Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FRANSISCA Noni, 27 tahun, tak pernah iseng sendiri saat menunggu kereta di Stasiun Pondok Cina, Depok. Orang menyaksikan kelakuannya yang aneh: kerap mendongakkan kepala, memandangi langit, terutama kala cuaca cerah. Adakah ia sosok yang tengah terobsesi pada unidentified flying object (UFO)? Atau jangan-jangan....
Noni seorang pekerja sebuah lembaga swadaya masyarakat. Setiap hari ia mampir ke stasiun itu sebelum larut dalam gerbong berjubel yang mengantarnya ke Bogor, tempat kantornya berada. Dan yang paling menarik: ia seorang bird watcher—diindonesiakan jadi pengamat burung. ”Sudah jadi insting dan refleks,” begitu ia menjelaskan kebiasaannya memandangi langit. ”Siapa tahu ada burung melintas.”
Oktober adalah bulan istimewa buat Noni. Saat ini—sampai bulan depan—adalah musim burung-burung pemangsa (raptor) melintasi langit Indonesia, seraya melakukan migrasi dari bumi belahan utara menuju belahan selatan. Bila sebagian kawanan burung itu sempat tertangkap mata, Noni cepat bertindak: mengabari jaringannya sesama pengamat burung melalui telepon atau media jejaring sosial. ”Saat ini terlihat rombongan pengembara melintas, yang sudah di kantor coba lihat ke luar jendela,” demikian bunyi pesan yang biasa ia sebarkan.
Memanfaatkan momentum migrasi ini, kegiatan pengamatan burung pun jadi berlipat ganda. Di Bogor, misalnya, mulai Sabtu pekan ini digelar Festival Migrasi Burung Pemangsa 2010. ”Pendidikan pengamatan ke masyarakat umum dan kegiatan mengamati bersama,” kata Asman Adi Purwanto, 26 tahun, koordinator Raptor Migran dari Raptor Indonesia—jaringan kelompok kerja yang berfokus pada penelitian dan pelestarian burung pemangsa di Indonesia. Hari pertama pemberian materi bagi peserta, dan hari kedua kegiatan pengamatan dari puncak bukit paralayang, Bogor.
Ini memang momentum penting. Tidak hanya melintas, ribuan ekor burung pemangsa ini akan singgah di sebagian wilayah Indonesia: Puncak Bogor; Bandung; Yogyakarta; Semarang; Malang, Jawa Timur; dan Bali. Wintering area atau daerah persinggahan musim dingin istilahnya. Karena itu, ”pesta” pengamatan burung pun tidak hanya di Bogor. Di Yogyakarta, festival yang sama bahkan dimulai lebih awal, Sabtu pekan lalu, dengan kegiatan seminar sekaligus pemberian materi pengamatan burung kepada para peminat. Hari berikutnya baru dilakukan di titik-titik strategis seputar lereng Gunung Merapi, dan selanjutnya setiap Sabtu dan Minggu sepanjang bulan ini.
Semangat festival migrasi burung pemangsa di Bogor dan Yogyakarta sama: mengenalkan kegiatan pengamatan burung ke masyarakat umum, pengamat pemula, juga pelajar. Selama ini, kegiatan pengamatan cenderung identik dengan kelompok lingkungan atau mahasiswa yang meneliti fauna. ”Sekarang diusahakan tidak eksklusif lagi,” kata Asman. ”Agar orang tahu kalau kegiatan ini sangat mengasyikkan dan bermanfaat,” ujar Sitta Yusti Azizah, 22 tahun, koordinator festival, yang juga Ketua Paguyuban Pengamat Burung Yogyakarta.
Di mata orang banyak, pengamatan burung masih dinilai aneh. Setiap kali, Noni, misalnya, mesti menjawab pertanyaan, seperti kenapa mesti repot-repot mengamati burung, di mana sih letak senangnya. Noni sendiri sudah aktif mengamati burung sejak kuliah. Di luar ruangan, berbekal teropong khusus dan kamera, sudah bertahun-tahun ia menguntit burung. Tapi sekali lagi, apa asyiknya kegiatan ini?
Jika direncanakan dengan serius, mengamati burung adalah kegiatan yang harus melalui beberapa tahap. Diawali dengan riset, menentukan lokasi dan waktu pengamatan sesuai dengan hasil riset, menemukan burung buruan, identifikasi jenisnya, dan mencatat. Kegiatan itu tentu disesuaikan dengan pola hidup burung: pagi hari adalah waktu keluar mencari makan, sore saat burung pulang ke sarang.
Hasil temuan itu bisa digunakan untuk kepuasan pribadi, pelengkapan database jenis burung, penelitian, atau tujuan yang lebih spesifik, seperti pemetaan jalur migrasi untuk mengantisipasi penyebaran penyakit yang terbawa burung. Khusus untuk burung migrasi, para pengamat biasanya menangkap beberapa ekor untuk dipasangi cincin, bendera, atau penanda yang menunjukkan sang burung sempat singgah di Indonesia. Nantinya, antarpengamat burung lintas negara akan berkirim kabar bahwa burung tersebut sudah sampai di negara masing-masing.
Menurut catatan Agus Prijono, 38 tahun, seorang ilustrator fauna yang berdomisili di Bogor, kegiatan pengamatan burung di Indonesia dimulai sekitar awal 1990. ”Awalnya muncul di kampus-kampus,” kata Agus, yang mengaku mulai berkenalan dengan kegiatan ini pada 1990. Lambat-laun peminatnya tidak hanya dari mahasiswa yang menekuni studi fauna, tapi juga masyarakat umum, ada yang perseorangan atau membentuk klub.
”Kepentingannya berbeda-beda,” katanya. Di Yogyakarta, misalnya, ada Yayasan Kutilang, yang mewadahi para pencinta burung yang disebut Kadang Kukila, dari istilah Jawa, artinya karib burung. Setengah tahun terakhir juga diluncurkan jejaring Burung Nusantara yang berniat menjadi wadah komunikasi antarpengamat burung se-Indonesia.
Sebutan untuk para pengamat burung bermacam-macam. ”Umumnya bird watcher, tapi ada yang spesifik,” kata Agus, yang bekerja di Pusat Informasi Lingkungan, Bogor. Beberapa sebutan yang dikenal, misalnya twicher, untuk mereka yang terobsesi membuat daftar jenis burung dan berusaha mengamati burung-burung langka yang sudah ditemukan oleh pengamat burung lain. Ada juga birder, yakni yang bersemangat tapi tidak terobsesi. Buat orang umum atau pemula, biasanya sebagai dude, yakni tidak terlalu serius melakukan pengamatan, lebih mengejar lingkungan indah dan cuaca yang baik. ”Sudah puas bisa menjumpai burung,” Agus menjelaskan. Yang dihindari adalah stringer, pengamat yang reputasinya diragukan. ”Bilangnya menemukan jenis langka, ternyata dia tak mengamati atau sedang ada di tempat lain.”
Berhasil menemukan satu jenis burung yang langka memang merupakan kebanggaan dan kepuasan tersendiri. ”Bikin iri pengamat lain,” kata Noni. Menurut dia, jika dilaporkan ada temuan burung langka, dalam waktu seminggu sampai sebulan, lokasi tersebut bakal ramai didatangi para pengamat burung untuk ikut menyaksikan. Prestasi lain yang pantas dibanggakan: catatan jumlah jenis burung yang sudah diamati. ”Ada pertanyaan umum: sudah dapat berapa jenis,” kata Noni, yang sudah mencatat sekitar 500 jenis burung sejak melakukan kegiatan itu pada 1999.
Dalam perkembangannya, sebagian pengamat burung mengambil spesialisasi. Asman cukup puas dengan mengamati burung-burung pemangsa. ”Menarik, burung ini di puncak rantai makanan,” katanya. Dia mengaku terpikat oleh perilaku burung pemangsa, misalnya soal kebiasaan migrasinya, bagaimana mereka memanfaatkan energi panas bumi untuk melontarkannya lebih tinggi ke langit. Selain itu, pilihan pada spesies burung pemangsa didorong konservasi kekayaan burung itu di Indonesia. ”Kita punya 70 dari 90 jenis burung pemangsa di Asia, dan 16 di antaranya hanya ada di sini,” katanya.
Lain halnya dengan Iwan Londo, 34 tahun. Ia spesialis burung-burung air. ”Di tambak, persawahan, atau pantai,” katanya. Dia mulai mengamati burung-burung di tambak saat masih kuliah di Manajemen Bisnis Universitas Dr Soetomo, Surabaya. ”Berawal dari hati,” katanya. Lama-lama dia terpikat pada si burung-burung air itu. ”Ada yang beratnya hanya 50 gram, tapi terbang lintas benua ribuan kilometer,” katanya. Untuk mengamati burung-burung ini, Iwan, yang sudah mencatat sekitar 400 jenis burung, sudah berburu sampai ke luar negeri: Inggris, Australia, dan Thailand.
Berangkat dari hobi, kegiatan mengamati burung ini bisa berkembang jauh menjadi bagian dari profesi. Noni, misalnya, sempat bekerja di lembaga pendampingan anak di Sunter, Jakarta. Kontrak yang seharusnya berlangsung setahun, ternyata hanya bertahan enam bulan. ”Tidak kuat, penginnya mengamati burung terus,” katanya. Dia kemudian pindah ke tempat kerjanya sekarang yang punya perhatian pada konservasi hewan.
Adapun Agus Prijono, dari hobi mengamati burung menjadi ilustrator fauna. Dia sempat terlibat dalam proyek pembuatan peta burung Nusantara National Geographic Indonesia yang berisi 37 spesies burung dan peta satwa liar yang dilindungi di Indonesia. ”Koleksi sekitar 200 ilustrasi,” katanya. Tahun lalu, koleksi ilustrasinya dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta. Agus masih menyempatkan diri melakukan pengamatan guna memperkaya pengetahuan seputar anatomi burung dan warnanya, tapi tidak lagi untuk pengamatan serius. ”Paling di taman atau sambil melihat di balik jendela.”
Soal profesi yang lekat dengan burung, Imam Taufikurahman, 29 tahun, pengamat burung dari Yogyakarta, mendapat ide wirausaha. Dia merintis wisata pengamatan burung yang rencananya dimulai akhir tahun ini. Sasarannya wisatawan yang datang ke Jawa, dengan ”dagangan” burung-burung khas (endemik) Jawa. ”Banyak kok, terutama orang asing, yang pengin lihat elang Jawa, gelatik Jawa, atau seringgit,” katanya yakin. Kepedulian terhadap burung khas ini juga yang mendorong pengamat burung di Yogyakarta melakukan konservasi, dengan cara semisal menjaga elang Jawa yang sedang mengerami telur. ”Selama dua bulan gantian jaga, memastikan sampai menetas selamat,” Imam mengisahkan.
Banyak ragam tujuan mengamati burung, banyak pula muaranya. Yang jelas, dari pengamatan burung itu bisa sekaligus diperoleh perubahan yang terjadi pada alam. Asman, yang memantau migrasi burung pemangsa, mencatat kedatangan burung-burung tahun ini agak terlambat. ”Memberikan tanda perubahan iklim,” katanya. Iwan Londo juga bisa memastikan satu pantai sudah tercemar, ketika si burung kuntul menghilang.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo