Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Lelah Bocah karena Sekolah di Rumah

KPAI menerima ratusan aduan tentang anak-anak yang kelelahan dan stres akibat belajar jarak jauh. Butuh pengelolaan waktu dan materi yang kreatif.

19 Mei 2020 | 00.00 WIB

Siswa belajar melalui saluran TVRI di rumah di Jakarta, 13 April 2020. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Siswa belajar melalui saluran TVRI di rumah di Jakarta, 13 April 2020. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Seto dan Hanun, kakak-beradik yang bersekolah di Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat, bersiap di depan laptop masing-masing pada pukul 07.00-12.00 WIB. Jadwal belajar Seto, kelas 9, lumayan longgar. Dia hanya mengejar setoran tahfiz tiga juz dan materi public speaking serta bahasa Inggris untuk menambah nilai ijazah. Adapun Hanun, kelas 8, agak ngos-ngosan. Sebab, sejak pagi hingga siang harus mantengin telepon seluler pintar karena ada pertemuan kelas. “Tugas-tugasnya ditunggu hingga pukul 16.00,” ujar Rahutami, ibu mereka, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Di luar itu, Hanun harus mengerjakan sejumlah tugas, seperti membuat podcast dan portofolio dengan tenggat tiga hari sampai seminggu. Dia juga harus menyetor hafalan tahfiz di TPQ setelah zuhur. Sebelum puasa, setorannya setelah magrib. Untungnya, Seto mau membantu adiknya belajar. Rahutami menuturkan kedua anaknya sering belajar sambil melakukan video call dengan temannya selama berjam-jam atau bermain game jika bosan.

Hal sama dilakukan Salwa dan Salsa di Pancoran, Depok. Ibu mereka, Evi Sukesti, mengatakan tugas sekolah selama belajar di rumah lebih banyak ketimbang saat tatap muka. Jadwal belajar mereka berlangsung pada pukul 07.30-15.00. Biasanya, tiap pagi, wali kelas memulai aktivitas belajar, dari ikrar, tadarus, kultum, hingga salat duha. “Setelah itu, baru Zoom dengan guru mata pelajaran sesuai dengan jadwal,” ujar Evi. Anak-anak mengerjakan tugas setelahnya, kadang disambung pada malam hari. Namun biasanya tugas tak harus dikumpulkan pada hari itu.

Sementara itu, Nara dan Zalfa di Cilodong, Depok, sejak pagi menunggu tugas belajar dari gurunya. Mereka menerima tugas sekolah melalui e-mail atau video call. Sang guru menanyakan tugas hafalan, seperti doa-doa harian dan niat wudu, serta juga kondisi siswanya. Selain itu, Zalfa, yang duduk di kelas 5, mengerjakan tugas di lembar tugas. Mereka menerima dan menyetor tugas melalui ponsel dan berpacu dengan masalah kuota Internet. “Mereka bilang ribet belajar daring, enakan ke sekolah,” ujar Yuli, ibu Nara dan Zalfa.

Pada pekan lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak efektif. Sejak PJJ diberlakukan, lembaga ini menerima ratusan aduan terkait dengan beban tugas. "Mayoritas pengadu adalah anak usia sekolah menengah,” ujar Retno Listyarti, Komisioner KPAI, dalam diskusi daring UNICEF dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bertema “Dampak Sosial Ekonomi Covid-19 pada Anak-anak Indonesia”, Senin pekan lalu.

Retno memperlihatkan hasil penelitian lembaga ini yang melibatkan 246 responden utama, 1.700 siswa pembanding, dan 602 guru. Kesimpulannya, belajar jarak jauh membuat siswa kelelahan, kurang istirahat, dan stres. Dari survei itu diketahui bahwa 73,2 persen guru hanya memberikan tugas dan tak ada interaksi. Guru beralasan anak tak memiliki akses Internet yang cukup. “Siswa mengatakan, selama PJJ, kebanyakan guru hanya memberikan tugas dan menagih. Nyaris tak ada interaksi, seperti tanya-jawab langsung atau guru menjelaskan materi,” ujar dia.

Sebanyak 76,7 persen anak menyatakan tidak suka belajar dari rumah. "Mereka berjuang mengerjakan tugas bukan karena suka, tapi hanya untuk mengejar nilai." Persoalan lain yang muncul adalah akses Internet yang mahal dan tak mudah. Belum lagi ketika penghasilan orang tua menurun karena terkena dampak pandemi. Jadi, sebagian anak bisa kehilangan kesempatan belajar karena masalah kemampuan finansial orang tuanya.

Menghadapi persoalan ini, psikolog klinis dari Sadari, Hersa Aranti, mengatakan pentingnya pihak sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan interaksi diskusi dan pembelajaran melalui forum online, membuat survei efektivitas pembelajaran siswa, serta melakukan asesmen kondisi kebutuhan mental siswanya. "Yang juga penting adalah interaksi dua arah dari guru dan siswa sehingga bisa mencairkan ketegangan belajar,” ujar dia.

Selain itu, penting untuk memiliki standar kelulusan tertentu yang perlu dicapai atau terpenuhi pada masa darurat seperti ini, tidak hanya mengejar target kurikulum. Namun memang perlu lebih fleksibel dan lebih kreatif serta memungkinkan untuk dikerjakan.

Sementara itu, siswa, Hersa mengatakan, perlu mengelola waktunya dengan baik untuk belajar, mengerjakan tugas, dan istirahat. Saat istirahat, siswa bisa melakukan aktivitas yang disukai atau dapat membuat rileks. Termasuk menjaga komunikasi dengan teman-teman lewat video call, berolahraga supaya tubuh tetap bergerak, hingga belajar keterampilan dari YouTube. “Kuncinya adalah pembagian waktu yang seimbang.”

 DIAN YULIASTUTI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus