Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH sejak pertengahan Januari 1983 menyerang lebih 50%
penduduk Kota Pontianak, pekan lalu penyakit Raden Mas mulai
mewabah di seluruh daerah pantai Kalimantan Barat. Belum
diketahui pasti jumlah penderita di dua daerah pedalaman itu,
tapi pejabat Dinas Kesehatan setempat memperkirakan penyakit
yang baru pertama kali menyerang daerah itu akan menjalar
cepat-seperti halnya ketika menyerang penduduk di ibukota
provinsi itu.
Karena baru pertama kali muncul di daerah itu, bahkan masih
langka di Indonesia, dan belum ada kesepakatan di antara
dokter-dokter di sana tentang nama penyakit itu, maka berbagai
sebutan diberikan untuk menamainya. Beberapa orang penduduk
menamakannya penyakit Pak Raden tokoh film kartun Si Unyil yang
encoknya sering kumat. Karena penyakit aneh ini juga menunjukkan
gejala rematik. Gubernur Kal-Bar, Soedjiman, menyebutnya
penyakit Raden Mas, karena penderitanya menjadi malas dan ingin
tidur melulu. "Seperti kebiasaan para Raden Mas aman dulu,"
gurau Soedjiman. Istilah terakhir ini rupanya lebih populer.
Mula-mula beberapa dokter di Pontianak mengira flu Hongkong. Ada
pula dokter yang menyebutnya demam berdarah. Tapi keluhan
penderita umumnya sama: demam yang tinggi, pegal ngilu pada
persendian tangan dan kaki (seperti encok) dan seminggu kemudian
timbul bercak merah di seantero tubuh, bahkan dalam mulut.
Serangan Raden Mas mulai berkurang setelah 7 sampai 10 hari -
tapi tak sedikit pula yang terserang untuk kedua kalinya.
Penyakit ini sembuh tanpa diobati.
Tapi sembuh dari penyakit ini, untuk beberapa minggu eks
penderita jadi malas, lesuh dan selalu ingin tidur. "Mata ini
selalu pedas dan ngantuk," tutur Purnomo, 39 tahun, karyawan
Kanwil Deppen Kal-Bar yang pernah terserang. Keluarga Purnomo
terkena secara bergilir: setelah dia, istrinya lalu disusul
anggota keluarga lainnya secara berturut-turut.
Penularannya memang cepat. Pertengahan Januari mula-mula
menyerang penduduk Kecamatan Pontianak Timur yang relatif miskin
itu. Kemudian berkembang di Pontianak Utara, terus ke Pontianak
Barat. Dan akhir Maret seluruh kota terkena. Sampai akhirnya
lebih 50% penduduk kota yang berjumlah 300.000 itu terserang.
Pertengahan April penderita tinggal 30% dari seluruh penduduk -
walaupun mulai merayap ke pedalaman seperti Sanggau dan Sintang.
Tak seorang pun korban meninggal karena penyakit ini.
Karena tanpa korban meninggal dan menyerang penderia di semua
tingkat umur, maka dokter-dokter di kota itu sepakat penyakit
ini bukan demam berdarah. Lebihlebih bukan pula flu, atau
penyakit Pak Raden dan Raden Mas. "Secara epidemilogis ini
penyakit Chikungunya," ungkap kepala Bidang P3M Kanwil Depkes
KalBar, dr. Gunawan Hadibrata, "meskipun kepastiannya masih
menunggu virologis dan serologis dari Jakarta".
Dalam beberapa hal penyakit ini memang mirip dengan demam
berdarah (Dengue Haemorrhagic Fever - DHF). "Keduanya sama-sama
disebabkan virus yang dibawa nyamuk Aedes gypti," kata Gunawan
kepada wartawan TEMPO Djunaini K.S. yang sempat beberapa hari
terbaring karena penyakit ini. Bedanya, Chikungunya menyerang
penderita dari semua tingkat umur, sedangkan DHF umumnya hanya
pada anak-anak berusia di bawah 9 tahun. Demam berdarah bisa
menyebabkan kematian, sedangkan Chikungunya tidak.
Kota Pontianak memang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit
nyamuk Aedes Egypti. Kepala Subdit P3M Kodya Pontianak, dr.
Yusuf Ahmad, dalam penelitiannya pada 1974 pernah menemukan
hampir 30% bak penyimpan air di 65 rumah penduduk yang diteliti
terdapat jentik-jentik nyamuk yang berbahaya ini. "Angka ini
sudah termasuk tinggi," kata Yusuf.
Dua tahun lalu kota ini memang pernah diserang demam berdarah.
"Tapi awal Januari tahun ini cuma seorang anak yang kena dan
cepat teratasi," tambah Yusuf Ahmad. Dan ketika ia tahu penyakit
Raden Mas tak hanya menyerang anak-anak, dr. Yusuf termasuk yang
meragukan nama jenis penyakit ini.
Hasil pemeriksaan di Jakarta ternyata membenarkan dr. Gunawan.
"Wabah di Kalimantan Barat itu memang Chikungunya," kata dr.
Thomas Suroso, kepala Subdit Arbovirosis Ditjen P3M Departemen
Kesehatan. Malahan menurut Thomas, penderita di Kal-Bar itu
terbesar dibandingkan yang pernah ada di daerah-daerah lain.
Yaitu Tanjungjabung, Jambi auli 1982), Gunung Sitoli, Nias
(Maret 1983) dan Lampung, Februari 1983. Dokter Thomas juga
menduga, berdasarkan laporan yang telah masuk ke Depkes, minggu
lalu 45 orang penduduk Sunter, Jakarta Utara, juga sudah
terserang penyakit ini. "Tapi kepastiannya masih harus
diteliti," tambah Thomas.
Chikungunya berasal dari Afrika - beberapa suku di sana
menyebutnya juga Onyong-nyong. Setelah mampir di India sekitar
40 tahun lamanya, penyakit ini menyebar ke Malaysia dan masuk ke
Indonesia lewat Jambi. Penyakit ini lebih suka menyerang daerah
urban secara meledak. Tapi wabahnya akan lenyap begitu saja
antara 3 sampai 4 minggu.
Untuk pencegahannya, menurut Thomas Suroso, adalah dengan
membersihkan lingkungan, sama halnya dengan menghadapi demam
berdarah. Yaitu penyemprotan sarang-sarang nyamuk dengan
melation atau dengan abatisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo