Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lamat-lamat alunan lagu Senorita yang dinyanyikan Camilla Cabelo dan Shawn Mendes terdengar semakin nyaring seiring dengan mendekatnya sebuah otopet listrik ke deretan kafe di kawasan Stadion Akuatik, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Rabu petang pekan lalu. Suara musik itu berasal dari sebuah pelantang suara portabel yang dipasang di bagian belakang papan pijakan otopet yang dikendarai seorang pria muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilan skuter tersebut semakin semarak dan menarik perhatian karena sejumlah lampu berwarna putih dan biru memancar terang. Pria itu lalu memarkir kendaraannya di samping sebuah kafe. Di sana sudah menunggu lima otopet listrik lain bersama para pemiliknya. Pria yang datang belakangan itu disambut rekan-rekannya. Tak lama kemudian, tiga orang lain bergabung, juga mengendarai otopet dengan lampu berwarna-warni dan terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah saling menyapa dan mengobrol, mereka lalu membahas rencana perjalanan malam itu. Seseorang mengusulkan agar mereka makan malam terlebih dulu di kawasan Blok M. "Gue pengin makan gultik (gule tikungan, masakan yang banyak dijual di kawasan Blok M)," kata salah seorang dari mereka dan disetujui yang lainnya.
Mereka pun bersiap-siap. Sebagian masih ada yang berpenampilan layaknya para pekerja kantoran yang baru selesai bekerja, memakai kemeja dan celana bahan. Ada juga yang sudah mengenakan celana pendek dan kaus. Tapi mereka kompak memakai helm dan sarung tangan.
Mereka adalah para pekerja dan profesional muda Ibu Kota yang punya kegemaran mengendarai otopet elektrik. Sehari-hari, mereka, yang rata-rata berkantor di kawasan Sudirman, Gatot Subroto, dan Kuningan, mengendarai kendaraan listrik ini dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Ada juga yang memilih melakukan mixed-commuting alias mengkombinasikan penggunaan otopet listrik dengan kendaraan umum. Maklum, ada yang rumahnya jauh, di kawasan BSD, Tangerang Selatan.
Komunitas E-Kick Scooter Indonesia di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 24 Juli lalu.
Karena kesukaan yang sama, mereka lantas mendirikan komunitas pengguna otopet listrik yang dinamai Glisser Scooter Club pada awal 2019. "Biasanya seminggu sekali, atau setiap akhir pekan, kami ngumpul untuk jalan-jalan bareng," ujar Joey Inkiriwang, 38 tahun, pendiri komunitas ini. Menurut dia, selain disatukan oleh hobi mengendarai otopet elektrik, komunitas ini didirikan karena para anggotanya punya keresahan yang sama: lalu lintas jalanan Ibu Kota yang semakin padat dan polusi udara yang semakin parah.
Sedangkan opsi bersepeda ke kantor dianggap masih belum ideal karena masih terbatasnya jumlah jalur khusus sepeda dan belum semua gedung perkantoran menyediakan sarana untuk mandi. "Menurut kami, e-kick scooter (otopet elektrik) ini solusi buat mengatasi kemacetan, terutama untuk para komuter."
Joey rutin berotopet setiap hari dari rumahnya di kawasan Bintaro ke kantornya di SCBD Sudirman, Jakarta Selatan. Jarak sejauh hampir 20 kilometer ditempuh dalam waktu hanya 20-30 menit. Sebelumnya, kata dia, kalau pakai mobil, waktu tempuh yang dihabiskan bisa mencapai 1 jam. Bisa lebih kalau macet parah. "Memang tak senyaman mobil, tapi yang penting cepat sampai." Toh, kalaupun ia merasa lelah atau cuaca tak mendukung, otopetnya bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam kereta listrik atau MRT.
Mengendarai otopet listrik memang tak melelahkan layaknya bersepeda. Tinggal berdiri dan menyeimbangkan tubuh. Akselerasi diatur melalui tombol yang terletak di stang. Skuter ini pun bisa meluncur hingga kecepatan 30-40 kilometer per jam dengan jarak tempuh sekitar 50 km untuk sekali pengisian baterai. Bahkan ada model otopet yang kecepatannya bisa di atas 70 km/jam dan jarak tempuh lebih jauh. Pengisian baterainya pun tak lama, dalam waktu 3-4 jam baterai sudah terisi dan siap digunakan untuk bepergian.
Meski terkesan simpel dan menyenangkan, hobi otopet elektrik ini relatif tak murah. Salah satu anggota Glisser, Dimas Adhi Prakoso, 33 tahun, mengatakan rata-rata harga otopet elektrik yang cukup mumpuni untuk digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari mencapai Rp 10-20 juta. "Biasanya, semakin mahal harganya, kapasitas baterai dan kecepatannya semakin tinggi."
Dia menyarankan beberapa merek yang populer, seperti Zeor Nine, Zero Ten, atau Inokim. Ada pula pilihan otopet listrik yang lebih murah keluaran produsen Cina, seperti Xiaomi, yang lebih ringan dengan harga di bawah Rp 10 juta. "Tapi kemampuannya terbatas."
Pendapat Dimas diiyakan Widya Prima Ryandra, 33 tahun, yang juga anggota komunitas ini. "Lebih baik beli otopet yang kapasitas baterainya besar. Selain untuk perjalanan rumah-kantor, alat ini menyenangkan untuk dipakai berkeliling kota." Sebetulnya otopet ini bisa saja dioperasikan manual, dengan cara didorong dengan kaki. Tapi, karena ukuran dan bobotnya yang lumayan berat, tenaga penggunanya bisa terkuras.
Aktivitas jalan-jalan jarak jauh juga kerap dilakukan para anggota Glisser. Biasanya, pada akhir pekan, mereka melakukan touring berkeliling Jakarta atau di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, dengan jarak tempuh total mencapai 70-80 km. Biasanya kegiatan ini diikuti oleh lebih banyak anggota komunitas yang kini berjumlah sekitar 80 orang. "Kami ingin sekalian menularkan virus e-kick scooter kepada masyarakat luas," kata Joey.
Helm dan sarung tangan sudah dipakai. Lampu-lampu dinyalakan. Lalu, wuss... mereka pun meluncur, tanpa bau asap knalpot dan suara mesin yang bising.
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo