia mengikuti salah seorang ibu penjual jamu menemui pelanggannya. Ternyata jalannya jauh. Uniknya, pelanggannya bukan hanya orang Jawa di sana, tapi juga warga Ambon dan lainnya. Dari satu orang ini kemudian bisa terkumpul sekitar 50-an ibu-ibu penjaja jamu. Mereka orang Jawa. Ketika terjadi konflik dulu, suami-suami mereka pulang ke Jawa, tapi istrinya bertahan di sana.

Ada juga mama-mama dari Pulau Buru dan daerah konflik yang akan diberdayakan untuk menanam tanaman. Secara tak langsung mereka juga ikut merawat damai dengan semua komunitas langganan mereka. Adapun di Sragen, mereka tak hanya mendapatkan bimbingan soal protokol kesehatan dan kebersihan pembuatan jamu, tapi juga bercocok tanam. Kami mendapat bantuan dari Benihbaik. Mereka membuat ketahanan pangan dan mendapat bantuan wakaf tanah seluas 2.300 meter persegi dari Mbak Ida Tina—sahabat Leya—untuk mereka kelola.

Perekrutannya secara virtual?
Betul. Perekrutan awal, saya melakukan video call dengan mereka yang punya aplikasi WhatsApp atau difasilitasi pamong. Untuk yang di Sragen, pamongnya luar biasa, sehingga bisa mengorganisasi banyak orang. Memang ini kerja-kerja para sahabat yang kemudian menjadi pamong. Saya cuma dari jauh berkomunikasi tiap hari dengan pendampingan. Kini pamong jamu ada di Sragen, Yogyakarta, Ambon, Palu, Serang, Batu, Malang, dan Sumenep. Di Mijen, Semarang, ada 45 anggota, tapi belum ada pamong. Sedang berproses. Total anggota komunitas jamu 210 orang.

Mereka mendapat ilmu apa saja?
Banyak hal. Bimbingan dari BPOM, IPB, ataupun perusahaan jamu tentang pembuatan jamu yang higienis, cara bertanam, dan sebagainya. Selama ini mereka di sektor informal seperti tak dianggap memberikan kontribusi, sehingga jarang diedukasi.Termasuk hal-hal yang sepertinya remeh-temeh. Misalnya, jika melihat ibu jamu selalu membawa ember kecil untuk mencuci gelas, airnya mungkin tak diganti. Nah, pada masa pandemi, ini jadi masalah.  

Sampai urusan pembalut dan popok, bagaimana ceritanya?
Kita tahu pembalut sekali pakai ini cukup membebani lingkungan. Kami, EMPU, punya gerakan  dengan Perempuan Bumi, bersama HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), Perhimpunan Jiwa Sehat, Biyung, dan individu Mbak Dwi Aryani—sahabat Leya. Sasarannya perempuan disabilitas di panti. Kami tengok mereka cukup memprihatinkan, memakai barang bersama. Tidak punya barang pribadi, bahkan untuk baju, pakaian dalam, ataupun pembalut.

Kami kontak teman disabilitas yang punya kemampuan menjahit di Sukoharjo dan Jakarta. Pada 5 Desember lalu kami launching. Kami jadi makin tahu, ternyata kebutuhan banyak, PR semakin banyak. Target kami bisa membantu sekian perempuan disabilitas yang bisa menjahit. Lebih-kurang ada 130 perempuan di sembilan provinsi yang menjahit dengan target untuk membantu 5.000 perempuan disabilitas.

Hanya untuk mereka yang di panti?
Selain di panti, anak-anak sekolah dengan disabilitas belum tahu arti sehat dan kesehatan reproduksi. Kami kenalkan hal itu dan mengajari mereka membuat pembalut kain. Kami beri satu siswa material kit-nya, termasuk pola untuk bikin enam-tujuh pembalut. Kami monitoring dan mentoring.

Kelompok perempuan lainnya?
Untuk pembalut kain, EMPU juga menggandeng Lestari Wirausaha Sosial di Bali. Kami bergerak untuk memenuhi kebutuhan para warga lansia di pantai, termasuk perempuan nelayan. Ada juga permintaan dari BUMN untuk para buruh perempuan.

Bagaimana semua kegiatan ini bisa berjalan?
Ya, modal kami bergerak dengan solidaritas, kepercayaan, dan saling membantu. Apalagi sejak pandemi ini saya harus mengurus ibu yang sakit hingga beliau meninggal. Otomatis saya tidak ke lapangan. Ya, begini, tiap hari secara virtual kami berhubungan. Mereka mampu meningkatkan kapasitas hanya dari Zoom.

Ada target dari gerakan EMPU ini?
Kami jalan saja. Ada target, tapi dari dan dengan pengalaman kerja masing-masing yang terlibat. Kami tidak kaku. Kami melihat dari aspek budaya, lingkungan, dan solidaritas.

Posisi EMPU ini menjadi konektor?
Saya menghubungkan, membuatkan proposal. Tapi urusan transfer administrasi langsung ke mereka. Mereka punya rekening sendiri. Ya, boleh dibilang brokerage, kadang-kadang jadi organizer, kami juga memberikan edukasi juga. Kami bergerak bersama, bukan suatu proyek, bukan lembaga yang mengakses anggaran dari donor, melainkan lebih banyak menggali apa yang dimiliki kawan-kawan. Para perempuan di sektor informal ini kan perlu meningkatkan ekonominya. Kami merespons mereka.

Siapa saja yang bergerak di EMPU
EMPU ini komunitas, meski ide mengadakan Festival EMPU Januari 2020 dari saya. Ada beberapa orang yang membantu merealisasi. Lina Soeratman di Collabox, Mbak Kiki Chandrakirana (Sekar Kawung), dan Zubaidah Djohar (Empu Jalin Karsa), serta Liza Monalisa Soeratman mewakili The Soeratman Foundation.  Branding dan tim grafis adalah Larazita Tedjokusumo. Komunitas EMPU berangkat dengan delapan lembaga, unit usaha artisan. Saat ini ada 37 yang terlibat. Yang aktif di Climate Diplomacy Week adalah 22 lembaga/IKM/artisan.  

Mengapa Anda memutuskan membantu para perempuan marginal?
Perhatian pada isu perempuan, terutama yang rentan, sudah dari dulu. Bekerja di wilayah sosial gender, isunya lebih banyak yang berat, seperti pekerja migran dan kepala keluarga perempuan. Suatu ketika ada bencana di Lombok Timur pada 2018, saya sampai tidak pulang hingga lima bulan. Mendukung distribusi, membuat asesmen, pemetaan, kuesioner, lalu bikin hunian sementara. Dari sana saya banyak belajar: ketika terjadi bencana, perempuan sangat terkena dampak.  

Bagaimana dengan perempuan di dunia fashion?
Di dunia fashion juga belum ada studi dan analisis rantai nilai produk tekstil tradisional pewarna alam secara ekonomis yang menyejahterakan perempuan. Seringkali penenun masih mendapat “upah” pas-pasan. Sementara itu, keuntungan terbesar ada pada pedagang yang sering berlaku sebagai pengepul sekaligus pemilik benang.

Kondisi mereka juga berat?
Pada masa pandemi ini, kami dengar pula beberapa kelompok penenun terpaksa menjual murah dengan keuntungan kecil atau bahkan kembali ke rentenir, dan bahkan berhenti menenun. Pandemi tidak mudah bagi siapa pun. EMPU berupaya terus mendukung melalui pemasaran produk komunitas, peningkatan kapasitas (menghubungkan dengan mentor dari perusahaan multinasional), dan lain-lain.

Pandemi menjadi tantangan bagi siapa pun, ya?
Masa pandemi ini menawarkan kesempatan sekaligus tantangan, khususnya dengan adanya dorongan komunitas agar masing-masing merasa perlu melakukan bisnisnya sendiri-sendiri untuk bisa bertahan. Secara budaya, perempuan di komunitas juga punya tantangan “tidak betah dibicarakan karena menonjol”. Ini mengakibatkan komunitas lebih memilih bergerak dalam diam dan kurang menguntungkan jika membutuhkan dukungan donatur ataupun investor.  Secara internal, kami para pegiat kurang waktu karena mayoritas masih bekerja sebagai konsultan atau di wirausaha.

Apa harapan Anda ke depan?
Terus mengajak komunitas bergerak mendukung pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan marjinal, lepas dari rentenir, punya dapur yang higienis, bisa berdagang daring, serta mendukung kelompok disabilitas/lansia dan kelompok marjinal lain.  

Apa kegiatan rileks Anda selama masa pandemi?
Sepertinya kegiatan me time-nya, ya, hanya EMPU ini, ha-ha-ha….


Biodata:
Nama
: Leya Cattleya
Pendidikan:
- Sarjana S1 Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang (1986)
- S2 (Master of Arts) dari Development Economics Center dari Williams College, Massachusset, Amerika Serikat  (1989)
- Sertifikat untuk Makro Ekonomi, Keuangan Informal, dan Kepemimpinan dari Economics Institute, University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat (1989)

Pekerjaan:
- Wakil Ketua Bidang Pendidikan Koperasi Wanita Dewan Koperasi Wanita Provinsi Jawa Tengah (masa kuliah dari 1984 hingga 1985)
- Pekerjaan formal pertama di Bappenas (1986-1992)
- Pengajar paruh waktu di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti (1989-992), STEKPI (Universitas Trilogi, 1993-1994), Murdoch/Perth Twinning Program (1997-1999)
- Economics Specialist di Kedutaan Besar Amerika (1994-1997)
- Konsultan dan riset berbagai program dan melakukan riset untuk berbagai program yang didanai Kedutaan Australia, Irlandia, Kanada, serta lembaga multilateral—Asian Development Bank dan Bank Dunia (sejak 1997).
- Konsultas independen dan peneliti untuk beberapa lembaga pembangunan untuk sektor pendidikan, kesehatan, kelompok asli, sosial dan gender, HAM, ekonomi hijau dan IKM, serta peningkatan kapasitas untuk wilayah Timor Leste, Mindanao (Filipina), Korea, Bangkok, dan Indonesia.
- Saat ini sedang meneliti konservasi di Papua dengan CLUA dan pemetaan GBV dengan UNFPA serta menjadi konsultan intermitten di Millenium Challenge Corporation.

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus