Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Para Petani Itupun Terpaksa Mencuri

Petani Magersari mengolah tanah milik negara (Perhutani) di Gunung Kawi. Sekarang mereka ditawari proyek mama (Malang-Magelang) untuk ditanami kentang dengan cara terasiring. (sd)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG yang punya tanah berlebihan, sekarang jadi berita. Mereka yang bekerja di sawah tapi tidak punya tanah sendiri, sebetulnya juga berita, tapi tidak dibicarakan. Kelas ini banyak dijumpai di Jawa. Di daerah Gunung Kawi misalnya. Gunung Kawi tidak jauh dari Malang, Jawa Timur. Ini adalah daerah tersohor yang dibanjiri oleh orang-orang kota setiap malam Jum'at Legi, yang datang untuk berdoa agar jadi kaya. Walaupun di sekitar tempat ini penduduknya tetap miskin. Mereka adalah kelas petani yang disebut "petani magersari". Mereka mengolah tanah negara milik perusahaan ncara (Perhutani). Tak kurang dari 200 penduduk yang tinggal di kampung Pujon Kidul, Kelat dan Kedung -- arah utara Gunung Kawi. Di ketinggian 1200 meter dari muka laut, mereka tetap jauh dari langit ke tujuh. Hidupnya pas-pasan betul. Setiap petani hanya memiliki sekitar seperempat hektar tanah. Ini tak cukup untuk memikirkan hari ini dan sekaligus hari depan. Apalagi kalau anak-anak banyak. Persoalan umum dari petani magersari ini adalah tidak adanya kesempatan untuk memilih. Tanah yang sempit itu tidak mampu lagi menyuapi banyak mulut. Tapi untuk meninggalkannya juga mustahil, sebab mereka tidak punya ketrampilan lain. Bibit dan Painu termasuk petani paling gaek yang berhasil dijumpai oleh wartawan TEMPO Oerip Prihadi. Mereka menceritakan bagaimana hak penggarapan itu mereka peroleh. Di zaman Belanda tanah mereka masih merupakan hutan gelagah. Pemerintah Belanda kemudian menawarkan, barang siapa yang bisa membuka hutan akan diberi hak untuk menggarap separuh luas yang dihasilkan. Setelah pengumuman itu, enam orang berangkat dari kampung Pujon, merangkak ke lereng Gunung Kawi. Hanya dengan parang mereka bereskan hutan gelagah yang menyerupai bambubambu kecil itu. Tapi baru dua hektar untuk masing-masing orang, mereka letakkan parangnya, karena merasa cukup. Padahal Belanda memberi kesempatan seluas-luasnya. Pertimbangan ke-6 pemula itu sepele saja. Mereka hanya bisa menebas 40 mÿFD setiap hari. Selain itu rupanya tanah 1 hektar saja sudah terlalu banyak untuk digarap oleh satu orang. Sebagai kewajiban oleh Belanda ditawarkan dua sistim kerja. "Koplangan" dan "tumpang sari". Yang pertama berarti separuh tanah diserahkan kepada Belanda untuk dijadikan hutan produktip. Yang kedua, seluruh tanah boleh digarap, asal di sela-sela tanaman ditanam juga pohon-pohon untuk hutan. Keenam orang itu memilih koplangan. Termasuk Bibit dan Painu. Di atas tanah itu, jagung pertama yang ditanam begitu tinggi, melebihi tinggi tubuh Bibit dan Painu. Buah-buahnya pun sebesar betis mereka. Sukses ini terdengar oleh banyak orang. Lalu dari tahun ke tahun, makin bertambahlah jumlah orang membuka hutan Gunung Kawi. Jumlah tanah kemudian tidak bisa menampung arus tersebut. Sementara itu kesuburan tanah makin menurun. Sementara ucapan pemerintah Belanda di tahun 1931 tetap harus dilatuhi. Yakni tanah boleh digarap, tapi tidak boleh dijual-belikan. Sejak tahun 1960 hidup para petani itu benar-benar mulai suram. Jumlah penduduk membengkak, tetapi tanah tidak bertambah. Maka penduduk pun berembuk. Kasbi, lurah kampung Pujon Kidul akhirnya menutup kampungnya dari pendatang baru. "Ini demi masa depan anak-anak kita," kata Kasbi. Karena mendesaknya kebutuhan hidup, berbagai upaya bertahan terpaksa dilaksanakan. Umar, 40 tahun, tak segan-segan setiap malam masuk hutan. "Jam 1 malam kita mencuri kayu galitus -- untuk bahan bangunan," ujarnya. "Hasilnya, seorang bisa dapat sampai Rp 400 sehari." Pencurian macam ini, di sana bukan barang baru, hampir merupakan kebiasaan setiap malam. Lurah Kasbi juga mengetahuinya. Hanya petugas saja yang belum sempat memergoki. Kalau capek maling, penduduk biasanya pergi ke desa Maron yang banyak berpenduduk orang dari Madura. Di sana seringkali ada pekerjaan yang bisa mendatangkan rezeki Rp 200 sehari. Lurah Kasbi menyatakan bahwa semua orang mencuri karena terpaksa. Risikonya banyak. Di pedukuhan tetangganya ada penduduk yang tertangkap lalu dipukuli oleh petugas Perhutani. Selain itu, angin malam bisa bikin sakit. Ada juga ular yang sudah sempat makan korban, seperti dialami oleh almarhum Akhmad, dua tahun yang lalu. Mama Umar menyebutkan kalau tanah yang ada sekarang masih terus dibagi secara turun temurun ia tidak tahu apa lagi yang bisa dikerjakan. Yang jelas, sebagaimana diungkapkan Lurah Kasbi, penduduk tidak mau ditransmigrasikan. Belakangan ini memang ada tawaran baru dari Perhutani yang disebut proyek Mama (Malang-Magelang). Di sana petani Magersari ditawari membuka hutan di lereng bukit dengan syarat harus membuat terasiring sehingga lereng jadi bertingkat-tingkat. Di sana akan ditanam pohon pinus. Sebelum pinus berusia dua tahun, para petani akan diperkenankan berkebun kentang. Tawaran ini sempat menggerakkan sekitar 100 orang. Tetapi karena tahap pertama hanya meliputi 20 hektar hutan, hanya 60 petani yang diterima. Seakan-akan tahun 30-an berulang kembali. Seperti halnya nenek moyang mereka, petani magersari ini membabat hutan Mama. Sadi, salah seorang di antaranya, menceritakan bahwa pekerjaan itu memerlukan modal, tidak cukup hanya dengan parang, sebagaimana dilakukan oleh Bibit dan Painu dahulu. Sadi terpaksa mencari tenaga bayaran. Ia sudah mengeluarkan uang sejumlah Rp 50 ribu. Untunglah ada berita, akan ada kredit penanaman kentang sebesar Rp 32 ribu dari Perhutani. Sayang sekali kredit tersebut tidak berupa uang, tapi barang. Sadi mendapat.60 kg bibit kentang, 120 kg pupuk dan obat-obatan. Mungkin maksud Perhutani agar uang itu tidak diselewengkan. Tapi Sadi heran kenapa bibit kentang itu jenis "kapela", justru jenis yang sejak dua tahun yang lalu sudah ditinggalkan oleh petani karena bukan bibit unggul. Harganya pun ternyata dikalkulasikan hampir 2 kali lipat (di luar bisa didapat dengan harga Rp 100 per kg). Akhirnya hanya bisa menutup separuh areal. "Kalau diberikan dalam bentuk uang sudah cukup untuk seluruh areal," kata Sadi. Ia menyebutkan jenis kentang "kosima", " draga", atau "grata" masih lebih baik. Katanya kentang kapella hanya baik buat generasi pertama dan kedua. Namun bagaimana pun kesempatan yang dibuka proyek Mama masih merupakan jalan keluar. Hanya sifatnya sementara. Tidak banyak merubah nasib, karena para petani itu tetap bukan pemilik tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus