Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KULITNYA kuning. Sosok tubuh tinggi, berambut panjang. Usianya
di sekitar 25 tahun. Kalau saja tubuhnya masih ceking,
barangkali dia ideal untuk menjadi seorang peragawati. Apalagi
tidak pemalu, bicaranya polos. Dialah Damusrah.
Menjelang hari raya Idul Fitri baru lalu, Damusrah baru saja
kembali dari mancanegara. Seperti kebanyakan orang dari luar
negeri, ia pun menenteng dua buah kopor besar yang mewah.
Seakan-akan hidup di negeri orang memang lebih basah dan royal.
Label perusahaan penerbangan yang nyantol di kopornya
berkibar-kibar kena angin Kota Pekalongan, Jawa Tengah, membuat
orang menyangka Damusrah seorang isteri penggede.
Ana Kul Kastir
Damusrah baru saja kembali dari kota Riyadh, Saudi Arabia. Ia
mudik ke kampungnya yang terselip di Desa Klego, Kotamadya
Pekalongan. Di koceknya penuh uang. Tak kurang dari 800 dolar
--dengan rupiah sekitar Rp 330 ribu. Ini hasil selama tiga
setengah bulan. Bayangkan kalau tiga setengah tahun, berapa.
"Saya ingin memperbaiki rumah," kata Damusrah kepada Churozi
Mulya dari TEMPO. Sementara itu ia pun mengaku sedang menunggu
tiket pesawat untuk kembali ke Riyadh. "Saya ingin naik haji,"
kata Damusrah menambahkan. Pernyataan yang bikin ngiler
tetangga-tetangganya. Tetapi tak ada yang membantah. Ia bukan
penipu dan juga bukan rukang mimpi. Ia mengatakan apa sebenarnya
yang telah terjadi, meskipun ia memulai semuanya dengan tipuan
kecil. Okelah, apa sebetulnya yang terjadi?
Tersebutlah Umar Shadeq, seorang juragan di Kota Riyadh pernah
berpesan kepada konconya di Pekalongan, agar mencarikannya
seorang pembantu rumah tangga. Pilihan jatuh ke pangkuan
Damusrah yang pada waktu itu memang lagi butuh pekerjaan. Segala
tetek bengek keberangkatan kemudian diurus dengan lancar sekali.
Paspor, visa, tiket pesawat, diselesaikan dengan baik berkat
kerjasama seorang kawan. Maka terbanglah Damusrah ke Saudi
Arabia.
Perempuan dari Klego itu dikontrak dua tahun kerja dengan gaji
600 real sebulan. Dalam rupiah kira-kira Rp 72 ribu. Angka yang
luar biasa mengingat gaji se)rang bedinde di bilangan Jakarta
paling top sekitar lima sampai sepuluh ribu rupiah sebulan.
Sebuah kesempatan yang mungkin akan merubah kedudukan para
bedinde di masa depan-seandainya ekspor tenaga kerja semacam ini
akan meledak di masa datang.
Kembali kepada Damusrah. Umar Shadeq agak ragu-ragu ketika
menatap wanita itu untuk pertama kalinya. Bukan karena
kesehatannya, atau tampangnya tidak memenuhi syarat. Umar hanya
khawatir melihat perut Damusrah agak buncit. Tapi kesan itu
segera terhapus tatkala Damusrah menyabarkan bahwa semuanya itu
bukan apaapa. Apalagi kemudian kerjanya ternyata bagus.
Belakangan setelah perempuan itu mulai bisa bicara, ia dapat
menjelaskan dengan lebih baik. "Ana kul kastir," katanya kepada
Umar. Artinya kira-kira "Saya banyak makan."
Tetapi alasan banyak makan itu lama-lama tak dapat
dipertahankan. Umar semakin curiga melihat perkembangan perut
Damusrah. Soal hamil di negeri onta itu sangat serius. Ia bisa
membawa persoalan ruwet. Seorang wanita yang hamil tanpa
ketahuan siapa suaminya, bisa jadi fitnah. Terutama buat Umar
sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Maka memang tidak bisa
lain lagi, kecuali bahwa Damusrah akhirnya mengaku. Bahwa ia
bunting. Sudah bunting sejak dari Klego.
Umar terpaku. Tapi tatkala ia mendengar pengakuan Damusrah bahwa
ia membungkam karena kesulitan ekonomi yang menghajar di
kampungnya -- sehingga ia nekat merantau dalam keadhan hamil
--Umarpun hiba. Ia dan keluarganya jadi sayang kepada Damusrah.
Waktu saat melahirkan bertambah dekat, Damusrah diberikan
kesempata memilih. Melahirkan di kampung atau di Riyadh.
Damusrah memilih pulang. "Saya malu," katanya kepada TEMPO,
"saya tak mungkin mau berbaring dan diladeni orang lain di rumah
majikan." Demikianlah awal cerita, mengapa Damusrah kemudian
pulang bagaikan nyonya besar. Tubuhnya mengandung bayi yang
berusia delapan bulan. Sebelum sopir majikannya mengantar ke
pelabuhan udara, Damusrah diberi tip - melaksanakan ibadah umroh
ke Mekah dan Madinah dengan biaya juragannya.
Siapakah sebetulnya Damusrah? Siapa bapak dari bayi yang
dikandungnya? Jawabannya ada di Klego. Sebelum jadi "babu
terbang" Damusrah adalah seorang penjual bakso dengan gerobak
yang disorongnya sendiri. Ia anak sulung dari bapaknya yang
sudah meninggal. Adiknya 3 orang, semua perempuan. Ibunya sudah
terlalu tua. Bakso yang diandalkannya tidak berkembang. Damusrah
pun bangkrut. Kemudian ia mengambil kerja yang biasa dilakukan
oleh kaum pria, "menganji palekat". Tak lama. Ia terpaksa
menyerah karena kemampuan phisiknya tidak sesuai dengan lapangan
kerja itu. Akhirnya ia menjadi pelayan di sebuah warung penjual
es campur di pasar Banjarsari, Pekalongan.
Damusrah menemukan jodoh di antara para pembeli es campur. Nama
lelaki itu Ali. Damusrah membiarkan dirinya dinikahi Ali 5
Agustus 1976. Tapi kemudian ia melihat bahwa Ali tidak hanya
doyan minum es campur. Dia juga doyan kawin. Ali sudah berbini
dan mempunyai 5 anak. Seorang penghulu "yang baik hati" di
Jakarta sudah menolong pernikahan Ali dan Damusrah meskipun bini
tua tidak menyetujuinya.
Seperti kebanyakan cerita sedih di negeri ini, maka
berantakanlah hidup Damusrah setelah lewat masa perawannya. Ali
ternyata tidak punya pekerjaan tetap. Anak pertama hasil
pernikahan mereka meninggal di tahun 1977. Ali bahkan terus saja
menikmati kehidupan dengan main layang-layang -- sekali lagi:
main layang-layang, seperti kehilangan masa kanak-kanak. Dan
celakanya Damusrah begitu setia. Dengan sabar dia membantu Ali
memegang gulungan benang. Di dalam film, adegan ini mungkin akan
romantis sekali. Entahlah sekarang. Setelah melihat Riyadh, tak
tahulah apa Damusrah masih suka memegang gulungan benang
layang-layang Ali.
Seorang Ali yang lain, lengkapnya: Ali bin Saleh Nahdi -- bukan
suami Damusrah itu -- menyimpan riwayat lain. Tidak seperti
Damusrah yang hanya tiga setengah bulan menghirup udara Tanah
Arab, Ali (21 tahun) pernah bermukim di tempat yang sama selama
6 bulan. Waktu ia pulang, di koceknya terdapat tidak kurang dari
600 dollar. Ia juga mencatat prestasi pernah mengirim uang
pulang sebanyak seperempat juta rupiah.
Dengan modal keberanian dan semangat Ali merantau ke Arab
mengunjungi familinya yang warganegara Arab di Jeddah. Di
Pekalongan ia merasa sangat sulit cari kerja. Dengan sisa uang
yang dimiliki ibunya ditambah pinjam kanan-kiri, ia berhasil
mendapatkan paspor, visa dan tiket. Di Jeddah setelah tiga kali
pindah-pindah kerja, ia menetap kerja di dealer onderdil Toyota.
Gajinya sekitar 1100 real, lebih kurang Rp 135 ribu. Untuk
pondokan dan makan ia harus mengeluarkan 600 real. Sisanya ia
tabung dan dikirim ke Indonesia untuk mengurus 7 adik dan
hutang-hutangnya dulu.
Hidup baru Ali di Jeddah berantakan gara-gara peraturan
"Muharram". Ketentuan ini menyebutkan bahwa orang-orang asing
yang datang setelah bulan "Muharram 1398" atau pertengahan
Desember 1977, harus segera meninggalkan Saudi Arabia.
Kesempatan mempersiapkan diri diberikan waktu hanya 2 bulan.
Yang melanggar peraturan akan ditangkap dan dipenjarakan sarnpai
ada yang menanggung biaya pemulangannya. Kalau ternyata tidak
ada famili atau penanggung, pelanggar peraturan itu akan
dipekerjakan dan upahnya akan dikumpulkan oleh pemerintah Arab
Saudi untuk membeli tiket memulangkan yang bersangkutan. Ali
tidak berani melanggar peraturan itu. Ia pun pulang ke
Pekalongan dengan harapan perusahaannya akan mengirimkan izin
tinggal dan tiket untuk kembali ke Jeddah. Rupa-rupanya ia
melihat Indonesia bukan tempat bekerja, tetapi hanya untuk
mengulur tali layang-layang seperti yang dilakukan Ali suami
Damusrah.
Dipenggal Lehernya
Riwayat Ali dan Damusrah, dialami juga oleh orang lain.
Kebanyakan tenaga kerja di tanah yang banyak mengandung minyak
itu merasa dirinya beruntung, sehingga mereka senang tinggal di
sana. Cuaca memang berbeda sekali dengan di Indonesia. Tapi bagi
dua insan di atas sudah dibuktikan, bahwa cuaca tidak banyak
berpengaruh pada akhirnya, kalau upah kerja begitu tingginya.
Namun demikian, bekerja di Tanah Arab tidak cukup hanya dengan
kegairahan mengeruk uang. Harus benar-benar dibarengi oleh
ketekunan yang tinggi. Di samping itu tekad benar-benar harus
lulus ujian. Tidak seperti Indonesia yang banyak tempat hiburan.
Di sana orang juga harus berjuang untuk betah dan melawan rasa
sunyi, karena kurang hiburan.
Muhammad Syammah, lelaki berusia 32 tahun, sudah menetap di sana
selama 4 tahun. Menurut Muhammad, KBRI sekarang mulai menaruh
perhatian yang serius terhadap kehausan dan kesepian para
"muwallad" -- orang-orang keturunan Arab yang warganegara
Indonesia. Untuk mereka yang tinggal di Jedah KBRI berusaha
memutarkan film-film nasional. "Sebagai obat rindu kampung dan
reuni kecil-kecilan," kata Mohammad. KBRI juga mengedarkan
"qustioner" -- atau pertanyaan kepada warga kita di sana untuk
mempertipis kesulitan-kesulitan mereka.
Yang menggembirakan adalah solidaritas yang tinggi di antara
perantau Indonesia. Yang masih terlantar dibantu, ditampung oleh
rekan-rekannya sampai berhasil berdikari. Mereka hidup
berkelompok-kelompok dengan menyewa rumah atau kamar secara
rombongan. Makanpun diatur bersama dengan semangat
gotong-royong. Orang yang sulit makan roti -- seperti halnya Ali
bin Saleh Nahdi -- dimungkinkan makan nasi setiap hari karena
hidup berkelompok ini.
Damusrah bini Ali tukang layangan juga tidak doyan roti pada
mulanya. Tetapi Umar Shadeq yang mengajaknya makan satu meja
bersama-sama keluarganya akhirnya membuat kebudayaan perut
Damusrah beralih pada roti. Ia juga mengalami perbedaan
perlakuan. Kalau di tanah air, babu biasanya selalu digebrak
kalau bangun kesiangan, di rumah Umar, Damusrah malah dilarang
bangun terlalu pagi. Setelah sembahyang subuh, ia terpaksa tidur
lagi, sampai pukul 8. Rata-rata orang sana bangun antara pukul 9
sampai 10 pagi.
Waktu mau pulang, Damusrah bengong lagi. Kopor tuanya dari
Indonesia dirampas, diganti dengan 2 buah kopor yang lux. Nyonya
Umar sendiri turun tangan mengisi kopor itu, membuat Damusrah
berlinang air-mata. Mungkinkah ini sikap umum? Atau khusus
terhadap Damusrah saja karena ke-7 anggota keluarga Umar sudah
terlanjur sayang kepadanya. Yang jelas Damusrah merasa sebagai
manusia yang berharga kembali.
Tidak semua bedinde dari Indonesia bernasib seperti Damusrah.
Sekali peristiwa seorang bedinde dikirim juga dari Pekalongan.
Di lapangan terbang sopir calon juragannya menunggu. Akan tetapi
karena calon bedinde itu ragu-ragu ia menolak ikut. Sopir itu
sampai tiga kali menawarinya, tapi tetap ditolak. khirnya
gagal. Kemudian perempuan itu dibawa oleh seorang sopir taxi.
Tak jelas, mungkin diperkosa. Menurut Damusrah nasibnya kemudian
menyedihkan. Padahal calon juragannya sudah mengeluarkan tak
kurang dari 3 ribu real -- sekitar Rp 350 ribu -- termasuk premi
untuk calo di Jawa.
Di samping uang, banyak adat kebiasaan yang berbeda yang harus
dihadapi. Ini dialami Ali yang bekerja di dealer Toyota itu.
Sekali peristiwa, usai sembahyang lohor, Ali melihat banyak
orang berkumpul di halaman masjid. Membawa kebiasaan dari Jawa,
iapun ikut berkerumun. Ternyata Pemerintah sedang melaksanakan
hukuman mati bagi seorang warganya. Hukuman yang mungkin tidak
akan pernah dijumpai di Indonesia. Leher orang itu dipenggal di
depan umum. Ali buru-buru tutup mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo