Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau daging terbakar tercium di kamar operasi Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Selasa pagi pekan lalu. Asap tipis juga terlihat berbarengan dengan terdengarnya suara "sret… sret…". Dokter di rumah sakit itu bukan tengah mengadakan pesta barbeque. Bau daging dan asap muncul saat cauter listrik di tangan dokter Nicolaas C. Budhiparama, spesialis bedah ortopedi dan traumatologi, menghentikan perdarahan di lutut pasien yang tengah dioperasi. Hal yang sama terjadi saat cauter memotong jaringan lunak di lutut kiri pasien berumur 62 tahun pengidap pengapuran sendi (osteoartritis) ini.
Pada detik yang lain, Nico menggergaji tulang paha dengan gergaji listrik. Penggergajian dilakukan untuk membuat ruang bagi sendi lutut buatan yang hendak dipasang. Setelah ruang tercipta, Nico mencoba memasang sendi lutut buatan itu. Ternyata ukurannya belum pas. Penggergajian kembali dilakukan.
"Penggergajian ulang seperti ini tak perlu terjadi jika memakai patient specific jig," kata Nico di sela-sela operasi. Jig adalah alat khusus untuk membantu pemotongan tulang paha dan tulang kering sehingga pas saat dipasangi sendi lutut buatan. Prinsip kerjanya seperti dokter gigi membuat cetakan gigi sebelum membuat dan memasang gigi tiruan pada pasiennya.
Berbahan plastik khusus (medical grade plastics), jig dibuat dengan komputer tiga dimensi berdasarkan pencitraan computed tomography scan (CT scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) lutut si pasien. Karena dibuat dengan komputer, akurasi dan presisinya sangat tinggi.
Dengan jig, penggergajian tulang tak perlu berulang. Walhasil, operasi berjalan lebih cepat. Karena waktu operasi terpangkas, penggunaan obat bius bisa dikurangi. Keuntungan lain, luka bukaan pada lutut bisa dibuat lebih kecil sehingga kesembuhan lebih cepat dan waktu rawat inap lebih pendek. Tak hanya itu, risiko terjadinya infeksi juga bisa ditekan. Yang paling penting, ujar Nico, "Sendi lutut buatan yang dipasang bisa menclok, plek, pas banget." Berbagai manfaat itu setara dengan biaya tambahan pembuatan jig, yakni sekitar Rp 10 juta.
Di beberapa negara tetangga, seperti Singapura, alat ini diperkenalkan pada akhir 2010. Sejatinya, sebelum dokter di Singapura—juga Thailand—memanfaatkan jig, Nico sudah siap menggunakannya. Dokter bedah ortopedi lulusan University Hospital, Leiden, Belanda, itu sudah menggunakan alat serupa saat melakukan operasi di Belanda dan Amerika Serikat.
Sayangnya, alat itu sampai saat ini belum mendapat izin untuk digunakan di Indonesia. Permohonan ke Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan di Kementerian Kesehatan sudah dilayangkan sekitar satu setengah tahun lalu. Namun permohonan itu belum mendapat jawaban hingga kini.
Linda Sitanggang, Direktur Jenderal Bina Kefarmasian, mengatakan lembaganya belum menerima permohonan pendaftaran jig. Yang jelas, terhadap perkembangan teknologi, termasuk jig, Kementerian memberi dukungan. Bahkan, jika produk itu sangat dibutuhkan pasien secara kasus per kasus, sedangkan proses registrasi belum diajukan oleh distributornya, tetap ada jalan keluar. "Produk itu dapat diimpor dengan jalur skema akses khusus," kata Linda.
Jika registrasi jig sudah turun, Nico bisa mengirim hasil CT scan atau MRI kaki pasien ke sebuah perusahaan pembuat jig di Amerika. Sekitar enam pekan kemudian, jig itu beres dan dikirim ke Indonesia. Selain mempersingkat waktu operasi dan memperkecil wilayah yang dibedah, jig memudahkan dokter memilih sendi lutut tiruan. Dalam operasi konvensional yang penuh kira-kira, dokter harus mempersiapkan belasan ukuran sendi lutut tiruan dalam berbagai ukuran. Dengan keakuratan jig, hanya diperlukan satu ukuran sendi lutut buatan.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo