Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MIGREN itu sungguh menyiksa. Kalau migren sudah beraksi, nyeri yang terasa seakan merengkah batok kepala. Rasa sakitnya acap kali menikam satu sisi kepala saja, dan berlangsung sampai berjam-jam tanpa henti. Itu pun masih ditambah lagi dengan rasa tertusuk pada mata bila kena cahaya, sesak napas dan mual. Celakanya, berdasar teori baku yang diyakini sampai kini migren dikategorikan sebagai gejala psikosomatis -- keluhan sakit tanpa penyebab kelainan fisik. Selama setengah abad, ilmu kedokteran yakin pada pendapat ini. Maka, tak ada obat yang langsung bisa menyembuhkan migren. Terapi yang dilakukan para dokter umumnya sekadar untuk mengurangi rasa sakit ini. Tapi sekarang, penderita migren boleh gembira. Dari penelitian di bidang neurologi, diketahui bahwa sakit kepala itu bukan gejala psikosomatis. Para peneliti telah menemukan penyebab biologis migren, yaitu defisit, senyawa otak serotonin. Otomatis, obatnya ditemukan juga. Perusahaan obat Inggris Glaxo Group, belum lama ini mengumumkan, telah berhasil mencobakan obat migren yang mereka temukan. Obat itu -- belum punya nama, dan cuma bisa dikenali lewat nomor serialnya, GR 43175 -- terbukti bisa melenyapkan serangan migren secara tuntas, setelah mengembalikan keseimbangan serotonin. Penemuan baru tentang migren ini agaknya belum meluas. Pada Simposium Sakit Kepala yang diselenggarakan RS Pusat Pertamina (RSPP) dua pekan lalu, sebagian besar peserta masih mengkategorikan migren sebagai gejala sakit kepala yang tidak sccara tegas punya penyebab fisik. Namun, simposium yang dihadiri sekitar 300 dokter dan berlangsung di Bali Room, Hotel Indonesia, Jakarta itu mengkaji pula gejala-gejala fisik yang mengikuti migren. Gejala fisik ini adalah pembesaran pembuluh-pembuluh darah (vasodilatasi) -- diduga penyebab timbulnya rasa sakit yang menusuk di kepala. Menurut teori paling lama yang digariskan Dr. Harold Wolf pada tahun 1938, migren, kendati tak mempunyai penyebab, berpotensi menimbulkan ketegangan dan stres. Ketegangan ini mengakibatkan pembesaran pembuluh darah di luar tengkorak kepala. Akibatnya, terjadi arus yang tidak normal ketika darah memasuki pembuluh-pembuluh di otak. Volume darah yang masuk lebih besar dari biasanya. Otomatis pembuluh-pembuluh di otak menjadi padat. Tekanan pada pembuluh-pembuluh otak inilah, menurut teori Wolf, yang kemudian menimbulkan rasa sakit pada migren. Sesudah teori Wolf, yang mendapat banyak pendukung, muncul beberapa teori lain. Menurut beberapa peneliti, vasodilatasi bisa juga terjadi di dalam tengkorak kepala. Namun, semua teori itu masih berakar pada teori vasodilatasi Wolf. Sekarang, teori mengenai sakit akibat vasodilatasi inilah yang ditentang. Dr. Neil Hugh Raskin, neurolog University of California School of Medicine, San Francisco menyatakan bahwa rasa sakit yang terjadi karena migren bukanlah akibat pembesaran pembuluh darah. Dalam bukunya, Headache, Raskin menguraikan seluk beluk teori baru tentang migren, yaitu susutnya jumlah senyawa otak serotonin, dan mungkin juga norepinephrine. Dalam sistem saraf, serotonin dan norepinephrine dikenal sebagai neurotransmiter, yaitu senyawa kimia yang bertugas merambatkan sinyal-sinyal listrik dari sel saraf yang satu ke sel saraf yang lain di otak. Dalam koordinasi tubuh, neurotransmiter dikenal bertanggung jawab merambatkan perintah tertentu dari otak ke seluruh tubuh. Serotonin berfungsi menyampaikan instruksi pengerutan dan pengembangan pembuluh-pembuluh darah. Di samping itu mengendalikan sistem pencernaan -- karena itu berpengaruh pada rasa mual dan nafsu makan. Juga, berhubungan dengan pusat pikiran di otak yang mengendalikan perasaan. Dan yang penting, serotonin bertanggung jawab pula merambatkan rasa sakit. Bila dikaji, fungsi serotonin dengan jelas tercermin pada berbagai manifestasi migren -- vasodilatasi, rasa mual, dan rasa sakit. Dari penelitiannya, Raskin mengetahui, migren berawal pada menurunnya konsentrasi serotonin pada sebuah inti sel saraf, yang terletak di batang otak. Inilah pusat deposit neurotransmiter itu. Penyusutan ini kemudian merambat ke hampir semua bagian otak, karena dalam menjalankan fungsinya, serotonin menyusuri berbagai sudut otak. Dari batang otak, serotonin mengalir ke sistem limbus, yang merupakan pusat emosi -- terletak di bagian pinggir otak. Juga, ke hipotalamus di pusat otak, yang antara lain mengendalikan nafsu makan, dan ke talamus, yang merupakan salah satu pengendali pancaindria. Rusaknya keseimbangan otak ini langsung menimbulkan berbagai gangguan pada sistem kerja tubuh. Inilah sebabnya, mengapa migren diikuti berbagai keluhan fisik dan perasaan tidak nyaman. Di samping itu, terjadi pula kekacauan dalam pengontrolan rasa sakit. Menurunnya deposit serotonin di batang otak membuat rasa sakit muncul secara tidak terkendali di semua jalur serotonin -- sebagian atau seluruhnya. Inilah, menurut Raskin, pangkal rasa sakit pada migren, bukan pembesaran pembuluh darah di luar atau di dalam tengkorak kepala. Mengapa terjadi penurunan deposit serotonin? Sejauh ini, belum ada kesepakatan. Peneliti Dr. Joe R. Saper dari Pusat Penelitian Sakit Kepala, Michigan, AS, menemukan bagaimana keseimbangan serotonin dirusakkan enzim tertentu, yang jumlahnya meningkat secara tiba-tiba. Peneliti lainnya, Dr. K. Michael Welch dari Rumah Sakit Henry Ford, Detroit, AS, memperkirakan bahwa penyusutan serotonin terjadi akibat interaksi neurotransmiter ini dengan pusat pikiran intelektual. Artinya, salah satu penyebab migren memang beban pikiran. Kendati tidak mematikan, migren tergolong penyakit yang dampaknya besar. Data statistik di AS menunjukkan, sakit kepala ini menyerang 18 juta orang secara tetap. Akibatnya, 64 juta jam kerja per tahun hilang, dan kerugian yang ditimbulkannya mencapai US$ 50 milyar. Di Indonesia, Prof. B. Chandra, Kepala Laboratorium Neurologi RS dr. Sutomo, Surabaya, memperkirakan bahwa 6% penduduk menderita migren. Itu berarti, 9,6 juta orang menjadi langganan sakit kepala yang membandel itu. Jim Supangkat, Syafiq Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo