Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK berusia 3 tahun Rudolf, putra Nogar Simanjuntak, sering
mengeluh sakit perut. Untuk menahan sakit, anak itu terkadang
sampai berguling-guling.
Penderitaan itu menyerang terutama bila anak tersebut terlalu
kenyang, terlambat makan atau menyantap panganan yang keras
berserat. Beberapa kenalan Nogar dan dokter, menyebutkan
kemungkinan anaknya itu menderita maag. Obat untuk dugaan itu
pun diberikan. Namun penyakit perut anak berusia 6 tahun itu
menyerang lebih gawat. Pada usia lima setengah tahun tinjanya
mulai bercampur darah segar.
Rudolf akhirnya diserahkan kepada Suharyono, seorang dokter yang
ahli dalam penyakit pencernaan anak. Untuk mendapat gambaran
yang jelas, organ perut si Rudolf di-roentgen ahli radiologi
ternama, Prof. H.B. Sjahriar Rasad. Tetapi dari hasil roentgen
itu Sjahriar tidak menemukan "kelainan-kelainan patologis yang
jelas." Dia hanya menduga kemungkinan peradangan kronis pada
usus sebelah kiri.
Nogar bingung. "Saking paniknya saya melihat penderitaan anak
saya itu, saya sudah terdorong untuk minta pertolongan dukun.
Sesuatu yang tidak saya percayai sedikit pun," cerita si ayah.
Rudolf, anak yang kedua dan terakhir itu tetap menderita.
Karena kesimpulan Sjahriar itu rupanya tak begitu tegas,
Suharyono kemudian meminta pemotretan ulang. Sekali ini pada
ahli radiologi Ade Sutarto. Dokter yang berpraktek di RS Pelni,
Jalan Petamburan, Jakarta itu, mendapati bayangan bulat kecil
seperti cincin di daerah usus sebelah kanan bawah.
Nampaknya penderitaan anak itu datang dari daerah yang kacau
itu. "Sangat mungkin polip di daerah caecum dengan appendicitis
chronica," katanya. Maksudnya ada kemungkinan tumbuhnya daging
liar di daerah usus besar, persis dekat tikungan menuju usus
buntu. Ditambah lagi kemungkinan radang usus buntu yang kronis.
Gambaran keadaan usus yang kelihatannya saling berbeda antara
ahli radiologi kawakan Sjahriar Rasad, 62 tahun, dengan ahli
yang lebih muda, Ade Sutarto, 39 tahun. Yang satu melihat
sesuatu yang mencurigakan di usus kiri, yang lain menduga ada
yang tak benar di usus sebelah kanan.
Berdasarkan kesimpulan Ade Sutarto, anak itu dibaringkan di meja
bedah ada pertengahan Juni 1981. Operasi ditangani dr. Eddy
Mulyanto, satu di antara sedikit spesialis belah anak yang
dimiliki Indonesia.
Tetapi begitu organ pencernaan itu sudah terbuka, ternyata
daging tumbuh (polip) tadi tidak ditemukan. Yang ditemukan
justru kotoran. Rupanya perut anak itu belum bersih benar
sebelum diroentgen Takut kalau-kalau nanti daerah sekitar dan
usus buntu tadi menimbulkan kelainan lain, maka pada saat itu
juga usus buntu tersebut disingkirkan.
Beberapa bulan setelah operasi, Rudolf menjerit-jerit kesakitan
lagi. Begitu sakitnya, sehingga bibirnya membiru. Sanak famili
datang merubung. Mereka kelihatannya begitu putus asa. Karena
toh setelah dioperasi Rudolf tetap dalam penderitaannya. Dan
hali ini tambah parah. Dia lemas sekali. "Aih . . . berangkatlah
anakku ini," begitu kata hati Nogar Simanjuntak ketika itu
seperti ia tuturkan kepada TEMPO.
Para dokter yang menolong tak habis pikir penyakit apa gerangan
yang menyerang Mereka nampaknya putus asa. Sebab sekalipun sudah
di-roentgen untuk ketiga kali dan dimasukkan dalam kategori
'kasus sulit" dibicarakan kalangan ahli, mereka tetap belum
melihat penyebab penderitaan itu.
Akhirnya Prof. W.A.F. Tumbelaka, kepala bagian penyakit anak RS
Cipto menganjurkan agar si penderita diperiksa psikiater.
Hasilnya, pemeriksaan psiliiater menyebutkan Rudolf sehat
walafiat.
Barangkali bisa menolong, Nogar, 44 tahun, menganjurkan kepada
para dokter supaya membuat foto scan terhadap usus Rudolf. Sang
ayah merasa usulnya ini (dia hanya seorang yang berpendidikan
ekonomi, bekerja di IBM) diabaikan. Dan difoto scan bukannya
usus, melainkan ginjal dan empedu. Daerah itu yang jadi sasaran
karena para dokter rupanya menduga organ itu yang bikin
gara-gara. Sebab kalau perut melilit, Rudolf memegangi bagian
perut, di mana kedua organ tadi tersembunyi.
Dokter-dokter terbaik sudah berusaha menolong, Rudolf
Simanjuntak tetap belum tertolong. Akhirnya November 1981 dia
masuk ke sebuah rumah sakit di Singapura. Beberapa hari kemudian
dia dioengen kembali. Dokter di rumah sakit itu dengan cepat
menemukan polip di usus sebelah kiri.
Rudolf diopera si kembali untuk membuang polip itu. Dia
benar-benar sembuh, sampai sekarang.
Ketika Nogar Simanjuntak menunjukkan hasil roentgen dari
Indonesia, dokter Singapura tadi juga bisa melihat penyebab
penderitaan itu di dalam roentgen tadi. Memang kurang nyata,
tapi terlihat bayangan hitam menghadang dalam usus itu. "It's a
crime," kata mereka seperti yang diceritakan Nogar, tentang
kurang jelinya dokter-dokter di Indonesia.
Tetapi apa komentar Sjahriar Rasad? "Saya tidak mengatakan kalau
polip Rudolf itu tidak ada. Tapi tidak kelihatan," katanya.
Antara pemeriksaan yang dia lakukan pada April 1981 dengan
November tahun itu juga, ada jarak 7 bulan. "Ini cukup lama
untuk membuat polip menjadi cukup besar untuk dapat dilihat."
Menurut orang tua si penderita pada roentgen yang dibuat Ade
Sutarto bulan Mei sudah terlihat polip, seperti yang kemudian
terlihat jelas pada foto yang dibuat dokter Singapura. "Dan anak
saya itu menderita sudah bertahun-tahun," katanya.
Bagaimana Ade Sutarto bisa menyebutkan kemungkinan polip di
dekat usus buntu? "Saya tidak memastikan itu polip, tapi sangat
mungkin. Dan itu kemungkinan yang bisa dipastikan. Jadi saya tak
keliru. Kebetulan saja setelah dioperasi kemungkinln yang
dipastikan itu ternyata kotoran," jawabnya.
Eddy Mulyanto yang melakukan operasi "hampa" di Jakarta merasa
tidak bersalah. Karena katanya dia melakukan tindakan itu
berdasarkan petunjuk ahli radiologi. Polip yang terlalu kecil
bisa saja gagal ditemukan. "Tetapi kalau sudah membesar, semua
orang bisa menjadi pahlawan," katanya.
Keluarga Simanjuntak barangkali tidak ingin pahlawan buat si
Rudolf itu datang dari Singapura. Ia ingin anak itu tertolong di
sini. Ini terlihat dari beberapa ahli Indonesia yang terlibat.
Tetapi di Medan, memang ada dokter yang segera menyerah kalau
sudah tak berhasil. "Kalau kami tak sanggup mengobati, memang
kami sarankan pergi ke Singapura," ucap dr. Aslim Sihotang,
sekretaris Ikatan Dokter Indonesia, cabang Medan.
Sedangkan pasien sendiri kadang-kadang bertindak lebih jauh. Ini
terutama mereka lakukan kalau cara di Singapura lebih
menyenangkan dan menurut mereka lebih sedikit risikonya.
Teresa Mawarati, 40 tahun, istri seorang wartawan di Kota Medan,
memperoleh keputusan dokter bahwa karang ginjalnya akan hilang
kalau dioperasi. Tetapi sang nyonya menetapkan lain. Dia
mendengar di Singapura penyakit karang ginjal bisa diatasi tanpa
pembedahan. Dia berangkat ke sana dan ternyata dengan beberapa
tablet. karang di ginjal itu bisa keluar bersama urine. Biaya
pengobatan sekitar Rp 200.000.
Pilihan sendiri seperti yang dilakukan Teresa dari Medan itu,
nampaknya menjadi kebiasaan yang semakin membesar di sini. Dia
menemukan delapan orang asal Jakarta, Surabaya, Bandung dan
Padang mencari penyembuhan yang sama di Kota Singa itu.
Banyak juga yang berobat atau mcmeriksakan kesehatannya ke
Singapura sekedar sambilan saja. Sally Moeluono dari Jakarta
misalnya, berobat penyakit kandungan di kota itu karena
kebetulan menemani suaminya menjalani operasi wazir.
Tetapi buat pedagang besar seperti Hwai Tik dari Surabaya,
berobat penyakit kencing batu ke negara tetangga itu dia
tumpangi pula dengan kegiatan bisnis. "Berobat sambil
berdagang," katanya polos.
Obatnya pun menurut pedagang itu lebih murah di sana. Dan kalau
dibandingkan dengan kasus Rudolf, perbandingan harga itu
barangkali menjadi lebih susah. Di Jakarta uang yang dihabiskan
sekitar Rp 8 juta. Sedang di Singapura sekitar Rp 1,3 juta --
dan sembuh.
Sulit menghitung berapa banyak orang lndonesia yang berobat ke
Singapura. "Yang berterus terang berobat hanya sedikit," kata M.
Dimyati Hartono yang mengurusi keimigrasian di Medan. Yang tidak
lapor siapa yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo