Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG yang punya tanah berlebihan, sekarang jadi berita. Mereka
yang bekerja di sawah tapi tidak punya tanah sendiri, sebetulnya
juga berita, tapi tidak dibicarakan. Kelas ini banyak dijumpai
di Jawa. Di daerah Gunung Kawi misalnya.
Gunung Kawi tidak jauh dari Malang, Jawa Timur. Ini adalah
daerah tersohor yang dibanjiri oleh orang-orang kota setiap
malam Jum'at Legi, yang datang untuk berdoa agar jadi kaya.
Walaupun di sekitar tempat ini penduduknya tetap miskin. Mereka
adalah kelas petani yang disebut "petani magersari". Mereka
mengolah tanah negara milik perusahaan ncara (Perhutani).
Tak kurang dari 200 penduduk yang tinggal di kampung Pujon
Kidul, Kelat dan Kedung -- arah utara Gunung Kawi. Di ketinggian
1200 meter dari muka laut, mereka tetap jauh dari langit ke
tujuh. Hidupnya pas-pasan betul. Setiap petani hanya memiliki
sekitar seperempat hektar tanah. Ini tak cukup untuk memikirkan
hari ini dan sekaligus hari depan. Apalagi kalau anak-anak
banyak.
Persoalan umum dari petani magersari ini adalah tidak adanya
kesempatan untuk memilih. Tanah yang sempit itu tidak mampu lagi
menyuapi banyak mulut. Tapi untuk meninggalkannya juga mustahil,
sebab mereka tidak punya ketrampilan lain.
Bibit dan Painu termasuk petani paling gaek yang berhasil
dijumpai oleh wartawan TEMPO Oerip Prihadi. Mereka menceritakan
bagaimana hak penggarapan itu mereka peroleh. Di zaman Belanda
tanah mereka masih merupakan hutan gelagah. Pemerintah Belanda
kemudian menawarkan, barang siapa yang bisa membuka hutan akan
diberi hak untuk menggarap separuh luas yang dihasilkan.
Setelah pengumuman itu, enam orang berangkat dari kampung Pujon,
merangkak ke lereng Gunung Kawi. Hanya dengan parang mereka
bereskan hutan gelagah yang menyerupai bambubambu kecil itu.
Tapi baru dua hektar untuk masing-masing orang, mereka letakkan
parangnya, karena merasa cukup. Padahal Belanda memberi
kesempatan seluas-luasnya. Pertimbangan ke-6 pemula itu sepele
saja. Mereka hanya bisa menebas 40 mÿFD setiap hari. Selain itu
rupanya tanah 1 hektar saja sudah terlalu banyak untuk digarap
oleh satu orang.
Sebagai kewajiban oleh Belanda ditawarkan dua sistim kerja.
"Koplangan" dan "tumpang sari". Yang pertama berarti separuh
tanah diserahkan kepada Belanda untuk dijadikan hutan produktip.
Yang kedua, seluruh tanah boleh digarap, asal di sela-sela
tanaman ditanam juga pohon-pohon untuk hutan. Keenam orang itu
memilih koplangan. Termasuk Bibit dan Painu.
Di atas tanah itu, jagung pertama yang ditanam begitu tinggi,
melebihi tinggi tubuh Bibit dan Painu. Buah-buahnya pun sebesar
betis mereka. Sukses ini terdengar oleh banyak orang. Lalu dari
tahun ke tahun, makin bertambahlah jumlah orang membuka hutan
Gunung Kawi. Jumlah tanah kemudian tidak bisa menampung arus
tersebut. Sementara itu kesuburan tanah makin menurun. Sementara
ucapan pemerintah Belanda di tahun 1931 tetap harus dilatuhi.
Yakni tanah boleh digarap, tapi tidak boleh dijual-belikan.
Sejak tahun 1960 hidup para petani itu benar-benar mulai suram.
Jumlah penduduk membengkak, tetapi tanah tidak bertambah. Maka
penduduk pun berembuk. Kasbi, lurah kampung Pujon Kidul akhirnya
menutup kampungnya dari pendatang baru. "Ini demi masa depan
anak-anak kita," kata Kasbi.
Karena mendesaknya kebutuhan hidup, berbagai upaya bertahan
terpaksa dilaksanakan. Umar, 40 tahun, tak segan-segan setiap
malam masuk hutan. "Jam 1 malam kita mencuri kayu galitus --
untuk bahan bangunan," ujarnya. "Hasilnya, seorang bisa dapat
sampai Rp 400 sehari." Pencurian macam ini, di sana bukan barang
baru, hampir merupakan kebiasaan setiap malam. Lurah Kasbi juga
mengetahuinya. Hanya petugas saja yang belum sempat memergoki.
Kalau capek maling, penduduk biasanya pergi ke desa Maron yang
banyak berpenduduk orang dari Madura. Di sana seringkali ada
pekerjaan yang bisa mendatangkan rezeki Rp 200 sehari.
Lurah Kasbi menyatakan bahwa semua orang mencuri karena
terpaksa. Risikonya banyak. Di pedukuhan tetangganya ada
penduduk yang tertangkap lalu dipukuli oleh petugas Perhutani.
Selain itu, angin malam bisa bikin sakit. Ada juga ular yang
sudah sempat makan korban, seperti dialami oleh almarhum Akhmad,
dua tahun yang lalu.
Mama
Umar menyebutkan kalau tanah yang ada sekarang masih terus
dibagi secara turun temurun ia tidak tahu apa lagi yang bisa
dikerjakan. Yang jelas, sebagaimana diungkapkan Lurah Kasbi,
penduduk tidak mau ditransmigrasikan. Belakangan ini memang ada
tawaran baru dari Perhutani yang disebut proyek Mama
(Malang-Magelang). Di sana petani Magersari ditawari membuka
hutan di lereng bukit dengan syarat harus membuat terasiring
sehingga lereng jadi bertingkat-tingkat. Di sana akan ditanam
pohon pinus. Sebelum pinus berusia dua tahun, para petani akan
diperkenankan berkebun kentang. Tawaran ini sempat menggerakkan
sekitar 100 orang. Tetapi karena tahap pertama hanya meliputi 20
hektar hutan, hanya 60 petani yang diterima.
Seakan-akan tahun 30-an berulang kembali. Seperti halnya nenek
moyang mereka, petani magersari ini membabat hutan Mama. Sadi,
salah seorang di antaranya, menceritakan bahwa pekerjaan itu
memerlukan modal, tidak cukup hanya dengan parang, sebagaimana
dilakukan oleh Bibit dan Painu dahulu. Sadi terpaksa mencari
tenaga bayaran. Ia sudah mengeluarkan uang sejumlah Rp 50 ribu.
Untunglah ada berita, akan ada kredit penanaman kentang sebesar
Rp 32 ribu dari Perhutani.
Sayang sekali kredit tersebut tidak berupa uang, tapi barang.
Sadi mendapat.60 kg bibit kentang, 120 kg pupuk dan obat-obatan.
Mungkin maksud Perhutani agar uang itu tidak diselewengkan. Tapi
Sadi heran kenapa bibit kentang itu jenis "kapela", justru jenis
yang sejak dua tahun yang lalu sudah ditinggalkan oleh petani
karena bukan bibit unggul. Harganya pun ternyata dikalkulasikan
hampir 2 kali lipat (di luar bisa didapat dengan harga Rp 100
per kg). Akhirnya hanya bisa menutup separuh areal.
"Kalau diberikan dalam bentuk uang sudah cukup untuk seluruh
areal," kata Sadi. Ia menyebutkan jenis kentang "kosima", "
draga", atau "grata" masih lebih baik. Katanya kentang kapella
hanya baik buat generasi pertama dan kedua. Namun bagaimana pun
kesempatan yang dibuka proyek Mama masih merupakan jalan keluar.
Hanya sifatnya sementara. Tidak banyak merubah nasib, karena
para petani itu tetap bukan pemilik tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo