Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kesehatan menyatakan ancaman zoonosis atau penyakit yang ditularkan lewat hewan terus meningkat.
Dari rabies, malaria, leptospirosis, hingga antraks.
Hewan ternak yang tidak dirawat dengan baik bisa mengalami stres dan mudah tertular penyakit.
Akibat mengkonsumsi hewan yang terpapar Bacillus anthracis, lebih dari 80 orang di Gunungkidul, Yogyakarta, tertular antraks. Tiga orang meninggal setelah menyembelih dan menyantap sapi yang terjangkit antraks pada Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan menyatakan ancaman zoonosis dan penyakit infeksius diprediksi terus meningkat. Kementerian menyebutkan 60 penyakit yang menginfeksi manusia berasal dari hewan, termasuk ternak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sri Wahyuni, Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan peternakan, baik milik pribadi maupun industri, perlu mendapat perhatian khusus. Sebab, dia melanjutkan, 80 persen sumber protein berasal dari hewan. "Karena itu, hewan harus bersih agar terbebas dari penyakit zoonosis," ujar Yuni, panggilan Sri Wahyuni, Jumat, 14 Juli 2023.
Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan—baik hewan liar, ternak, maupun peliharaan—ke manusia. Patogennya bisa berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur. "Penyakit ini membahayakan peternak, penjual ayam atau daging, dan konsumen," kata Yuni.
Jumlah penyakit baru yang ditularkan dari hewan terus bertambah setiap tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat lebih dari 200 jenis zoonosis di dunia saat ini. Beberapa zoonosis yang sudah dikenal di antaranya rabies, malaria, leptospirosis, dan antraks. Menurut Yuni, untuk menjamin mutu produk terhindar dari zoonosis, perlu penerapan standar kesejahteraan hewan yang tinggi di setiap peternakan.
Wiwiek Bagja, pakar kesejahteraan hewan, memaparkan bahwa cara pemeliharaan dan pemotongan hewan berpengaruh pada risiko penularan penyakit. Hewan ternak yang diperlakukan dengan tidak layak akan mengalami stres dan mudah terinfeksi virus atau bakteri. "Selain itu, ketika dipotong, dagingnya lebih mudah busuk," kata dia. Maka, ia melanjutkan, penting bagi peternak ataupun penjagal untuk menyembelih tanpa membuat hewan tersiksa.
Penjualan daging sapi di pasar Mester Jatinegara, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia ini juga menyoroti penggunaan antibiotik berlebih pada industri peternakan. Riset YLKI mendapati banyak peternak yang menggunakan antibiotik untuk mencegah penyakit dan mempercepat pertumbuhan ayam. Mereka memaksa konsumsi antibiotik pada hewan agar cepat panen. Padahal, menurut Wiwiek, hal ini membuat hewan tersebut menjadi makin resistan terhadap antibiotik.
"Akibatnya, manusia yang mengkonsumsi juga terpapar dan menjadi resistan juga," kata dia. Menurut Wiwiek, penggunaan antibiotik boleh saja, asalkan untuk tujuan pengobatan dan sesuai dengan ketentuan, yakni maksimal tujuh hari berturut-turut.
Mengkonsumsi daging ayam dengan paparan antibiotik berlebih mengancam kesehatan. Sebab, akan muncul bakteri super yang kebal antibiotik. Akibatnya, berbagai penyakit semakin sulit disembuhkan.
Wiwiek mengatakan ada beberapa zoonosis yang menyerang ternak dan mengancam kesehatan manusia yang berinteraksi atau mengkonsumsinya. Dari ayam broiler yang dapat terinfeksi bakteri E. colli, salmonela, atau virus flu burung, hingga antraks pada sapi.
Menurut Wiwiek, konsumen dapat mengidentifikasi hewan yang tertular penyakit zoonosis dengan melihat fisik atau melakukan pemeriksaan laboratorium. Antraks, misalnya, cirinya jelas, yakni muncul darah dari seluruh lubang di tubuh. Namun, ia melanjutkan, sulit bagi konsumen mengidentifikasi hewan yang terjangkit zoonosis ketika sudah berbentuk daging.
Karena itu, ia menyarankan konsumen memilih hasil peternakan hewan yang memperlakukan hewan dengan baik serta memiliki nomor kontrol veteriner (NKV). NKV adalah bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya kebersihan dan sanitasi sebagai jaminan keamanan produk hewan, baik daging maupun susu.
Petugas menimbang daging di BUMD DKI Perumda Dharma Jaya, Cakung, Jakarta Timur, 29 Juni 2023. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Wayan Tunas Artama, Ketua Pusat Studi Zoonosis dan Satwa Liar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, mengatakan zoonosis lebih banyak berasal dari satwa liar. Meski demikian, bakteri dan virus dari hewan ternak juga berdampak besar karena konsumsi yang tinggi. "Yang mengkhawatirkan, setiap tahun, tiga dari lima penyakit yang muncul adalah penyakit zoonosis," kata Wayan, Jumat, 14 Juli 2023.
Untuk membantu mencegah dan mengendalikan zoonosis, pemerintah menjalankan beberapa upaya. Di antaranya menerbitkan Peraturan Menteri Koordinator Pembangunan dan Kebudayaan Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Infeksius Baru. Pemerintah juga membentuk Satuan Tugas One Health untuk membantu pengendalian zoonosis dan memberikan edukasi kepada masyarakat. Sebagai bagian dari Satgas, Wayan turut memberikan pelatihan di 23 provinsi di Indonesia yang melibatkan banyak pihak, tak hanya petugas kesehatan.
Menurut Wayan, zoonosis tidak sederhana dan harus ditangani lintas sektoral. "Karena bukan hanya soal kesehatan, tapi juga dampak ekonominya besar," kata dia. Secara ekonomi, zoonosis merugikan petani dan peternak, sementara dari sisi kesehatan merugikan konsumen dan umat manusia lainnya.
ILONA ESTERINA | IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo