Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Perkenalkan: saya raden mas...

Penyakit chikungu menyerang 50% penduduk pontianak penyakit ini menjalar dengan cepat dan diduga mulai menyerang jakarta. disebabkan oleh virus nyamuk aedes agypti, mirip dengan demam berdarah. (ksh)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH sejak pertengahan Januari 1983 menyerang lebih 50% penduduk Kota Pontianak, pekan lalu penyakit Raden Mas mulai mewabah di seluruh daerah pantai Kalimantan Barat. Belum diketahui pasti jumlah penderita di dua daerah pedalaman itu, tapi pejabat Dinas Kesehatan setempat memperkirakan penyakit yang baru pertama kali menyerang daerah itu akan menjalar cepat-seperti halnya ketika menyerang penduduk di ibukota provinsi itu. Karena baru pertama kali muncul di daerah itu, bahkan masih langka di Indonesia, dan belum ada kesepakatan di antara dokter-dokter di sana tentang nama penyakit itu, maka berbagai sebutan diberikan untuk menamainya. Beberapa orang penduduk menamakannya penyakit Pak Raden tokoh film kartun Si Unyil yang encoknya sering kumat. Karena penyakit aneh ini juga menunjukkan gejala rematik. Gubernur Kal-Bar, Soedjiman, menyebutnya penyakit Raden Mas, karena penderitanya menjadi malas dan ingin tidur melulu. "Seperti kebiasaan para Raden Mas aman dulu," gurau Soedjiman. Istilah terakhir ini rupanya lebih populer. Mula-mula beberapa dokter di Pontianak mengira flu Hongkong. Ada pula dokter yang menyebutnya demam berdarah. Tapi keluhan penderita umumnya sama: demam yang tinggi, pegal ngilu pada persendian tangan dan kaki (seperti encok) dan seminggu kemudian timbul bercak merah di seantero tubuh, bahkan dalam mulut. Serangan Raden Mas mulai berkurang setelah 7 sampai 10 hari - tapi tak sedikit pula yang terserang untuk kedua kalinya. Penyakit ini sembuh tanpa diobati. Tapi sembuh dari penyakit ini, untuk beberapa minggu eks penderita jadi malas, lesuh dan selalu ingin tidur. "Mata ini selalu pedas dan ngantuk," tutur Purnomo, 39 tahun, karyawan Kanwil Deppen Kal-Bar yang pernah terserang. Keluarga Purnomo terkena secara bergilir: setelah dia, istrinya lalu disusul anggota keluarga lainnya secara berturut-turut. Penularannya memang cepat. Pertengahan Januari mula-mula menyerang penduduk Kecamatan Pontianak Timur yang relatif miskin itu. Kemudian berkembang di Pontianak Utara, terus ke Pontianak Barat. Dan akhir Maret seluruh kota terkena. Sampai akhirnya lebih 50% penduduk kota yang berjumlah 300.000 itu terserang. Pertengahan April penderita tinggal 30% dari seluruh penduduk - walaupun mulai merayap ke pedalaman seperti Sanggau dan Sintang. Tak seorang pun korban meninggal karena penyakit ini. Karena tanpa korban meninggal dan menyerang penderia di semua tingkat umur, maka dokter-dokter di kota itu sepakat penyakit ini bukan demam berdarah. Lebihlebih bukan pula flu, atau penyakit Pak Raden dan Raden Mas. "Secara epidemilogis ini penyakit Chikungunya," ungkap kepala Bidang P3M Kanwil Depkes KalBar, dr. Gunawan Hadibrata, "meskipun kepastiannya masih menunggu virologis dan serologis dari Jakarta". Dalam beberapa hal penyakit ini memang mirip dengan demam berdarah (Dengue Haemorrhagic Fever - DHF). "Keduanya sama-sama disebabkan virus yang dibawa nyamuk Aedes gypti," kata Gunawan kepada wartawan TEMPO Djunaini K.S. yang sempat beberapa hari terbaring karena penyakit ini. Bedanya, Chikungunya menyerang penderita dari semua tingkat umur, sedangkan DHF umumnya hanya pada anak-anak berusia di bawah 9 tahun. Demam berdarah bisa menyebabkan kematian, sedangkan Chikungunya tidak. Kota Pontianak memang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit nyamuk Aedes Egypti. Kepala Subdit P3M Kodya Pontianak, dr. Yusuf Ahmad, dalam penelitiannya pada 1974 pernah menemukan hampir 30% bak penyimpan air di 65 rumah penduduk yang diteliti terdapat jentik-jentik nyamuk yang berbahaya ini. "Angka ini sudah termasuk tinggi," kata Yusuf. Dua tahun lalu kota ini memang pernah diserang demam berdarah. "Tapi awal Januari tahun ini cuma seorang anak yang kena dan cepat teratasi," tambah Yusuf Ahmad. Dan ketika ia tahu penyakit Raden Mas tak hanya menyerang anak-anak, dr. Yusuf termasuk yang meragukan nama jenis penyakit ini. Hasil pemeriksaan di Jakarta ternyata membenarkan dr. Gunawan. "Wabah di Kalimantan Barat itu memang Chikungunya," kata dr. Thomas Suroso, kepala Subdit Arbovirosis Ditjen P3M Departemen Kesehatan. Malahan menurut Thomas, penderita di Kal-Bar itu terbesar dibandingkan yang pernah ada di daerah-daerah lain. Yaitu Tanjungjabung, Jambi auli 1982), Gunung Sitoli, Nias (Maret 1983) dan Lampung, Februari 1983. Dokter Thomas juga menduga, berdasarkan laporan yang telah masuk ke Depkes, minggu lalu 45 orang penduduk Sunter, Jakarta Utara, juga sudah terserang penyakit ini. "Tapi kepastiannya masih harus diteliti," tambah Thomas. Chikungunya berasal dari Afrika - beberapa suku di sana menyebutnya juga Onyong-nyong. Setelah mampir di India sekitar 40 tahun lamanya, penyakit ini menyebar ke Malaysia dan masuk ke Indonesia lewat Jambi. Penyakit ini lebih suka menyerang daerah urban secara meledak. Tapi wabahnya akan lenyap begitu saja antara 3 sampai 4 minggu. Untuk pencegahannya, menurut Thomas Suroso, adalah dengan membersihkan lingkungan, sama halnya dengan menghadapi demam berdarah. Yaitu penyemprotan sarang-sarang nyamuk dengan melation atau dengan abatisasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus