Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampung Pekojan menjadi titik awal berkembangnya warga keturunan Arab di Jakarta.
Menolak anggapan bahwa Condet adalah kampung Arab.
Ikhtiar menjaga nyala Kampung Arab Pekojan.
SUTIONO, 86 tahun, tampak khusyuk membaca Al-Quran berukuran besar sembari bersandar di salah satu tiang Masjid Jami Al-Khairaat di kawasan Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat, 19 April lalu. Saat itu Sutiono baru saja selesai menjalankan ibadah salat asar berjemaah di masjid tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia anggota jemaah yang rutin salat zuhur dan asar di masjid yang menyandang predikat salah satu masjid tertua di Jakarta itu. Ya, menurut sejarah, masjid ini sudah berdiri sejak abad ke-16.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terlepas dari status masjid tertua di Jakarta, Sutiono sudah betah beribadah di masjid tersebut. Rupanya ia rajin salat di Masjid Jami Al-Khairaat sejak awal 1960-an. "Waktu itu saja, saat bekerja sebagai guru muda di Kramat Jati, sering salatnya di sini," Sutiono mengenang.
Sutiono mengingat kembali bentuk lama Masjid Jami Al-Khairaat saat muda dulu. Dalam ingatannya, ia teringat bangunan masjid yang masih kecil atau sekitar seperempat dari bangunan masjid saat ini. Adapun saat ini luas bangunan masjid diperkirakan lebih dari 1.000 meter persegi.
"Saat itu bangunan masjid masih pendek, jalanan belum diaspal," ujarnya.
Jembatan Kambing, salah satu jembatan yang menjadi simbol Kampung Arab Pekojan. TEMPO/Indra Wijaya
Walhasil, Sutiono menegaskan bahwa Masjid Jami Al-Khairaat menjadi bukti peradaban Islam di Condet yang sudah ada jauh sebelum kelompok masyarakat keturunan Arab memilih pindah ke wilayah ini. Ya, menurut ingatan pensiunan guru sekolah dasar itu, masyarakat keturunan Arab baru berbondong-bondong masuk ke Condet mulai 1980-an.
Karena itulah, Sutiono termasuk orang-orang yang tak setuju dengan anggapan kawasan Condet sebagai kampung Arab. Sebab, menurut kesaksian Sutiono, justru Condet sejak awal merupakan kawasan permukiman Betawi.
"Sebab, sejak awal yang ada di sini itu orang Betawi," ucapnya.
Sutiono mengatakan masuknya masyarakat keturunan Arab dari berbagai lokasi di Indonesia ikut membawa dampak positif bagi masyarakat asli. Salah satunya adalah kuatnya pengaruh Islam yang dibawa ke Condet.
Walhasil, masyarakat Betawi yang sudah condong ke arah Islam mendapat semangat dan sarana kuat untuk mempelajari ajaran Islam. "Termasuk gaya berpakaian. Seperti saya ini. Saya bukan orang Arab, tapi pakai gamis," katanya.
Sementara di Condet ada Masjid Jami Al-Khairaat, di Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, terdapat Masjid Jami An-Nawier yang berdiri sejak 1760 dan Masjid Jami Al-Anshor sejak 1648. Kedua masjid itu menjadi simbol kampung Arab yang selama ini lekat dengan Pekojan.
Ketua Dewan Masjid Jami An-Nawier Dikky Basanddid mengatakan Pekojan memang menjadi kampung Arab pertama di Jakarta. Informasi tersebut ia peroleh dari cerita keluarga besarnya yang memang berasal dari Pekojan.
"Saya keturunan kelima dari kakek buyut saya, yang pertama kali tinggal di Pekojan," ujar Dikky, Kamis lalu.
Namun, menurut ingatan Dikky, sejak 1990-an, banyak keluarga Arab di Pekojan yang memilih pergi. Alasannya beragam. Namun alasan yang paling sering ditemui adalah pecah waris atau dijualnya rumah mendiang orang tua, yang kemudian akan dibagikan kepada anak sebagai harta warisan.
Aktifitas warga di kawasan jalan Condet Raya, Jakarta, 19 April 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Selanjutnya, mereka memilih pindah ke lokasi lain, seperti Condet, Cawang, dan Cililitan di Jakarta Timur, pada 20-30 tahun lalu karena harga tanah dan bangunannya lebih terjangkau dibanding di Pekojan yang dekat kawasan bisnis.
"Ada juga kerabat yang pindah ke Depok dan Bogor," kata Dikky.
Sebagai keturunan Arab, Dikky mengaku sedih dengan kondisi Pekojan yang makin sepi. Pekojan yang dulu dikenal sebagai kampung Arab kini justru lebih banyak dihuni warga keturunan Cina.
Meski begitu, Dikky paham jalan satu-satunya menjaga Pekojan adalah melestarikan masjid-masjid tua yang selama ini menjadi simbol kampung Arab. "Giatkan lagi kegiatan masjid dan majelis taklim."
Wartawan senior sekaligus penulis budaya, Idrus F. Shahab, menyebutkan Pekojan memang menjadi awal mula perkampungan Arab di Jakarta, bahkan jauh sebelum abad ke-19. Dari Pekojan, Kampung Arab berkembang sampai ke Kwitang dan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Dari Habib Usman bin Yahya yang mufti Betawi punya murid, yang kemudian membuat Kampung Arab di Kwitang dan Tanah Abang," kata Idrus ketika dihubungi, Sabtu, 20 April 2024.
Idrus F. Shahab. TEMPO/Jati Mahatmaji
Selain dari sisi religi, Pekojan menjadi pijakan awal gerakan intelektual Islam. Buktinya adalah lahirnya sekolah formal Islam pertama di Nusantara, Jamiat Kheir, pada awal 1900-an. Dari Jamiat Kheir, muncullah cendekiawan nasional, di antaranya HOS Tjokroaminoto dan Ahmad Dahlan.
"Bahkan, jika dirunut lagi, sampai muncul Boedi Oetomo, bahkan Sarekat Islam," tutur penulis buku Ole-ole Betawi dan Orkes Pemilu itu.
Sayangnya, kehidupan masyarakat keturunan Arab yang membentuk perkampungan sendiri dianggap eksklusif oleh masyarakat umum. Padahal, menurut Idrus, berkumpulnya orang keturunan Arab dalam satu wilayah tergolong lumrah. Sebagai contoh, orang-orang pendatang dari ras mana pun pasti akan memilih hidup berdekatan dengan alasan menjaga solidaritas.
Selain itu, keturunan Arab sejatinya sangat mudah membaur dengan etnis mayoritas. Contohnya, kini masyarakat Arab justru lebih fasih menuturkan bahasa Betawi ketimbang orang Betawi asli. "Belum lagi budaya Arab yang mudah menerima budaya masyarakat asli. Buktinya, orang Arab menerima mudah orkes gambus dan lainnya."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo