Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKO Tjahjono, arek Suroboyo, kaget setelah diterima sebagai
pegawai Jasa Marga sejak April yang lalu Waktu ia membaca iklan
yang mencarl tenaga untuk melola jalan tol "Jagorawi",
bayangannya adalah tugas-tugas teknis. Maklum kawan kita berusia
25 tahun ini tamatan STM. Ternyata tugasnya jauh lebih berat
dari dugaannya.
Tetapi Eko tidak menycsal. Karena dia ada 2 alasan. Satu, karena
pekerjaan itu meskipun berat tetapi baru dan menyegarkan
otaknya. Kedua karena gajinya sebulan, Rp 60 ribu. "Ya senang,"
ujarnya kepada Widi Yarmanto dari TEMPO, "kerja lain baru
beberapa bulan kan tak mungkin dapat gaji sebegitu? "
Kampak Dan Sebagainya
Setelah beberapa bulan, pengalaman Eko bertambah. Sekarang ia
sudah bisa stir mobil, operator radio, menolong orang untuk
tahap kecelakaan pertama dan bisa juga memperbaiki kerusakan
kendaraan yang kecil-kecilan. Semua itu diharuskan pada setiap
petugas patroli Jagorawi di dalam pendidikan mereka. Itulah
senjata mereka, karena mereka tidak dilengkapi senjata sungguhan
seperti polisi.
Eko hanya satu dari 54 orang petugas patroli. Ia bertugas setiap
hari di atas sebuah mobil pick-up berwarna biru dan kuning. Di
atas kap mobil ada pengeras suara yang bisa berkoar sampai jarak
500 m. Dilengkapi radio, 2 tabung Yamato, dongkrak, kunci pas,
sekop, kampak, gergaji, sabit, satu jerigen air dan 10 liter
bensin. Yah seperti orang mau pergi jauh entah ke mana. Tapi
percayalah, semua yang dibawa bukan untuk pameran. Perihal
kampak misalnya. 'Gunanya kalau ada kecelakaan tak bisa buka
pintunya, gedor saja dengan kampak," kata Gunarso (30 tahun)
seorang kepala regu patroli.
Tugas patroli Jagorawi menjaga aliran mobil supaya tetap berada
pada kecepatan sekitar 60 hingga 120 km perjam dalam keadaan
aman. Untuk itu jalan harus dijaga kondisinya. Mereka juga
bertugas mengasuh para pemakai jalan, termasuk memberi
pertolongan kalau ada kecelakaan, kekurangan bensin atau mogok.
Bahkan menindaknya kalau menyalahi peraturan penggunaan jalan,
dengan denda. Jalan ini memang dimaksudkan sebagai penampung
arus mobil cepat tapi tidak diharapkan jadi arena ugal-ugalan.
Jalan Jagorawi dibelah oleh jalur hijau yang disebut median.
Barang siapa memotong median dikenakan denda Rp 5.000. Membuang
sampah ngawur juga kena pukul Rp 5.000. Mobil-mobil yang
menyeruduk lewat tanpa membayar tiket, langsung dicegat dan
dikenakan denda 10 kali. Kalau ada mobil mogok lebih dari satu
jam dikenakan denda Rp 3.000. Setiap satu jam berikutnya
dihitung Rp 1.000. Kalau mau ditarik, disediakan derek dengan
ongkos pertama Rp 3.000, lalu setiap kilometer dihitung Rp 100.
Untuk mobil yang kekurangan bensin, petugas patroli dapat
menjuali 10 Iiter bensin dengan harga Rp 100 per liter.
Sedangkan kerusakan-kerusakan kecil akan diberikan pertolongan
pertama yang dianggap sebagai bagian dari servis jalan. Petugas
patroli akan datang menyalami. "Tapi kadang meskipun kita sapa
ada sopir yang acuh. Barangkali takut kalau setelah dibantu
dimintai ongkos. Terutama sopir-sopir truk dan colt," kata
Gunarso.
Sejak Jagorawi dibuka sampai Oktober yang lalu, tak kurang dari
1.137.447 buah kendaraan yang lewat. Hasil pendapatan karcis
tercatat Rp 363.375.525, sedangkan dari pelayanan dapat Rp
7.609.934. Dari atus itu sudah terjadi 65 kecelakaan dengan
korban ringan 63 orang, luka berat 20 orang, dan mati lima
orang. Rata-rata di bulan Maret, setiap hari ada 3071 buah
kendaraan lewat, yang meningkat di September menjadi 5890. Dapat
dimengerti semakin lama tugas para patroli semakin banyak.
Terutama lantaran adanya tugas-tugas sampingan. Bukan hanya
mobil tetapi motor dan manusia banyak nyelonong jadi urusan.
Jagorawi yang sebenarnya khusus untuk mobil kadangkala sering
disusupi sepeda motor. Satu kali Eko menghadapi seorang
pengendara motor yang nekat, yang masuk jalan tol dari Cibinong
menuju Jakarta. Para petugas menghadang, petugas malah
ditendang. Lalu terjadi kejar-kejaran. Motor memang bukan
tandingan mobil. Motor itu kemudian menerobos pagar membelok ke
kampung. Para petugas tak ada waktu untuk menguntit. Mereka
hanya berteriak: "Maling, maling!" Penduduk kemudian mengubernya
beramai-ramai. Tak tahulah bagaimana nasibnya. Semoga Tuhan
melindunginya tetapi menghukum kenekatannya.
Uber-uberan sebenarnya tidak akan pernah terjadi, sebab tugas
diperlengkapi dengan radio. Kalau ada apa-apa, cukup kontak
melalui radio dan menyebutkan nomor mobil, petugas di pos lain
sudah menghadang. Bukan hanya buat para pelanggar, juga mobil
yang dicurigai telah melakukan tindakan kriminal cepat bisa
diberangus kalau masuk jalan tol.
Suami Isteri
Mobil patroli Jagorawi tadinya ada 4 buah, beroperasi setiap
setengah jam sekali. Sekarang hanya digunakan 2 buah untuk
efisiensi. Pada suatu malam Eko berhenti untuk memeriksa sebuah
mobil yang nemplok di jalur lambat. Eh, baru saja didekati,
ternyata isinya dua mahluk Tuhan yang sedang bercumbuan. Eko
pun memberi salam, permisi dan menganjurkan agar mobil
dijalankan kembali. "Mereka cuma iseng, saya kira nggak ada yang
punya fikiran bercumbu di Jagorawi, mumpung memanfaatkan
kesempatan saja," kata Eko.
Lain waktu, Eko yang memakai stelan atas biru muda dengan celana
biru itu, melihat sebuah mobil oleng. Sebentar ke jalur kiri,
sebentar ke kanan. Terbetik dalam benaknya, itu mungkin orang
mabok. Sebab jalur kanan hanya dipergunakan untuk nyalip --
begitu tersalip, harus kembali ke jalur kiri. Kalau membangkang
harus diperingati. Maka Eko pun mendekat dengan mobilnya. Eh,
tahu-tahu di dalam mobil ada mahluk Tuhan lagi, sepasang suami
isteri yang sedang bertengkar. Eko terpaksa mendamaikan. Mobil
pun berjalan normal kembali. Tetapi belum jauh, kembali lagi
oleng. Untung tidak terjadi kecelakaan.
Lebih payah lagi menghadapi manusia. Sejak Jagorawi dibuka
banyak penduduk yang belum tahu bahwa jalan itu bukan untuk
manusia jalan kaki hingga ada orang seenaknya menyeberang. Kalau
kebetulan kepergok dan diberitahu itu biasanya ia minta maaf dan
mengaku baru satu kali ia mencoba. Tapi ada juga yang balik
melotot. "Dikasih tahu demi keselamatan dia, malah menantang,"
kata Eko. Seorang teman Eko mengatakan penduduk sekitar jalan
itu kadangkala terlalu berani. Jangankan petugas patroli yang
tak bersenjata, polisi pun mereka ledek. Biasanya sambil melotot
lalu pantatnya ditunggingkan supaya para petugas keki.
Nenek-nenek yang sempoyongan juga ada yang mencoba menyeberang.
Dipanggil dia acuh-acuhan saja. Bahkan tak jarang orang masih
menyeberang jalan tol padahal ada jalan penyeberangan khusus.
Kalau ditangkap enak saja menjawab: "Habis, jalan di bawah
becek, pak." Gunarso seorang petugas patroli karena jengkel
berseru: "Asal ngomong saja, padahal rumahnya di kampung juga
becek."
Satu ketika ada juga seorang pemuda santai di jalur hijau
membawa ransel. Ia melenggang sambil menghirup udara sore yang
segar. Waktu disapa apa maunya, ia tenang saja menjawab: "Mau
jalan-jalan." Asalnya dari Kemayoran, dengan sejujur-jujurnya ia
memang tidak tahu perbuatannya itu terlarang. Berbeda dengan
orang-orang gila yang bukannya tidak tahu peraturan tapi tidak
peduli apa saja. Sebab Sukardi, petugas usia 19 tahun yang
pernah menjumpai orang gila malah kena plotot waktu berusaha
memberitahu. "Terpaksa kita takut-takuti supaya mau keluar
pagar," kata Sukardi.
Bagi penduduk yang sudah tiga kali kepergok melakukan
penyeberangan, biasanya dibawa ke kantor. Disuapi dengan
indoktrinasi, dibumbui sedikit ini dan itu agar kapok. Khususnya
para tukang sayur. Caranya gampang, pikulannya diangkut saja.
Kalau orang itu kebetulan tukang ojek, sepedanya yang dibawa.
"Kalau saya lagi kesel, saya naikkan mobil dan baru saya
turunkan setelah dua kilometer, biar kapok," kata Gunarso.
Jalan juga sering kotor karena bangkai tikus, musang atau
kelinci. Kalau dibiarkan bisa membawa kecelakaan. Seorang anak
pernah melemparkan krikil kecil dari atas jembatan. Tapi
mengenai kendaraan yang sedang melesat laju sekali. Akibatnya
fatal. Kaca mobil berantakan. Tetapi orang-orang hidup pun
(penduduk setempat) sering nongkrong di pinggir jalan, alasannya
nonton orang ngebut. Yang sulit adalah kalau satu ketika orang
kampung sekitar mengusung jenazah, menyeberangi jalan yang sudah
dipagar itu. Petugas patroli terpaksa menunggu dengan sabar,
sampai iring-iringan itu balik kembali. Lalu ditanyai sekedar
ingin tahu siapa sebenarnya yang memberi izin lewat di situ.
Giliran patroli diganti dua hari sekali. Ada yang dapat giliran
antara pukul 7 pagi sampai pukul 3 siang. Ada yang pukul 3
sampai pukul 11 malam dan yang terakhir antara pukul 3 dinihari
sampai pukul 7 pagi. "Kalau pas kerja malam, wah sepi, apalagi
kalau sudah tidak ada kendaraan yang lewat," kata Eko.
"Ngantuknya bukan main. Hiburan satu-satunya hanya radio." Yang
dimaksudkan dengan radio adalah alat penghubung dengan patroli
pusat. Ada juga hiburan berat, misalnya kalau ada colt sayur
yang terbalik. "Bisa pegel juga ngangkutin sayur," kata Sukardi.
Meskipun petugas patroli ini berusaha untuk menjalankan
kewajibannya tanpa pandang bulu, antara kampung Makasar dan
Kramat Jati mereka tak bisa berkutik. Daerah itu hanya dilewat
saja. Kalau ada yang nyeberang atau ada jemuran di depan hidung,
dibiarkan saja. Kenapa? "Kerja percuma," kata Gunarso, kepala
regu yang bergaji Rp 65 ribu itu. Karena akan "menghabiskan
tenaga saja. Mereka kebanyakan anak ABRI. Biar ABRI saja yang
turun tangan." Maksudnya regu patroli Polantas atau Sabhara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo