Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah anak muda tertarik untuk mengkonsumsi beragam olahan jamu.
Selain resep jamu yang lebih variatif, pemilihan lokasi kafe jamu menjadi pertimbangan anak muda.Â
Meminum jamu sembari bernostalgia.
Mata Rahman Nur Isman seperti melompat-lompat dari layar laptop ke layar telepon pintarnya. Pandangan pria 27 tahun itu berpindah-pindah dari kedua layar itu sembari sesekali mengetik di salah satu gawai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah aktivitas itu, Rahman beberapa kali menyeruput es temu lawak rempah. Sore itu, Rahman ada janji bertemu dengan rekan kerjanya di kafe Suwe Ora Jamu di M Bloc Space, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahman mengaku cukup sering kongko di Suwe Ora Jamu. Setidaknya dalam satu bulan ia bisa tiga hingga empat kali mampir di kafe jamu ini. Selain tempatnya yang strategis dan nyaman, Rahman cocok dengan aneka minuman jamu yang dijual di kafe ini.
"Saya suka minuman manis. Jadi, menurut saya, lebih baik jajan jamu di sini. Setidaknya lebih sehat dibanding minuman lain," kata Rahman ketika ditemui di M Bloc Space, Rabu, 29 Mei lalu.
Selama ini ia telah menjajal beberapa menu jamu, dari beras kencur, kunyit asam, sampai jamu bersoda, seperti kunyit jahe dan rosela pandan. Menurut Rahman, mayoritas menu jamu yang ia pesan cocok dengan lidahnya.
"Aneka camilan dan makanan beratnya pun saya cocok. Tapi tetap jamu yang paling saya suka," kata Rahman.
Sejatinya, Rahman tidak terbiasa minum jamu sejak kecil hingga dewasa. Namun berkat ketidaksengajaan mencicip ramuan herbal di Suwe Ora Jamu ditambah sejumlah referensi tentang jamu yang dibaca membuat dirinya nyaman meminum jamu.
Di tempat yang sama, ada pengunjung lain bernama Hasan yang menikmati jamu beras kencur. Pria 35 tahun itu mengaku sudah tiga kali berkunjung di Suwe Ora Jamu di M Bloc Space. Hasan rupanya betah kongko di kafe itu. Lokasi yang paling ia suka adalah deretan meja dan kursi yang berada di luar bangunan kafe. Meja dan kursi tersebut berada di dekat jalur pedestrian serta Jalan Panglima Polim.
"Di sini rindang karena di bawah pohon dan bisa melihat jalan," ujar dia.
Adapun soal minuman jamu, Hasan selalu memesan beras kencur dan sesekali memesan kopi jahe. Pria bertubuh gempal itu mengaku sempat rutin meminum jamu ketika masih usia anak-anak, dari jamu pahit sampai jamu manis, seperti beras kencur atau kunyit asam.
"Jadi minum jamu di sini seperti nostalgia juga saat itu dibelikan jamu oleh ibu saya."
Peracik jamu membuat pesanan di Acaraki, Kota Tua, Jakarta. TEMPO/ Nita Dian
Berjarak sekitar 18 kilometer ke arah utara, ada Siska yang menikmati jamu ruby sparkling di kafe jamu Acaraki di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Minuman ruby sparkling itu terbuat dari campuran kunyit dan hibiskus atau kelopak bunga sepatu dengan air soda.
Menurut Siska, jamu modern yang ia pesan memiliki rasa manis, asam, dan segar. Perempuan 26 tahun itu mengaku sudah beberapa kali berkunjung ke kafe tersebut bersama orang tuanya. Ternyata orang tua Siska adalah pencinta jamu. "Jadi saya sudah terbiasa dengan jamu tradisional. Sekarang malah suka jamu yang modern," kata dia.
Ada pula Riza yang berkunjung ke Acaraki bersama dua rekan kantornya. Kebetulan kantor mereka tak begitu jauh dari kawasan Kota Tua. Riza mengaku sudah tiga kali menjajal jamu di Acaraki.
Saat itu Riza memesan jamu zaman batu yang terdiri atas jahe, madu, lemon, dan biji selasih. Riza mengatakan rasa minuman tersebut sangat segar, terlebih disajikan dengan es batu. Iseng-iseng Riza dan kedua temannya mencoba meminum jamu bernama the challenger. Jamu tersebut disajikan dalam porsi kecil, hanya satu seloki berisi cairan berwarna hijau tua.
Rupanya jamu itu dibuat dari sambiloto dan temu lawak. Jangan tanyakan soal rasa. "Pahit sekali, tapi jika khasiatnya bagus, tidak apalah," tutur pria 34 tahun itu.
Riza juga tak asing dengan jamu, terutama saat ia masih usia anak-anak dan remaja. Kala itu ibunya kerap membelikan jamu pahitan yang diklaim menyehatkan badan dan meningkatkan nafsu makan.
"Maklum waktu kecil saya susah makan sampai disuruh minum jamu. Pahitnya sambiloto tadi jadi ingat jamu waktu kecil," kata dia sambil tertawa.
Peramu jamu Acaraki, Muhammad Dhani, membuat pesanan di Acaraki, Kota Tua, Jakarta. TEMPO/ Nita Dian
Muhammad Dhani, seorang peramu jamu di Acaraki, mengatakan kaum muda menjadi salah satu segmen pengunjung yang diincar kafe tempatnya bekerja. Sebab, Acaraki memang punya misi mengenalkan aneka jamu tradisional hingga modern ke kalangan anak muda. Tujuannya agar tradisi jamu tetap terjaga di Indonesia.
Salah satu cara menarik anak muda adalah menghadirkan aneka resep jamu yang kekinian, seperti jamu yang dicampur soda, aneka bahan herbal lain, sampai es krim dan yoghurt. "Pencampuran jamu ini kami kaji dulu untuk tahu bagus atau tidak khasiatnya dan sebagainya. Sejauh ini aman," kata Dhani.
Meski begitu, Dhani menyayangkan anggapan jamu sebagai obat. Menurut dia, jamu lebih efektif sebagai sarana pencegahan penyakit. Walhasil, jamu lebih baik dikonsumsi secara rutin. "Bukan kalau sakit baru minum jamu. Jamu bukan obat kimia."
Sementara itu, pendiri Suwe Ora Jamu, Nova Dewi Setiabudi, menyebutkan kaum muda sebagai pelanggan terbanyak di kafenya. Menurut Nova, pendekatan yang ia lakukan, seperti membuat tempat yang nyaman dan mudah diakses, menjadi idaman anak muda.
Selain itu, dari sisi produk, banyaknya variasi jamu modern rupanya bisa memenuhi kebutuhan dan selera anak muda saat ini. Meski begitu, keputusan Nova memasukkan aneka menu kopi juga menjadi pilihan bagus. Sebab, faktanya saat ini kopi sudah menjadi gaya hidup masyarakat ibu kota, khususnya anak-anak.
"Harapan kami, jamu perlahan menjadi gaya hidup seperti halnya kopi," kata Nova.
Pendiri Suwe Ora Jamu, Nova Dewi Setiabudi, di Suwe Ora Jamu M Bloc Space, Melawai, Jakarta. TEMPO/Nita Dian
Ketua Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional Jamu Indonesia atau PDPOTJI Inggrid Tania memuji beragam upaya sejumlah kafe jamu di Jakarta untuk menarik minat masyarakat, khususnya anak muda. Secara teknis, Inggrid menyebutkan proses modifikasi jamu, dari diseduh seperti olahan kopi sampai dicampur dengan buah, bunga, hingga air soda, bukanlah hal yang berbahaya.
Menyeduh seperti kopi misalnya, menurut Inggrid, masih aman karena sejumlah jamu juga diproses dengan cara penyeduhan. Begitu pula dengan mencampur buah dan bunga yang notabene juga bahan herbal. "Kalau soda pun aman asalkan soda yang digunakan kosong atau tidak ada gulanya," tutur Inggrid.
Inggrid juga menyarankan sejumlah kafe jamu menggunakan bahan herbal yang tak punya aroma tajam untuk menjadi senjata mengenalkan jamu ke kalangan anak muda. Sebab, harus diakui rasa pahit dan aroma yang kuat menjadi halangan anak muda memilih jamu untuk dikonsumsi.
"Bunga talang dan bunga rosela contohnya, itu cenderung tidak pahit dan tak beraroma kuat, tapi khasiatnya tinggi," ujarnya.
Selain itu, pemilihan nama menu jamu patut diperhitungkan. Sebab, anak muda saat ini terlalu kritis dan pemilih sehingga perlu cara cerdas mengemas jamu agar mereka mau mencobanya. Inggrid mencontohkan sajian jamu kunyit yang dicampur susu almon akan lebih menarik jika diberi nama golden milk. Rupanya nama ini lazim digunakan di luar negeri untuk campuran susu dan kunyit.
"Semoga cara ini membuat lebih banyak anak muda yang memilih jamu."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo