Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menyelamatkan Yang Lapar, Juga Yang ...

Sebagian besar penduduk Indonesia menderita kekurangan gizi. Penyebabnnya a.l. karena kebutuhan pangan rakyat masih berada di titik rawan. Bagi yang beradapun masih tak tahu mengatur menu. (ksh)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH 33 tahun negeri kita merdeka, namun kebutuhan pokok rakyat, yaitu pangan masih tetap merupakan titik rawan," kata Presiden Suharto. Apa yang dikatakan Kepala Negara ketika meresmikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak di Ciawi, Jawa Barat, minggu lalu memang merisaukan. Karena itu tema "Gizi dan Pembangunan" untuk Hari Kesehatan Nasional ke XIV (12 Nopember) nampaknya ditonjolkan. Bayangkan, sekarang ini tercatat 12 juta orang atau hampir 10% dari penduduk Indonesia menderita gondok. Mereka hidup menyedihkan, dengan leher yang membengkak dan tingkat kecerdasan yang sangat kurang, di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusatenggara dan Irian Jaya. Penyakit gondok yang disebabkan oleh kekurangan yodium nampaknya bukanlah semata-mata karena kesalahan penduduk. Persediaan air di daerah mereka memang kebetulan kurang mengandung zat yang amat dibutuhkan tubuh itu. Distribusi dan penyediaan garam yang mengandung yodium secukupnya tetap merupakan jalan yang pantas dipilih. Ini pandangan mereka di bidang kesehatan masyarakat yang muncul sejak adanya perbedaan pendapat sekitar perlu tidaknya monopoli pemerintah atas pembuatan garam. Perhatian pemerintah untuk menanggulangi penyakit gondok ini cukup besar. Bantuan dari luar juga cukup, antara lain dari UNICEF dalam bentuk tenaga ahli. Pemetaan daerah endemis gondok di seluruh Indonesia sedang dikerjakan. 0-6 Tahun Setelah gondok, kekurangan vitamin A menduduki tempat teratas pula dalam daftar kekurangan gizi masyarakat, terutama yang tinggal di pedesaan. Saat ini lebih dari 90.000 anak usia antara 0-6 tahun terserang kekurangan vitamin A dalam kategori berat dan bisa menyebabkan kebutaan. Ada 1,4 juta anak kekurangan vitamin A tingkat sedang dan 15 juta lainnya tingkat ringan. Sadar mengenai ancaman kebutaan, maka pemerintah menyediakan vitamin A dosis tinggi secara cuma-cuma untuk anak-anak di pedesaan -- salah satu langkah yang diambil Departemen Kesehatan. Menurut dr Malasan MPH yang sehari-harinya mengepalai direktorat gizi, Depkes, kekurangan gizi amat gampang ditandai. "Jika anak tiap bulan ditimbang berat badanya tidak naik, ini tandanya ia kekurangan gizi," katanya. Tahun 1979, ditaksirnya 9% juta anak umur O sampai 6 tahun menderita kekurangan kalori-protein. Tapi kekurangan gizi ini tidak hanya menjadi wajah buruk anak-anak kita. Juga ada sekitar 400.000 ibu yang sedang menyusui terancam kesehatan anaknya, karena mereka kurang gizi. Selama kekurangan gizi tadi menyerang penduduk pedesaan, tak pelak lagi kemiskinan adalah penyebabnya. "Sebelum kemiskinan bisa dihapuskan masalah gizi akan tetap belum teratasi," begitu keyakinan Malasan. Dari luar lingkungan pemerintah, perhatian terhadap kekurangan gizi ini nampak tumbuh juga. Di Flores, misalnya, sejak serangan "wabah kelaparan" beberapa bulan lampau. Dana Sosial dari kalangan Katolik di sana sangat membantu. Badan ini mendirikan taman-taman gizi di daerah yang jadi pusat kelaparan. Dengan kader-kader yang muda-muda, bahan makanan berupa nasi, ikan asin dan susu mereka junjung melintasi belukar dan bukit-bukit. Di Serpong, Jawa Barat, pihak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia juga punya proyek perbaikan gizi, dengan memanfaatkan taman gizi. Di situ biasanya yang ditampung adalah anak-anak saja, sementara orang tua mereka hanya datang menjenguk. Sasaran pemerintah kelihatannya tidak hanya terbatas pada lapar-gizi yang diakibatkan oleh kemiskinan pada masyarakat kelas bawah, tapi juga pada masyarakat menengah dan atas terutama yang menghuni daerah perkotaan. Upaya pemerintah ini tentu masih sangat terbatas. "Jangankan orang di daerah pedesaan, mereka di kota pun belum bergizi baik," cetus ir Suwadi dari Departemen Pertanian yang duduk dalam panitia HKN tahun ini. Dari sebuah penelitian oleh Institut Pertanian Bogor di daerah Sleman diketahui penyebaran kekurangan gizi dalam masyarakat meliputi 23% kelas bawah, 16% kelas menengah dan 2% kelas atas. Penggolongan masyarakat dalam penelitian ini didasarkan pada jumlah rupiah yang dikeluarkan perorang/bulan untuk makanan. Kelas bawah kurang dari Rp 3.000, kelas menengah antara Rp 3.000 sampai Rp 6.000, kelas atas lebih dari Rp 6.000. Kurangnya keanekaragaman menu dalam lapisan masyarakat berpenghasilan cukup, inilah yang jadi soal. Orang terus-menerus mencandu dengan beras. Dan beras, seperti dikatakan dr Pudjiantuti Pranyoto MPH dari bagian penyuluhan masyarakat, Depkes, "dimakan orang bukan hanya untuk kenyangnya, tapi juga untuk prestise." Untuk beras, mereka memilih seputih mungkin. Tanpa menyadari beras seperti itu berkurang kandungan vitaminnya. Pengubahan pilihan makanan pokok di sini nampaknya bisa dimulai pemerintah dengan meninjau kembali sistim target yang dikenakan pada produksi padi. Di daerah penghasil padi, seperti dikatakan oleh ir Soehardjo, ketua departemen ilmu kesejahteraan keluarga, Fakultas Pertanian IPB, seyogyanya sudah bisa dimulai penanaman palawija sebagai tambahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus