Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIDIET Maulana sering dilanda stres ketika pekerjaan menumpuk. Perancang busana ini biasanya menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. “Saya sering dengar, ketika stres atau kalut, back to your breathing,” katanya, Kamis, 16 Mei lalu.
Didiet, 38 tahun, juga kerap membaca artikel tentang keajaiban pernapasan dan kekuatan yang bisa dihasilkan dari teknik napas yang baik. Gara-gara meyakini ini, ia menjajal teknik Buteyko pada awal Mei lalu.
Alih-alih mengajari mengambil napas dalam-dalam, gurunya, Gobind Vashdev, malah menganjurkan Didiet berlatih menahan napas, bernapas ringan, serta memplester mulut saat tidur. Meski bertentangan dengan apa yang ia yakini, Didiet merasakan faedahnya setelah latihan beberapa hari. “Saya jadi lebih segar, apalagi dilakukan di bulan Ramadan ini, pikiran lebih tenang, tidur lebih nyenyak,” ujarnya.
Cici Suciati, 42 tahun, punya cerita mirip. Tak sampai sepekan ia berlatih Buteyko, kebiasaannya minum suplemen untuk menjaga tubuh dan pikiran tetap segar tak berlanjut. “Biasanya pukul 14.00-15 saat rapat ngantuk parah, loyo banget. Ini saya segar-segar saja, pikiran juga lebih jernih,” ucap Cici, yang berprofesi sebagai konsultan pemasaran digital.
Keluhan menjelang haid pun absen. Padahal biasanya beberapa hari menjelang datang bulan tubuhnya terasa pegal-pegal dan meriang. Setelah ia berlatih Buteyko, masalah tersebut lenyap. “Saya enggak berasa apa-apa, seperti rasa haid waktu masih kuliah, ha-ha-ha…,” tuturnya.
Buteyko adalah teknik pernapasan yang dikembangkan oleh ahli paru-paru asal Ukraina, Konstantin Pavlovich Buteyko, pada 1950-an. Ia menciptakan metode ini setelah meneliti ratusan orang yang hampir meninggal. Ia mendapati kadar oksigen dalam tubuh mereka rendah. Dari hasil penelitian itu, ia mengembangkan teknik pernapasan untuk menaikkan level oksigen di dalam sel.
Gobind, yang membuka kursus teknik tersebut sejak akhir Maret lalu—kursus Buteyko pertama di Indonesia—mengatakan Buteyko mengajari orang kembali bernapas normal seperti masa lampau. Pada 1920-an, manusia bernapas dengan mengambil sekitar enam liter udara per menit. Namun, setelah 1980-an, rata-rata volume udara saat manusia bernapas lebih dari sebelas liter per menit. “Karena stres,” ujarnya.
Saat stres melanda, biasanya muncul dorongan dalam tubuh untuk mengambil napas dalam dan cepat. Udara yang masuk menjadi banyak dan susah dikendalikan. Padahal napas berlebihan (hiperventilasi) menyebabkan karbon dioksida yang dikeluarkan lebih banyak.
Dalam pernapasan, karbon dioksida merupakan senyawa yang dihasilkan dari sekresi pernapasan. Kebanyakan orang menganggap karbon dioksida seperti sampah yang mesti dibuang, sementara oksigen ibarat malaikat. Makin banyak menghirup oksigen, orang dianggap makin sehat.
Padahal, menurut pelatih Buteyko, Adeline Windy, kedua senyawa ini satu tim, sama-sama diperlukan tubuh. Ketika kita bernapas, oksigen akan masuk ke darah dan diikat oleh hemoglobin, lalu diantar ke seluruh tubuh. Oksigen perlu masuk ke sel agar tubuh bisa menghasilkan energi.
Untuk bisa menembus sel, ia harus dipisahkan dari hemoglobin yang mengantarnya. Peregang keduanya adalah karbon dioksida. “Kalau kadar karbon dioksidanya minim, oksigen yang masuk ke sel juga rendah,” kata Adeline.
Menurut Gobind, segala penyakit di tubuh disebabkan oleh kurangnya kadar oksigen dalam sel. Karena itu, penting menjaga keseimbangan kadar oksigen dan karbon dioksida di dalam tubuh.
Konstantin Buteyko mengklaim bahwa ada banyak penyakit yang bisa dikurangi dengan teknik pernapasan ciptaannya tersebut, antara lain asma. Asma diyakini sebagai salah satu cara tubuh mengirimkan sinyal bahwa tubuh terlalu banyak bernapas. Karena itu, badan menyempitkan saluran pernapasan.
Zahra Mohamed Hassan dari Departemen Terapi Fisik Cairo University, Fatma Hassan Ahmed dari Fakultas Terapi Fisik Cairo University, serta Nermine Mounir Riad dari Departemen Dada Fakultas Kedokteran Ain Shams University, Mesir, menguji teknik Buteyko pada penderita asma. Penelitian yang hasilnya diterbitkan dalam Egyptian Journal of Chest Diseases- and Tuberculosis pada 2012 tersebut menyimpulkan bahwa ada penurunan gejala harian yang signifikan pada penderita asma yang berlatih Buteyko.
Menurut Budhi, frekuensi pernapasan yang normal adalah 12-20 kali per menit. Jumlah oksigen selalu lebih banyak daripada karbon dioksida dalam pembuluh darah arteri. Perbandingan kedua senyawa ini akan berubah bila ada penyakit pernapasan atau gangguan metabolis. “Jadi tubuh mempunyai mekanisme sendiri dalam mengatur oksigen dan karbon dioksida,” katanya.
Dokter spesialis paru Budhi Antariksa tak sepakat mengenai penyebab asma yang dipaparkan Konstantin Buteyko. Menurut dia, ketika asma menyerang, memang terjadi penyempitan saluran pernapasan. Namun penyebabnya reaksi alergi yang memicu peradangan serta penyempitan saluran tersebut. “Karena penyempitan ini, frekuensi napas akan meningkat,” tuturnya. Ia menganjurkan latihan napas, seperti olahraga pernapasan atau berenang, untuk menguatkan otot pernapasan dan membuat paru lebih elastis.
Menurut Budhi, frekuensi pernapasan yang normal adalah 12-20 kali per menit. Jumlah oksigen selalu lebih banyak daripada karbon dioksida dalam pembuluh darah arteri. Perbandingan kedua senyawa ini akan berubah bila ada penyakit pernapasan atau gangguan metabolis. “Jadi tubuh mempunyai mekanisme sendiri dalam mengatur oksigen dan karbon dioksida,” katanya.
Namun, menurut Adeline Windy, agar kadar oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh seimbang, bernapaslah selalu lewat hidung, termasuk ketika berolahraga dan tidur. Waktu tidur, ia menyarankan memplester mulut dengan plester yang biasa digunakan untuk operasi yang bebas alergi agar mulut tak terbuka dan tanpa sadar bernapas lewat sana.
Ia mengatakan cara ini dapat mengurangi dengkur dan bau mulut lantaran bakteri yang masuk lewat mulut terbuka jauh berkurang. Cara ini pun bisa menurunkan kekambuhan asma dan alergi serta membuat tubuh lebih rileks karena bernapas dari hidung mengaktifkan sistem parasimpatik. Pikiran pun lebih kalem karena bernapas lewat hidung akan mendinginkan amigdala, salah satu bagian otak yang letaknya dekat dengan hidung.
Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik, yakni bagian otak yang berhubungan dengan tiga fungsi utama, yaitu emosi, kenangan, dan gairah. Ia antara lain bertanggung jawab mempersiapkan tubuh dalam situasi darurat, seperti berlari, bertarung, dan membeku.
Ketika bernapas lewat mulut, udara tak sampai ke amigdala sehingga amigdala bisa dengan mudah membajak mekanisme berpikir rasional serta menyiapkan respons supercepat dan berlebihan untuk menanggapi ancaman tersebut. Misalnya, ketika seseorang dikritik, amigdala bisa memberikan respons marah, ngotot, dan balas mengkritik. Mendinginkan amigdala, ujar Adeline, juga bisa membuat tak kalap saat berbuka ketika sedang puasa.
Bernapas lewat hidung juga menghasilkan nitrogen monoksida (nitric oxide), yakni gas yang antara lain bermanfaat untuk melemaskan pembuluh darah, mengurangi peradangan, meningkatkan kekuatan dan kekebalan tubuh, serta membuat tidur lebih nyenyak.
Dokter Andreas Prasadja sepakat bahwa cara bernapas paling baik adalah lewat hidung. Namun memplester mulut saat tidur akan sulit dilakukan oleh orang yang menderita sleep apnea alias henti napas ketika terlelap. Sleep apnea disebabkan oleh saluran napas atas yang sempit, yang saat tidur melemas hingga kolaps. “Kalau memplester mulut untuk orang yang tak punya sleep apnea tak ada masalah. Tapi kalau ada sleep- apnea susah, ya,” ucap dokter yang berpraktik di Klinik Gangguan Tidur Rumah Sakit Mitra Keluarga Kemayoran, Jakarta, itu.
Selain bernapas lewat hidung kapan pun, Gobind Vashdev menyarankan latihan napas ringan dilakukan tiga-lima kali sehari dengan panduan aplikasi. Latihan ini diharapkan pelan-pelan bisa mengubah kebiasaan bernapas yang boros. “Puasa napas. Bernapas dengan hemat, secukupnya,” ucapnya.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo