Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Memupuk Minat Baca di Taman Kota

Komunitas perpustakaan jalanan tumbuh di berbagai kota. Berjuang melawan rendahnya minat baca Indonesia.

18 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perpustakaan jalanan muncul di berbagai kota di Indonesia.

  • Lapak bacaan gratis mereka kerap tidak disinggahi warga.

  • Ikhtiar untuk meningkatkan minat baca Indonesia.

Mengaku sebagai kutu buku, Reyhan awalnya bingung. Kepada siapa dia bertukar pikiran soal ide-ide yang ia petik dari berbagai bacaannya. Teman-teman sekolah dan kampusnya jauh dari, misalnya, teori sosialisme, dan lebih suka membicarakan mobile game atau sepak bola.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barulah pada 2016 Reyhan bertemu dengan anak-anak muda sesama penggemar buku. Tepatnya saat ia mengikuti aksi solidaritas untuk petani Kendeng yang digelar di Cikarang. Awalnya, mereka hendak membentuk komunitas diskusi. Namun, karena ingin berbagi bacaan, mereka akhirnya membentuk komunitas baca. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami sepakati namanya Perpustakaan Jalanan Cikarang," kata Reyhan, 26 tahun, kepada Tempo, Selasa, 16 Mei 2023. Mereka terinspirasi oleh sejumlah perpustakaan jalanan di Bandung.

Sejak terbentuknya komunitas itu, Reyhan cs mulai mengokupasi sudut-sudut ruang terbuka di Cikarang untuk menyusun buku dengan alas seadanya. Pemberitahuan “Silakan Baca Buku Gratis” tercetak di kertas A4. Mereka memulai perpustakaan jalanan pertama di Taman Sehati Cikarang, di depan Stadion Wibawa Mukti, Bekasi, pada 2016. Lapak mereka gelar setiap Sabtu malam atau Ahad malam, kecuali saat hujan.

Baca gratis oleh Perpustakaan Jalanan Cikarang di Bekasi, Jawa Barat. Dok. Perpustakaan Jalanan Cikarang

Komunitas membaca gratis tumbuh di banyak kota di Indonesia. Gerakan ini muncul sebagai alternatif bagi masyarakat untuk mendapat akses bacaan yang mudah, yang diharapkan mengatrol tingkat literasi. Menurut data terakhir Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya PBB, UNESCO, minat baca Indonesia sangat rendah, hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang yang suka membaca di antara seribu orang. 

Reyhan mengatakan buku yang dipakai merupakan koleksi buku pribadi mereka. “Setelah beberapa tahun berjalan, kami mulai menerima donasi dan membuka opsi untuk mendapatkan buku dari sumber lain,” kata dia. Anggota komunitas juga berjualan barang koleksi, seperti baju, yang seratus persen keuntungannya untuk membeli buku. Tema koleksi buku mereka terbentang luas, dari buku teori filsafat, politik, hingga memasak dan parenting.

Perpustakaan Jalanan Cikarang juga aktif berdiskusi dan bertukar bacaan dengan komunitas lain. Di Kabupaten Bekasi, ada sekitar tujuh komunitas yang menjadi mitra mereka. 

Menumbuhkan minat baca masyarakat kota, menurut Reyhan, tidak mudah. Sering kali lapak buku gratis yang mereka gelar tak digubris orang. 

Untuk mempermudah warga membaca, mereka menyediakan Zine—media cetak alternatif yang diterbitkan secara personal atau kelompok kecil dan direproduksi dengan mesin fotokopi. “Sekarang banyak orang malas membaca panjang,” kata Reyhan. Muatan tulisan Zine mereka dapatkan dari teman-teman di perpustakaan lain dan dicetak sendiri. Isinya beragam, termasuk seni dan pergerakan, serta memuat sejumlah gambar. “Jadi, pembaca tidak bosan.” 

Di Jakarta, ada Ramli, guru di SMK As Syafi'iyah, Jakarta Selatan, yang beberapa tahun lalu sempat membuka Lapak Baca Minggu Sore di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Namun upaya menumbuhkan minat baca itu tidak bertahan lama karena lapaknya jarang disinggahi pengunjung taman. “Ada yang mampir, tapi jarang sekali,” ujar pria berusia 24 tahun tersebut.

Upaya meningkatkan literasi masyarakat perkotaan juga dilakukan komunitas baca buku gratis di Kota Gorontalo, Sampul Belakang. Tak hanya di jalanan, mereka juga menggelar lapak bacaan di kampus dan kafe-kafe.

Bacaan gratis yang disediakan komunitas Sampul Belakang di Kota Gorontalo, Selasa 16 Mei 2023. Dok. Sampul Belakang Gorontalo

Komunitas yang berdiri sejak 2019 ini ingin berbagi bacaan serta menyebarkan virus literasi di Gorontalo. Mita Yantu, 22 tahun, anggota komunitas, mengatakan mereka memiliki sekitar 400 buku yang selalu dibawa ke ruang terbuka kota untuk dibaca secara gratis. “Buku ini milik pribadi dan orang-orang yang kami kenal,” kata Mita. Jenisnya mulai dari novel, puisi, cerpen, buku teori pemikiran, jurnalisme, hingga feminisme.

Mereka melapak di lokasi dan hari yang berbeda-beda. “Yang jelas, setiap pekan harus ada,” kata dia. Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Gorontalo ini mengatakan inti kegiatan mereka adalah berbagi bacaan, tapi sering diselingi diskusi dan pembacaan puisi.

Komunitas Sampul Belakang digerakkan oleh 40 orang yang terdiri atas mahasiswa dan karyawan di Kota Gorontalo. Mereka berupaya meningkatkan kapasitas dengan melangsungkan pelatihan menulis. Mereka menilai menulis merupakan keahlian penting untuk menuangkan pemikiran yang diolah dari buku-buku yang telah mereka khatamkan. 

Mita mengatakan salah satu tantangan mereka adalah rendahnya atensi publik. Sering kali tak satu pun orang mampir ke lapak bacaan gratis mereka. Namun, dia melanjutkan, ada juga segelintir pengunjung yang bolak-balik datang dan meminjam buku. "Ini merupakan kemajuan yang kami rasakan," kata Mita.

ILONA ESTERINA PIRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus