Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menyingkap kesenjangan ...

Kelompok studi transplantasi indonesia mengadakan kongres nasional I di jakarta. kendati teknologi & fasilitas ada, tapi masih banyak hambatan. penentuan bidang etik dan hukum transplantasi belum seragam.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum Dr. Christian Barnard berhasil mencangkokkan jantung manusia pada tahun 1967, Pien Chiao dan Hua To sudah melakukannya 21 abad lebih awal. Konon, Pien, tabib Tiongkok itu, mencangkokkan organ pada abad kedua sebelum Masehi. Sementara itu, Hua, ahli bedah Raja Tsao Tsao dari negara Wei, bisa mengoperasi pasien tanpa menimbulkan rasa sakit. Ia juga melakukan transplantasi berbagai organ tubuh -- termasuk jantung -- sekitar tahun 190. Ahli bedah India juga sudah mencangkok hidung dengan kulit lengan, sekitar 600 tahun sebelum Masehi. Tambo kedokteran Barat mencatat pencangkokan kaki jenazah seorang Moor ke tungkai penderita, yang dilakukan di Sisilia pada abad ketiga Masehi. Tak jelas bagaimana hasil pencangkokan itu. Yang pasti, sampai tahun 70-an, transplantasi organ masih banyak yang gagal. Dalam bidang cangkok jantung, umpamanya, kemajuan pesat baru diperoleh sejak 1980. Tahun itu, jumlah cangkok jantung di dunia sudah mencapai angka 95, sementara tahun 1978 dan 1979 baru menginjak angka 60 dan 48. Tahun 1981 hingga 1986, angka cangkok jantung terus melesat, mulai dari 111, 181, 292, 652, 1009, dan 1415. Menurut Prf. Dr. R.P. Sidabutar, Ketua Kelomnok Studi Transplantasi Indonesia (Kesti), meningkatnya prestasi itu antara lain disebabkan majunya pengetahuan tentang preservasi organ, pengetahuan masalah penolakan (rejeksi) organ yang ditransplantasikan, dan pengendalian infeksi. Ini dikemukakannya dalam Kongres Nasional I Kesti di Hotel Indonesia, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Dalam frekuensi yang lebih rendah, Indonesia juga mencatat kemajuan dalam transplantasi. Spesialis mata di negeri ini, misalnya, sudah berhasil mencangkokkan kornea sejak 1954, hingga jumlahnya kini mencapai 1.856. Begitu pula dalam cangkok ginjal dan -- dalam batas tertentu -- cangkok sumsum tulang. Di sini sudah tujuh RS berhasil mencangkok sekitar 150 ginjal. Sementara itu, cangkok sumsum tulang (organ produsen sel darah) sudah dilaksanakan sejak setahun lalu. Dalam hal fasilitas, kita juga tidak ketinggalan. Di RSCM, Jakarta, misalnya, sejak Februari lalu sudah tersedia dua kamar khusus bagi penderita cangkok sumsum tulang. Menurut Kepala Sub-Bagian Hematologi-Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam FK UI/RSCM, Dr. Ary Harryanto Reksodiputro, kedua ruangan steril itu antara lain dilengkapi dengan dua kamar semisteril, dan sebuah kamar pemroses sumsum tulang. Berbagai peralatan canggih juga ada di situ, termasuk alat untuk menyiapkan komponen darah dan alat penghancur sel darah putih. "Fasilitas itu menelan biaya lebih dari dua setengah milyar rupiah," kata Ary Harryanto, yang tampil sebagai salah satu pembicara pada Kongres Nasional Kesti tersebut. Kendati teknologi dan fasilitas sudah kita kuasai, nyatanya masih banyak saja hambatan lain. "Hambatan itu banyak ragamnya," ujar Kepala Bagian Bedah FK UI/RSCM, Prof. Dr. R. Sjamsuhidajat. "Selain hambatan teknis -- terutama dalam cangkok jantung dan paru -- juga terdapat hambatan sosial, agama, dan hukum yang perlu diselesaikan secara baik." Berbagai masalah itu, menurut Sidabutar masih sering diperdebatkan. Ia lalu berkisah tentang seorang wanita penderita ginjal dan anaknya. Sesudah bosan menjalani cuci darah, sang ibu -- yang ginjalnya rusak karena glomerulonefritis kronis -- ingin mendapatkan sebuah ginjal dari anaknya. Malang nian, anak itu mengalami keterbelakangan mental, kendati umurnya sudah dewasa. Maka, keduanya berkonsultasi ke berbagai rumah sakit di Jakarta dan Surabaya. Semua RS menolak untuk mengambil ginjal sang anak. "Soalnya,tidak etis, karena mentalnya masih anak-anak meskipun usianya sudah dewasa," ujar Sidabutar. Terpaksa ibu dan anak itu keliling dunia. Ke Belgia, Inggris, Belanda, dan Jepang. Semuanya menolak pula. "Barulah di suatu negara ia diterima," ujar Sidabutar, tanpa mau menyebutkan nama negara itu. Ini bisa terjadi karena belum seragamnya penentuan bidang etik dan hukum dalam transplantasi. "Masalahnya tiap masyarakat punya norma sendiri," tambahnya. Itulah sebabnya, para ahli merasa perlu membenahi persoalan itu secepatnya. Termasuk persoalan rendahnya kesadaran masyarakat, untuk menjadi donor. Bahkan sesudah meninggal pun, masih sedikit sekali orang yang bersedia merelakan organ tubuhnya untuk yang masih hidup. Karena inilah transplantasi ginjal di Indonesia baru mencapai 150-an, sangat sedikit dibandingkan jumlah pasien yang membutuhkan ginjal cangkokan, -- yang sekitar 3.800 orang per tahun. Mungkin untuk menghindari kesenjangan itu, IDT menerbitkan rekomendasi kriteria saat mati. Menurut IDI, seseorang dianggap telah meninggal apabila batang otaknya sudah tak berfungsi -- walau jantungnya masih berdenyut. Faedah kriteria ini, antara lain, dokter masih bisa memanfaatkan organ jenazah, untuk dicangkokkan kepada penderita yang memerlukannya. Tapi pelaksanaan donor mati (kadaver) ini tampaknya sulit. "Kita belum diizinkan mempergunakan jenazah secara hukum, yang ada baru rekomendasi IDI, belum jadi peraturan pemerintah," ujar Sidabutar pada TEMPO beberapa waktu lampau (TEMPO, 4 Februari 1989). Sekadar perbandingan, barangkali tak ada salahnya jika kita mengintip peraturan di negara tetangga, Singapura. Di sana, menurut Sidabutar, dulu ada peraturan bahwa hanya yang setuju bisa dijadikan donor kadaver. Tapi sekarang lain. "Semua mayat boleh diambil organnya, kecuali semasa hidupnya pernah menulis pernyataan menolak," kata internis kenamaan ini. Aturan ini berlaku umum di Singapura, kecuali terhadap penduduk Islam yang merupakan minoritas di sana. "Yang Islam boleh menentukan sendiri," kata Sidabutar. Kalau begini halnya, bisa diduga transplantasi organ di Singapura sudah tak jadi masalah lagi. Mungkin ada manfaatnya juga, buat kita.Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus