Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Psikiater di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Danti Filiadini menjelaskan perbedaan baby blues dengan depresi pascamelahirkan yang bisa dilihat dari lamanya durasi kesedihan yang dialami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kalau baby blues itu kurang dari dua minggu, jadi sifatnya lebih sementara. Sedangkan depresi postpartum durasinya harus lebih dari dua minggu, jadi kesedihan dan suasana hati yang depresi itu menetap, enggak mudah mereda,” ujar Danti, Kamis, 16 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia mengatakan depresi pascamelahirkan sering tidak terdiagnosis karena ibu yang baru melahirkan cenderung menutupi gejala karena khawatir terlihat lemah dan tidak bersyukur memiliki keturunan. Selain itu, ibu baru juga khawatir komentar orang-orang sekitar yang membandingkan anaknya dengan yang lain serta mengkritik keadaannya setelah melahirkan. Padahal, setelah melahirkan hormon-hormon dalam tubuh ibu sedang tidak stabil dan rentan mengalami depresi jika memendam perasaan tersebut hingga akhirnya dapat berdampak negatif tidak hanya pada diri sendiri namun juga bisa pada anak dan orang sekitar.
“Kalau depresi juga motivasi untuk beraktivitas jadi turun, emosinya meledak-ledak dan sulit dikendalikan, akhirnya dia enggak fokus untuk mengurus anaknya, tidak bisa memberikan ASI, tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari, bahkan perawatan diri kurang, otomatis kesehatan anaknya bisa terdampak,” tambah Danti.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu mengatakan mulainya kejadian pada depresi pascamelahirkan juga tidak tiba-tiba. Depresi bisa terjadi mulai satu bulan setelah persalinan hingga satu tahun pertama. Sementara baby blues munculnya langsung, sekitar 2-3 hari setelah persalinan.
Gejala pada depresi pascamelahirkan adalah hilangnya minat pada kegiatan sehari-hari, gangguan tidur atau terlalu banyak tidur, gerakan yang lebih lambat atau lebih gelisah, lesu sepanjang hari, gangguan konsentrasi, dan adanya pikiran untuk mengakhiri hidup berulang kali.
“Kalau ada minimal lima gejala dalam dua minggu serta ada distress dan disfungsi dalam sehari-hari, itu bisa dibilang mengalami depresi,” tutur Danti.
Beda dengan depresi biasa
Ia juga menjelaskan stres dan depresi yang dialami orang biasa dan ibu melahirkan berbeda. Umumnya pada masa persalinan waktu kejadian dimulai dari selama kehamilan dan sudah bisa ada gejalanya empat minggu dari persalinan dan bertahan 6-8 minggu atau bisa bertahun-tahun jika tidak dapat penanganan yang sesuai.
Sementara itu, prevalensi ibu yang mengalami depresi pascamelahirkan juga lebih sedikit karena kondisinya yang lebih berat dan penanganan yang menyeluruh dibanding baby blues yang bersifat sementara dengan gejala yang lebih ringan dan tidak berpotensi menyakiti diri.
“Angka kejadian depresi postpartum ini satu dari tujuh wanita dapat mengalami dan dari data WHO sebesar 50 sampai 70 persen ibu pascamelahirkan di Indonesia mengalami baby blues, sementara sebesar 22,3 persen itu mengalami depresi postpartum,” jelas Danti.
Untuk mengetahui kondisi orang terdekat apakah mengarah pada depresi postpartum bisa melakukan skrining secara online melalui Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS). Ia berharap ibu yang baru melahirkan atau keluarga tidak melakukan diagnosis mandiri dan tetap melakukan konsultasi dengan tenaga profesional dan jangan ragu untuk bercerita.
Pilihan Editor: Ayah Juga Bisa Mengalami Baby Blues, Begini Penjelasannya