Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Konservasi dalam Secangkir Kopi

Kopi Indonesia erat dengan konservasi. Isu penyebab deforestasi mengganggu pemasaran kopi.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAHIT rasanya, manis penjualannya. Itulah komoditas kopi dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Kopi kini sudah menjadi gaya hidup, terutama bagi kaum muda. Tren kopi sebagai gaya hidup ini terjadi di berbagai belahan dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai minuman olahan kopi kini selalu menjadi teman beraktivitas. Hal ini pula yang menyebabkan peningkatan permintaan kopi dunia. Untuk menjawab tambahan permintaan tersebut, Organisasi Kopi Internasional atau ICO menyinggung deforestasi yang diakibatkan bertambahnya area perkebunan kopi di sejumlah negara di Amerika Latin dan Afrika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misalnya di Peru disebutkan 25 persen deforestasi di negara tersebut terjadi karena pembukaan perkebunan kopi. Adapun di Uganda, salah satu negara di Afrika Timur, deforestasi untuk perkebunan kopi mencapai 55 persen. 

Sejalan dengan isu deforestasi, Uni Eropa berencana menerapkan kebijakan European Union Deforestation Regulation atau EUDR pada 2025 yang bertujuan mengurangi deforestasi terkait dengan produk impor, termasuk kopi. Dengan demikian, komoditas kopi Indonesia terancam. Maklum, Indonesia menjadi salah satu pengekspor kopi dunia, termasuk ke Eropa. 

Sejumlah penggiat kopi di berbagai daerah tak setuju dengan Uni Eropa yang menganggap kopi sebagai penyumbang deforestasi, setidaknya di wilayah Indonesia. Tegar Cahya Putra, pendiri komunitas kopi Muda Tumpang Sari, mengatakan perkebunan kopi di Indonesia jauh dari kata deforestasi. Sebab, bagi Tegar, perkebunan kopi biasanya tidak berdiri sendiri alias heterogen. 

Menurut ketua komunitas kopi di Girimulyo, Kulon Progo, DI Yogyakarta, itu tanaman kopi umumnya membutuhkan tanaman penaung untuk mengoptimalkan produktivitasnya. Ya, tanaman penaung dibutuhkan tanaman kopi untuk menahan angin dan menjaga sinar matahari berlebih. 

Selain itu, tanaman penaung dibutuhkan tanaman kopi untuk berlindung dari curah hujan yang tinggi. Keragaman tanaman pun dibutuhkan kopi untuk membantu ketersediaan unsur hara di dalam tanah. "Karena alasan itu, kebun kopi di daerah kami di Pegunungan Menoreh memakai sistem tumpang sari," kata Tegar ketika dihubungi, Kamis lalu. 

Satu suara dengan Tegar, penggagas Komunitas Rangkaian Bunga Kopi, Fikar W. Eda, menyebutkan perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo, Aceh, juga memanfaatkan tanaman penaung. Bahkan, ia pernah mengambil foto udara pada perkebunan kopi di Gayo. Hasilnya, kawasan kebun kopi lebih mirip hutan karena lebatnya tanaman penaung.  

"Bagi kami, kopi itu malah tanaman konservasi," kata penyair 58 tahun itu. 

Fikar justru khawatir pelarangan dari Uni Eropa dan isu deforestasi bakal berdampak buruk bagi perkembangan kopi di Indonesia. Terlebih saat ini bisnis kopi di Tanah Air sedang menanjak. Ia khawatir isu buruk ini bisa mengganggu pemasaran kopi Indonesia, terlebih jenis-jenis kopi khas yang sudah terkenal di Indonesia. 

Sebagai salah satu penghasil kopi terbesar dunia, Indonesia punya sejumlah produk unggulan. Bahkan kopi-kopi tersebut masih diproduksi secara terbatas di sentra-sentra kopi. Berikut ini kopi-kopi yang ada di Indonesia. 

Kopi Arabika

Kopi jenis ini menjadi yang paling populer di dunia, mencakup 60 persen dari seluruh kopi dunia. Menurut sejumlah sumber, arabika menjadi jenis kopi pertama yang dibudidayakan, tepatnya di Yaman pada abad ke-12. 

Tumbuhan bernama ilmiah Coffea arabica ini biasanya tumbuh di dataran tinggi bersuhu sejuk dengan ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini bisa tumbuh dengan pohon setinggi 9-12 meter. 

Biji kopi arabika tersemat dalam buah yang biasa disebut ceri dengan kulit berwarna merah cerah hingga keunguan. Setelah diolah, kopi arabika punya sensasi rasa yang cenderung asam, wangi, dan tidak terlalu pekat.

Kopi Robusta

Komoditas yang berasal dari tanaman Coffea canephora atau Coffea robusta ini menjadi favorit kedua setelah kopi arabika. Tanaman yang ditemukan di Afrika Tengah dan Barat itu hidup di dataran yang tak terlalu sejuk atau di ketinggian 400-700 meter di atas permukaan laut. 

Robusta dikenal sebagai tanaman yang kuat dari serangan hama. Ketangguhan inilah yang menjadi alasan pemerintah kolonial Belanda mendatangkan tanaman kopi robusta ke Indonesia, yakni sebagai pengganti kopi arabika yang saat itu babak belur diserang hama karat daun.

Dalam berbagai literatur, robusta menjadi tanaman kopi yang paling banyak ditanam di Indonesia. Adapun rasa dari kopi ini cenderung lebih pahit. Karena itu, kopi robusta biasa dipakai sebagai bahan dasar pengolahan beragam jenis minuman kopi. 

Kopi Liberika

Seperti namanya, tanaman kopi ini berasal dari Liberia, sebuah negara di Afrika Barat. Tanaman ini mampu hidup di daerah dengan ketinggian 400-600 meter di atas permukaan laut.  

Sayangnya, ketersediaan dan permintaan kopi jenis ini masih sangat terbatas. Kabarnya ketersediaan kopi ini tak sampai dari 5 persen produksi kopi dunia. 

Kopi liberika memiliki aroma menyengat nan tajam. Sedangkan dari segi rasa, kopi ini memiliki sensasi pahit yang lebih kental.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus