Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kembali ke Kopi Tubruk

Kopi tubruk kalah populer oleh espreso ataupun V60. Padahal metode tradisional tersebut menghasilkan rasa yang autentik.

24 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kopi tubruk merupakan cara penyeduhan manual tradisional dengan mencampurkan air panas langsung ke bubuk kopi yang menghasilkan rasa autentik.

  • Sejak menjamurnya kafe di Jakarta dan kota besar lain di Indonesia, metode ini kalah populer oleh teknik impor, seperti espreso, V60, dan aeropress.

  • Indonesia Coffee Summit di Taman Ismail Marzuki menggelar kompetisi kopi tubruk pertama di dunia untuk mempopulerkan kembali metode tradisional ini.

Ini adalah gambaran umum kafe di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Di ruang racik, terpampang mesin espreso yang menjadi senjata andalan barista untuk melayani tamu-tamunya. Di dekat mesin impor itu, berjejer alat seduh manual aneka rupa—yang mesti ada adalah alat seduh berbentuk corong, yakni V60.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Moelyono Soesilo, pengekspor kopi, mengatakan metode kafe-kafe di Indonesia pada umumnya berkiblat pada Italia dan Jepang. Mesin espreso merupakan alat pengekstrak biji kopi bertekanan tinggi. Metode ini awalnya berkembang di Italia. Sedangkan V60 adalah cara pembuatan kopi manual ala Jepang yang menyaring kopi dengan kertas. Terkadang ada juga aeropress dari Amerika Serikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di luar cara itu, Moelyono melanjutkan, ada teknik seduh tradisional yang tak kalah enak, yaitu mencampurkan langsung biji kopi yang telah digiling dengan air panas alias kopi tubruk. "Rasa kopi tubruk lebih autentik," katanya kepada Tempo, Sabtu, 21 Oktober 2023. 

Sebelum kafe menjamur di Jakarta dan kota-kota lain pada 2000-an, masyarakat Indonesia relatif hanya mengenal kopi yang diseduh dengan air panas. Kini penikmatnya kian terbatas. Kopi tubruk tergusur oleh kapucino yang diracik para barista dengan mesin espreso, juga specialty coffee yang diseduh dengan V60 dan alat-alat impor lain.

Mau menyeruput kopi tubruk di kafe? Jarang sekali tersedia. "Ada pemahaman bahwa metode tersebut hanya untuk generasi tua," kata Moelyono.

Untuk membuktikan omongan itu, Tempo mendatangi Coteca di Jalan Rawa Belong, Jakarta Barat. Di kawasan yang selalu dipadati kaum pekerja dan mahasiswa Universitas Binus itu, Coteca merupakan kafe pertama yang buka sejak 2015.

Seperti dituliskan di atas, mereka menggunakan mesin espreso, V60, dan lainnya. Mujahidin, barista Coteca, mengatakan mereka menggunakan alat-alat tersebut sejak awal berdiri. Sesekali ada pembeli yang minta dibuatkan kopi tubruk. Tapi frekuensinya sangat jarang. "Terakhir, setahun lalu," ujarnya di lokasi.

Menghidupkan Kembali Kopi Tubruk

Para aktivis kopi resah melihat kian tergusurnya kopi tubruk. Untuk lebih mempopulerkan metode tradisional ini, pegiat kopi yang tergabung dalam Kopikita.id menggelar kompetisi tubruk dalam Indonesia Coffee Summit. Kegiatan ini berlangsung pada 21-23 Oktober 2023 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Pada Sabtu pekan lalu, 32 barista berlomba menyajikan kopi tubruk terenak dari aneka jenis kopi. Ini merupakan lomba pembuatan kopi tubruk pertama di dunia.

Moelyono, juri dalam kompetisi itu, mengklaim bahwa tubruk adalah cara penyeduhan terbaik. "Dengan metode ini, kita bisa mendatangkan karakter asam atau manis yang asli dari kopi," ujarnya.

Cupping di Tubruk Battle Championship di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 22 Oktober 2023. TEMPO/Ilona Esterina

Klaim itu rasanya tak berlebihan. Selama ini, metode pencampuran langsung kopi dan air panas selalu dipakai dalam coffee cupping, proses observasi dan evaluasi karakteristik suatu biji kopi. Proses ini dilakukan untuk mengetahui kualitas kopi yang berujung pada penentuan harga. Hanya, dunia mengenalnya dengan cupping, bukan tubruk. Padahal prosesnya sama.

Dalam kompetisi kopi tubruk, para peserta dituntut menyajikan kopi terbaik. Varian kopi yang dilombakan beragam, misalnya arabika kalosi dari Toraja, Sulawesi Selatan. Jay Wijayanto, Direktur Program Indonesia Coffee Summit, mengatakan para peserta punya cara penyeduhan tubruk yang berbeda sesuai dengan keterampilan dan pengetahuan masing-masing. Penyelenggara lomba hanya menyediakan alat seperti gilingan (grinder) dan timbangan kopi.

Menurut Jay, cara penyajian kopi tubruk di Indonesia selama ini dipandang terlalu sederhana dan kurang dieksplorasi. Kebanyakan pembuat kopi dengan metode ini sekadar menuangkan air panas ke bubuk kopi. Ia menilai penyajian kopi dengan air mendidih juga kurang tepat. "Rasa kopi bisa menjadi gosong," ujarnya. Jika kopi gosong, rasa asli biji kopi hilang, hanya menyisakan pahit.

Kopi hasil panen di Desa Perjuangan, Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. TEMPO/Rully Kesuma

Jay mengatakan standar seduhan kopi yang baik adalah yang berwarna cokelat, bukan hitam pekat. Rasio air dan bubuk kopi juga perlu diperhitungkan karena berpengaruh terhadap hasil akhirnya. "Menggiling juga enggak bisa terlalu lembut. Sebab, semakin halus, ekstraksinya lebih tinggi dan lebih pahit," ucapnya.

Dengan kompetisi itu, Jay berharap metode manual tradisional tersebut kembali mendapat tempat di hati para penggemar kopi. Parameternya adalah hadirnya kopi tubruk di daftar menu kafe-kafe di Jakarta dan kota-kota besar lain.

ILONA ESTERINA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus