MUSIM cacad kepala tiba. Antara lain ia menyerang Yadi, 4 bulan
dari Tasikmalaya yang menggelembung kepalanya seperti balon.
Kemudian di Pulau Rakyat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara,
gadis cilik berusia 4 tahun, Nurlina, mendapatbenjolan di
kepalanya yang tumbuh cepat. Benjolan itu menyamai besar
kepalanya sendiri (TEMPO 13 Januari).
Kini cacad itu hinggap pula di kepala Rokhmad Wahyudi, 3« tahun,
asal Sleman, Yogakarta. Kepala anak petani ini sudah mencapai
garis lingkar 85 cm atau 3 kali lebih besar dari anak normal. Ia
sekarang terbaring menanti nasibnya di Rumah Sakit Universitas
Gajah Mada Mangkubumen, Yogyakarta.
"Rokhmad Wahyudi menderita hydrocephalus," kata dr Rusdi
Lamsudin, ahli penyakit syaraf di rumahsakit tersebut. Penyakit
ini terjadi karena cairan otak yang dibuat darah tak bisa
diserap oleh kamar-kamar otak. Cairan ini jadi menimbun dan
sanggup mendorong tulang otak, dan membuat kepala menggelembung.
Pada organ otak yang sempurna setelah cairan tadi diserap kamar
otak dan memberikan bahan kebutuhan di situ, cairan tadi diserap
kembali oleh darah melalui permukaan otak.
Hydrocephalus bisa terjadi karena produksi cairan otak
yangberlebihan, sehingga alat penyerap tak bisa mengimbangi.
Tapi juga bisa karena alat penyerap yang "mogok". Untuk menolong
penderita para ahli hanya punya satu pilihan: operasi. Karena
belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Operasi itu pada dasarnya
mengembalikan cairan yang membanjir tadi kembali ke dalam darah.
Melalui operasi kecil sebuah pompa sebesar kelingking di
selipkan di bawah kulit kepala, dekat telinga. Cairan otak itu
disedot melalui pipa kecil yang lengket di ujung pompa. Pada
ujung bawah pompa itu ada pula pipa yang lebih panjang yang
"ditanamkan" di bawah kulit belakang telinga, terus menyelusup
masuk jantung.
Sekat pompa tersebut disetel sedemikian rupa hingga cairan hanya
terpompa ke luar dari rongga otak. Dan tidak akan kembali lagi
ke sana. Jika kecepatan pompa ternyata masih kurang, pompa bisa
pula dipercepat dengan menekannya dari luar. Selain dipompakan
ke jantung, ada pula dokter yang memompakan cairan otak itu ke
dalam perut, supaya diserap dinding rongga perut. Tapi yang
begini jarang terjadi. Kecuali untuk kasus istimewa.
Rokhmad Wahyudi mungkin juga bisa diselamatkan dengan operasi
seperti itu. Tapi soalnya Yogyakarta belum punya ahli bedah
syaraf. Ahli itu masih berada di Jakarta untuk mengambil
spesialisasi bedah syaraf. Anak itu sebenarnya bisa dibawa ke
Jakarta. Tapi orangtuanya tak mampu membiayai ongkos perjalanan
dan pengobatan. "Kalau saja kita punya uang Rp 400.000 dia sudah
dibawa ke sana," kata dr Rusdi Lamsudin. Koran Kedaulatan
Rakyat, Yogyakarta, sejak 15 Januari membuka "dompet
kemanusiaan" untuk membiayai Rokhmad.
Pada kasus penyakit hydrocepbalus yang ditemukan akhir-akhir
ini, masalah biaya memang menjadi hambatan besar. Maklum
keluarga yang tertimpa musibah kebetulan orang miskin. Pompa
cairan otak itu sendiri yang dari luar negeri berharga sekitar
Rp 200.000. Dihitung dengan biaya perawatan, pasien harus
menyediakan sedikitnya Rp 300. 000. Yadi, pasien dari
Tasikmalaya yang sudah mulai pulih, hanya bisa tertolong di RS
Hasan Sadikin, Bandung, berkat bantuan seorang dermawan. Dan
karena pemberitaan Pikran Rakyat, Bandung.
Metode pertolongan untuk penderita kepala besar ini baru
ditemukan tahun 1963. Di Indonesia baru dilaksanakan
sejak tahun 1970. Mula-mula hanya oleh RS Cipto Mangunkusumo.
"Tapi sekarang Bandung, Surabaya, Medan dan sebentar lagi Yogya
juga sudah bisa," kata dr Padmosantjojo, 41 tahun, dari bagian
bedah syaraf RSCM. Asalkan para dokter di sini tidak terbentur
pada masalah biaya bagi si pasien, pelaksanaan operasi itu
sendiri tak akan banyak kesulitan, sebagaimana diceritakan oleh
Padmosantjojo yang mendalami ilmu bedah syaraf di negeri Belanda
pada wartawan TEMPO Martin Aleida.
Pompa Lokal
Untuk menolong pasien tak mampu Prof. Handoyo, kepala bagian
bedah syaraf RSCM pada tahun 1976 mulai memperkenalkan pompa
cairan otak yang murah. Harganya Rp 30.000. Alat tersebut ia
rancang sendiri. Sedang pembuatannya diserahkan kepada Lembaga
Instrumentalia ITB, Bandung. Pompa murah itu diberi nama "Po.mpa
Jakarta" dan memperkaya khazanah pompa yang sudah ada, seperti
buatan Holter, Pudenz, Hakim dan Wen.
"Dia ini memakai Pompa Jakarta. Kira-kira seminggu lagi sudah
bisa pulang," kata dr Padmosantjojo, seraya menunjuk seorang
pasien. Sebegitu jauh pompa murah ini tetap dapat menolong.
Sayang pembuatannya memakan banyak waktu, karena harus dibubut
dengan keterampilan seorang tukang yang betul-betul mahir.
Pasien yang berangsur-angsur sembuh, secara teratur harus
memeriksakan pompa penolong itu. Ada kemungkinan kerjaannya tak
beres. Dokter pun perlu memeriksa lagi apakah pipa pompa tadi
masih cukup panjang. "Sebab persoalan semua jenis pompa adalah
kependekan," kata Padmosantjojo. Maksudnya pipa bisa menjadi
pendek kalau seorang anak sudah tumbuh sehat. Organ tubuhnya
memanjang, sementara pipa tetap sebegitu saja. Pompa dan pipa
itu dipasang secara permanen sampai tua.
"Dari hasil penelitian, 30% anak yang menjalani operasi memiliki
IQ di bawah normal. Sedang pengaruhnya terhadap panjangnya umur
belum bisa dikatakan karena pompa cairan itu sendiri baru
ditemukan tahun 1963," katanya.
Tentang penyebab terjadinya cacad tersebut, Padmosantjojo
menyebutkan beberapa kemungkinan, antara lain hamil minggu
pertama sampai minggu ke 8 merupakan masa yang amat rawan.
Berbahaya jika si ibu terserang flu berat, salah makan obat atau
terserang virus encephalitis. Usaha pengguguran yang
setengah-setengah dengan obat atau Jamu bisa Juga menyebabkan
cacad. Sebab sejak minggu pertama sampai minggu ke delapan janin
menjalani proses pembentukan syaraf pusat. Ganggu an pada
pertumbuhan syaraf ini bisa mengakibatkan cacad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini