Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMPAI minggu lalu, Suwarsih bersama teman-temannya masih
berobat jalan. "Kepala masih pusing dan telinga saya
berdenging," ujar gadis kecil, 12 tahun, murid kelas 5 SD,
ketika ditemui berobat di Puskesmas.
Sebenarnya Suwarsih tak sakit. Tapi seminggu sebelumnya dia
bersama teman-temannya satu sekolah menelan pil kina yang
diberikan guru, sebagaimana murid-murid lain di SDN Sukahaji,
Kecamatan Cipeundeuy, 50 km sebelah utara Bandung.
Hari itu, 15 Februari, sekolah itu kedatangan tiga petugas
Puskesmas yang katanya akan meneliti kesehatan murid. Caranya:
darah lebih 150 murid diambil untuk diteliti di laboratorium.
Setelah itu petugas menitipkan dua kantung plastik berisi 4.000
pil dari dua jenis. Yang satu, chloroquinine sebesar kancing
baju, yang lain primaquinine lebih kecil dan berlapis gula.
Semua pil itu, menurut petugas, harus diberikan kepada murid
untuk mencegah malaria yang mungkin berjangkit di musim
penghujan ini. Dosisnya diatur begini: untuk umur 7-14 tahun
diberikan dua kali sehari. Pagi, 2 pil besar ditambah 1,5 yang
kecil, dan siangnya diberi lagi 1 pil besar dan 1 pil kecil.
Satu lagi, pil itu harus ditelan di sekolah, "kalau di rumah,
nanti tak dimakan," begitu pesan petuas seperti dikatakan Ny.
Winangsih, wakil kepala sekolah SDN Sukahadji kepada TEMPO.
Besoknya, usai senam pagi, Winangsih pun sibuk membagi-bagikan
pil pada murid. Meski sudah didorong air, banyak murid yang
sulit menelan pil karena - pil yang kecil - pahit bukan main.
Beberapa saat setelah menelan pil, banyak murid yang pusing dan
muntah, "tapi mula-mula saya pikir karena mereka tak biasa makan
pil pahit," ujar guru itu. Pagi itu suasana kelas berjalan
seperti biasa. Dan siangnya sebelum pulang murid-murid dijejali
lagi dua butir pil.
Akibatnya, beberapa murid sejak dalam perjalanan pulang sudah
muntah-muntah. Syamsiah, 9 tahun, misalnya sampai di rumah
dengan tubuh berkeringat dan gemetar. Tentu saja ayahnya kaget.
"Pergi sekolah dia begitu sehat," ujar Rohim, 32 tahun, sang
ayah yang pedagang ikan itu.
Sore itu seluruh desa geger. Karena nyaris semua murid yang
menelan pil itu pulang dengan kondisi serupa. Bukan hanya SD
Sukahaji, tetangganya SD Cijawa II juga menderita hal yang sama
karena sebab yang serupa.
Yang jadi sasaran orangtua murid adalah guru. Untung saja Lurah
Sukahaji, Haji Muhammad Mokhtar, segera turun tangan, sehingga
tak terjadi macam-macam. "Padahal saya tak diberi tahu
pengobatan massal itu," ujar sang lurah. Akhirnya malam itu juga
dokter Puskesmas dipanggil ke sana, dan sampai tengah malam
terpaksa mendatangi rumah murid untuk memberikan obat penawar,
carbo adsorbent.
Umumnya para penderita jadi tenang, kecuali empat murid terpaksa
dirawat tiga hari di Rumah Sakit Cikalongwetan. Di antaranya
Suwarsih. Sedangkan Syamsiah, 9 tahun, tak cuma muntah. "Dia
sering pingsan," kata Rohim, ayahnya. Untunglah semua biaya
perawatan anak-anak itu ditanggung Puskesmas. Beberapa hari
sekolah itu terpaksa diliburkan.
Eddy Rudyanto, dokter di Puskesmas Cipeundeuy, mengatakan
peristiwa itu sekadar kesalahan teknis. "Mungkin murid-murid
belum makan nasi ketika diberi obat itu," katanya. Dosis,
menurut dia sudah benar. "Obat itu diberikan untuk penelitian
dan pencegahan," ujar dokter lulusan FK Brawijaya, Malang, 1982
itu. "Di sini kan banyak nyamuk?" katanya.
Tapi Haji Muhammad Mokhtar heran mendengar pengobatan massal
itu, karena selama 20 tahun ini di desanya itu tak pernah
dikenal penyakit malaria. Dan memang, Kanwil Depkes Ja-Bar sejak
1976 sudah menyatakan provinsi itu "bebas malaria".
Hanya menurut dr. Dadi Anggadiredja, bebasnya bersyarat.
"Penyakit itu masih ada, tapi tak merupakan wabah," kata Kepala
Bidang P3M Kanwil Depkes JaBar itu.
Kasus malaria di daerah itu memang kecil, tak sampai tiga permil
dari jumlah penduduk. Tahun lalu, cuma ditemukan 4.000 kasus
dari 27 juta penduduk, khusus di daerah pantai bagian selatan:
Tangerang, Pandeglang, Sukabumi, Cianjur, dan Ciamis. Sedangkan
di Ja-Bar bagian tengah, ditemukan di dua desa di Kabupaten
Subang dan Karawang, di daerah huma (perladangan). Dari
penelitian, kasus itu terjadi karena dibawa oleh pendatang dari
luar, seperti Lampung dan Kalimantan. "Bukan disebarkan vector
di tempat itu," katanya.
Cipeundeuy sendiri tak termasuk daerah yang disebut-sebut.
Begitu pun P3M cukup awas, di tiap Puskesmas disediakan obat
antimalaria atau obat antinyamuk. Tapi pemberian obat itu tak
dilakukan massal, "hanya untuk orang yang dicurigai," kata Dadi.
Misalnya yang diserang panas tinggi. Karena itu, Dadi heran atas
kejadian di Cipeundeuy itu. "Dosisnya juga tak sampai sebegitu,"
kata Dadi sambil tertawa. "Mudah-mudahan kesalahan teknis begitu
tak terjadi lagi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo