Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pil puskesmas di daerah bebas

Murid-murid SD Sukahaji dan SD Cijawa II, Jawa Barat, dijadikan kelinci percobaan pengobatan massal terhadap malaria oleh puskesmas setempat, akibatnya sekolah ditutup beberapa hari karena banyak murid sakit.(ksh)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI minggu lalu, Suwarsih bersama teman-temannya masih berobat jalan. "Kepala masih pusing dan telinga saya berdenging," ujar gadis kecil, 12 tahun, murid kelas 5 SD, ketika ditemui berobat di Puskesmas. Sebenarnya Suwarsih tak sakit. Tapi seminggu sebelumnya dia bersama teman-temannya satu sekolah menelan pil kina yang diberikan guru, sebagaimana murid-murid lain di SDN Sukahaji, Kecamatan Cipeundeuy, 50 km sebelah utara Bandung. Hari itu, 15 Februari, sekolah itu kedatangan tiga petugas Puskesmas yang katanya akan meneliti kesehatan murid. Caranya: darah lebih 150 murid diambil untuk diteliti di laboratorium. Setelah itu petugas menitipkan dua kantung plastik berisi 4.000 pil dari dua jenis. Yang satu, chloroquinine sebesar kancing baju, yang lain primaquinine lebih kecil dan berlapis gula. Semua pil itu, menurut petugas, harus diberikan kepada murid untuk mencegah malaria yang mungkin berjangkit di musim penghujan ini. Dosisnya diatur begini: untuk umur 7-14 tahun diberikan dua kali sehari. Pagi, 2 pil besar ditambah 1,5 yang kecil, dan siangnya diberi lagi 1 pil besar dan 1 pil kecil. Satu lagi, pil itu harus ditelan di sekolah, "kalau di rumah, nanti tak dimakan," begitu pesan petuas seperti dikatakan Ny. Winangsih, wakil kepala sekolah SDN Sukahadji kepada TEMPO. Besoknya, usai senam pagi, Winangsih pun sibuk membagi-bagikan pil pada murid. Meski sudah didorong air, banyak murid yang sulit menelan pil karena - pil yang kecil - pahit bukan main. Beberapa saat setelah menelan pil, banyak murid yang pusing dan muntah, "tapi mula-mula saya pikir karena mereka tak biasa makan pil pahit," ujar guru itu. Pagi itu suasana kelas berjalan seperti biasa. Dan siangnya sebelum pulang murid-murid dijejali lagi dua butir pil. Akibatnya, beberapa murid sejak dalam perjalanan pulang sudah muntah-muntah. Syamsiah, 9 tahun, misalnya sampai di rumah dengan tubuh berkeringat dan gemetar. Tentu saja ayahnya kaget. "Pergi sekolah dia begitu sehat," ujar Rohim, 32 tahun, sang ayah yang pedagang ikan itu. Sore itu seluruh desa geger. Karena nyaris semua murid yang menelan pil itu pulang dengan kondisi serupa. Bukan hanya SD Sukahaji, tetangganya SD Cijawa II juga menderita hal yang sama karena sebab yang serupa. Yang jadi sasaran orangtua murid adalah guru. Untung saja Lurah Sukahaji, Haji Muhammad Mokhtar, segera turun tangan, sehingga tak terjadi macam-macam. "Padahal saya tak diberi tahu pengobatan massal itu," ujar sang lurah. Akhirnya malam itu juga dokter Puskesmas dipanggil ke sana, dan sampai tengah malam terpaksa mendatangi rumah murid untuk memberikan obat penawar, carbo adsorbent. Umumnya para penderita jadi tenang, kecuali empat murid terpaksa dirawat tiga hari di Rumah Sakit Cikalongwetan. Di antaranya Suwarsih. Sedangkan Syamsiah, 9 tahun, tak cuma muntah. "Dia sering pingsan," kata Rohim, ayahnya. Untunglah semua biaya perawatan anak-anak itu ditanggung Puskesmas. Beberapa hari sekolah itu terpaksa diliburkan. Eddy Rudyanto, dokter di Puskesmas Cipeundeuy, mengatakan peristiwa itu sekadar kesalahan teknis. "Mungkin murid-murid belum makan nasi ketika diberi obat itu," katanya. Dosis, menurut dia sudah benar. "Obat itu diberikan untuk penelitian dan pencegahan," ujar dokter lulusan FK Brawijaya, Malang, 1982 itu. "Di sini kan banyak nyamuk?" katanya. Tapi Haji Muhammad Mokhtar heran mendengar pengobatan massal itu, karena selama 20 tahun ini di desanya itu tak pernah dikenal penyakit malaria. Dan memang, Kanwil Depkes Ja-Bar sejak 1976 sudah menyatakan provinsi itu "bebas malaria". Hanya menurut dr. Dadi Anggadiredja, bebasnya bersyarat. "Penyakit itu masih ada, tapi tak merupakan wabah," kata Kepala Bidang P3M Kanwil Depkes JaBar itu. Kasus malaria di daerah itu memang kecil, tak sampai tiga permil dari jumlah penduduk. Tahun lalu, cuma ditemukan 4.000 kasus dari 27 juta penduduk, khusus di daerah pantai bagian selatan: Tangerang, Pandeglang, Sukabumi, Cianjur, dan Ciamis. Sedangkan di Ja-Bar bagian tengah, ditemukan di dua desa di Kabupaten Subang dan Karawang, di daerah huma (perladangan). Dari penelitian, kasus itu terjadi karena dibawa oleh pendatang dari luar, seperti Lampung dan Kalimantan. "Bukan disebarkan vector di tempat itu," katanya. Cipeundeuy sendiri tak termasuk daerah yang disebut-sebut. Begitu pun P3M cukup awas, di tiap Puskesmas disediakan obat antimalaria atau obat antinyamuk. Tapi pemberian obat itu tak dilakukan massal, "hanya untuk orang yang dicurigai," kata Dadi. Misalnya yang diserang panas tinggi. Karena itu, Dadi heran atas kejadian di Cipeundeuy itu. "Dosisnya juga tak sampai sebegitu," kata Dadi sambil tertawa. "Mudah-mudahan kesalahan teknis begitu tak terjadi lagi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus