Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air muka Robby Firlian tampak tegang menghadapi meja di depannya. Matanya menyapu peralatan meracik kopi yang terletak di meja: dari mesin espresso, bocong untuk menuang susu, sampai cawan dan perintilan lainnya. Tak lama kemudian, penghitung waktu yang terletak di seberang meja mulai menghitung mundur. Ketegangan di wajah Robby mengendur saat ia mulai meraih alat-alat di depannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mula-mula Robby menggiling biji kopi menggunakan grinder elektrik. Bubuk kopi kemudian ia taburkan pada alat serupa gayung mungil yang dikenal dengan nama portafilter. Setelah bubuk kopi dipadatkan, portafilter itu dipasang pada mesin espresso. Tak sampai semenit, cairan kental berwarna cokelat kehitaman mengucur ke cangkir. Robby lalu mengambil alat lain, yakni bocong bermulut lancip yang digunakan sebagai wadah susu cair. Ia kembali ke mesin espresso untuk membuat buih pada susu memakai "pipa" yang mengeluarkan uap panas dari mesin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah sekilas aksi Robby saat mengikuti kejuaraan latte art (seni latte) tingkat nasional yang digelar Indonesia Coffee Event dan Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI) di JIExpo Kemayoran, Jumat dua pekan lalu. Dalam kompetisi yang diikuti barista-barista pilihan dari seluruh Nusantara ini, Robby keluar sebagai pemenang, mengungguli belasan peserta lain.
"Masih tidak percaya bisa menang," kata Robby saat ditemui Tempo di kafe Coffeebeerian, Senopati, Jakarta Selatan, Rabu lalu. Perasaan takjub itu, menurut pria 26 tahun ini, timbul lantaran pesaingnya di kompetisi adalah senior-seniornya yang dianggap lebih jago. "Saya belajar latte art saja belum dua tahun."
Gelar juara yang disandang Robby jadi lebih istimewa karena pada November mendatang ia diutus mewakili Indonesia untuk kompetisi latte art tingkat dunia di Brasil.
Latte art adalah teknik menyajikan minuman kopi yang biasanya berbahan baku kopi konsentrat (espresso) dicampur susu. Seni ini tak cuma diaplikasikan pada latte, tapi juga pada cappuccino, machiato, atau jenis minuman lain. Jika Anda pernah memesan salah satu jenis minuman itu di kafe dan terdapat gambar pola pada permukaan minuman, itulah yang disebut latte art.
Cara membuatnya ada dua: teknik tuang dengan meliuk-liukkan bocong susu pada secangkir kopi hingga membentuk gambar pada permukaan atau dengan cara "mengukir" busa di bagian atas agar membentuk pola tertentu. Biasanya pola yang lazim dipakai barista untuk latte art berupa bunga tulip atau bentuk hati.
Namun, dalam kompetisi kemarin, Robby tak membuat pola umum itu. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai head barista di kafe St. Ali Setiabudhi One Kuningan, Jakarta Selatan, itu justru menampilkan konsep cerita.
Pada babak final, setiap peserta diminta membuat tiga cangkir latte dalam waktu 10 menit. Agar terlihat berbeda, Robby menampilkan desain unik pada karyanya. Di cangkir pertama, ia membuat pola berbentuk kelinci dan tanaman, pola pada gelas kedua adalah seekor burung yang bertengger di atas pohon, sedangkan pola cangkir ketiga adalah panda dan banteng. "Lewat konsep ini, saya ingin menampilkan semacam cerita, temanya kehidupan di alam liar."
Jerih payah Robby membuat gambar-gambar yang terbilang rumit itu terbayar karena juri memberi nilai tinggi. Penampilannya di babak final juga terbantu oleh ketepatan waktu saat membuat ketiga cangkir. "Saya pas 10 menit, peserta lain ada yang kelebihan 2-5 detik, ini mempengaruhi penilaian."
Tak hanya itu, ketelitian dan ketepatan saat menggunakan alat-alat kopi juga menjadi catatan para juri yang mengawasi dalam jarak dekat. "Cara pakai alat harus benar, kebersihan dan kerapian diperhatikan, ada sidik jari tertinggal di mesin saja bisa mengurangi poin." Dengan kemenangan ini, Robby mendapatkan hadiah berupa uang tunai sebesar Rp 10 juta, sejumlah suvenir, dan tiket untuk berkompetisi di tingkat dunia.
Gelar juara nasional dan potensi menjadi juara di tingkat dunia membuat Robby makin mencintai seni menghias kopi. Padahal mahasiswa Jurusan Public Relations Universitas Mercubuana Jakarta ini belum lama menyukai minuman kopi. "Awalnya karena tuntutan pekerjaan." Robby baru memulai kariernya pada 2015 sebagai barista di sebuah jaringan kafe internasional yang gerainya tersebar di Indonesia. "Dari sekadar tuntutan pekerjaan, lama-lama tertarik dan mengulik sendiri," tuturnya.
Bakat Robby mendesain gambar untuk latte art terasah ketika ia bergabung dengan St. Ali, kafe waralaba asal Australia. Robby mendapat pelatihan di dapur grup kafe itu di Australia. "Di St. Ali Jakarta pun banyak barista senior yang membantu saya belajar."
Salah satu guru dan pelatih Robby adalah Daryanto Witarsa, salah satu pendiri grup PT Kopi Nusantara (pemilik jaringan kafe dan roastery Common Grounds, kafe St. Ali, dan Sensory Lab di Indonesia). Menurut Yanto-panggilan akrab Daryanto-para peracik kopi di perusahaannya memang sudah langganan menjadi juara di tingkat nasional.
Bahkan tahun ini, bersama Robby, ada dua barista lain dari Kopi Nusantara yang meraih juara nasional barista, yakni Yessylia Violin pada kategori cup tester dan Hiro Panji Lesmana untuk kategori brewers cup. Hal ini, menurut Yanto, mendorong para barista lain turut berprestasi. Menghadapi kompetisi di Brasil pada November mendatang, Yanto mengaku sudah menyiapkan tim khusus untuk mendukung mereka.
Robby pun telah siap bertanding di sana. Ia berencana mengulik gambar yang lebih unik dan rumit untuk kompetisi nanti. Dia menargetkan bisa membawa pulang satu dari enam piala tingkat dunia. "Saya ingin menunjukkan posisi Indonesia sudah setara dengan negara lain di industri kopi." PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo