Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Rumah sakit terbang untuk mata

Rumah sakit pendidikan mata (as) yang berada dalam pesawat dc-8, dipimpin oleh dr. david paton. akan datang ke indonesia untuk mendemonstrasikan keahliannya. (ksh)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN Jakarta sentris. Kota-kota lain juga harus mampu melakukan operasi mata. Untuk itu selama 3 hari (21-23 Oktober) 30 orang dokter mata dari Yogyakarta, Semarang, Malang Ujungpandang, Manado, Palembang, Padang dan Medan, berguru pada ahli bedah mata yang bermukim di Jakarta. Mereka berlatih agar dapat melakukan bedah mikro untuk menangani penyakit mata seperti katarak, glukoma dan penggantian kornea mata yang rusak karena penyakit ataupun karena kecelakaan. Latihan itu sendiri berlangsung berbarengan lengan simposium sedah Mikro Mata yang berlangsung di Hotel Horison, Ancol. Bukan mata manusia, tetapi bola mata kambing yang dikorbankan dalam latihan itu. Saban hari, latihan membedah yang menggunakan mikroskop dengan kemampuan membesarkan 25 kali itu menghabiskan 60 bola mata kambing yang masih segar. Mata hewan itu dibeli dari sebuah pejagalan di Tanah Abang. "Tentu ada perbedaan antara mata kambing dan mata manusia. Tapi yang paling penting peserta memperoleh prinsip-prinsip dasar untuk menguasai peralatan," kata dr. S.M. Akmam, kepala bagian penyakit mata RS Cipto Mangunkusumo yang bertindak sebagai penasihat simposium. Usaha untuk meningkatkan ketrampilan di kalangan dokter mata kelihatannya akan mencapai klimaks dalam bulan ini. Orbis, rumah sakit pendidikan mata yang berada dalam perut sebuah pesawat terbang DC-8, 6 November ini direncanakan mendarat di Halim Perdanakusumah. Dokter-dokter mata Indonesia bisa menyaksikan ataupun turut ambil bagian dalam operasi mata yangakan dilaksanakan di dalam pesawat terbang itu. Selama lebih kurang sepekan ahli mata dari Amerika Serikat yang datang bersama rumahsakit terbang itu akan melakukan operasi terhadap 50 pasien Indonesia. Sambil mengobati, mereka sekaligus akan mendemonstrasikan operasi penghancuran katarak mata, pengikisan membran yang menghalangi penglihatan dan pemasangan lensa mata tiruan. Begitu rumah sakit mata terbang itu mendarat di Halim, segera ditentukan bagian lapangan yang aman dan bebas dari getaran. Tempat yang cocok untuk itu ialah di Pangkalan Udara TNI-AU, Halim Perdanakusumah, tak jauh dari lapangan terbang komersial. Di dalam rumah sakit itu ditemukan bukan hanya ruang operasi. Tapi juga ruang kuliah kecil yang dapat menampung 18 peminat sambil melihat jalannya operasi melalui televisi. Ruang operasi itu sendiri dilengkapi dengan 10 kamera video. Di sebelah ruangan operasi terdapat ruangan setengah steril dengan empat tempat tidur yang dicadangkan sebagai tempat ruangan pemulihan (recovery room) bagi pasien yang baru dioperasi. Peminat yang tak kebagian tempat di dalam pesawat, dapat mengikuti jalannya operasi melalui layar televisi yang dipasang di bawah tenda, di luar pesawat. Pencetus rumah sakit yang unik ini adalah Dr. David Paton. Guru besar pada Baylor College Of Medicine di Houston. Dr. Yaton yang pernah membantu pendidikan ahli bedah mata di Yordania, Meksiko dan Aljazair itu, melihat banyak kelemahan jika bantuan pendidikan diberikan secara konvensional. "Pendidikan ahli bedah mata memerlukan banyak alat elektronik yang harus digunakan secara efektif. Dengan hanya mengirim alat-alat itu ke negara yang bersangkutan dan mengirim tenaga ahli untuk mengajar di sana, banyak hal yang harus dikompromikan," katanya. Oleh karena itu ia memilih suatu fasilitas yang sesuai dengan keinginannya dan di tempat yang dianggapnya cukup netral -- yaitu dalam sebuah pesawat terbang. Baru pada tahun 1982 ini cita-citanya itu terlaksana. Setelah sepuluh tahun Paton bersusah payah meyakinkan para dermawan Amerika tentang pentingnya impiannya itu. Dia sendiri sering tidak terbang bersama rumahsakit idamannya itu. Karena sebagian besar dari waktunya dipergunakannya untuk mengumpulkan dana melalui kantor pusat proyek Orbis di New York. Untuk mencapai target melatih 900 dokter mata dalam setahun diperlukan dana U8$ 2,6 juta. Ahli-ahli mata Indonesia sendiri menyediakan sekitar Rp 15 juta untuk biaya penginapan dan rupa-rupa kebutuhan para dokter, ahli teknik dan awak pesawar selama mereka berada di sini. Paton tidak hanya ingin bekerja sama dengan dokter ahli mata. Terapi juga bersedia mendidik dokter-dokter lain yang berminat. Terutama mereka yang bekerja di lapangan. Bahkan jika di negara itu "dokter kaki telanjang" yang memegang peranan utama dalam pelayanan kesehatan, ia pun siap bekerja sama dengan mereka. ORBIS, katanya, juga tidak tertutup bagi tenaga paramedik atau pekerja sosial yang tugasnya berkaitan dengan penyakit-penyakit mata. Agaknya berbeda dengan banyak sejawatnya di negara berkembang, ia tidak akan pelit untuk membagi ilmunya kepada siapa pun yang dianggapnya berperanan dalam menghadapi bahaya kebutaan satu penyakit yang menyerang 42 juta penduduk dunia sekarang ini. Kunjungan Orbis ke Indonesia merupakan satu mata rantai dari jadwal kunjungan yang dimulai 15 Juli yang lalu. Sebelum ke Jakarta dia hinggap di Istambul, Ankara dan Canton (RRC). Sebelum mampir ke Jakarta, pesawat itu lebih dulu beroperasi di Cebu Filipina). Sekalipun impian mendidik dunia menangani penyakit mata sudah dicapai David Paton, ia ternyata bukanlah orang yang lekas besar kepala. Di Panama misalnya ia disodori pasien calon transplantasi kornea sebagai pasien utama. Ia menyadari hal itu memang disengaja dokter Panama, karena para dokter setempat ingin menggolkan undang-undang yang membolehkan cangkok kornea. Satu pekerjaan yang ditentang banyak politis. Meskipun Paton mengetahui bahwa pasien tersebut belum perlu menjalani operasi, ia tidak serta-merta menolaknya. Ia mengadakan diskusi yang intensif dengan para dokter Panama tersebut. Akhirnya disepakati untuk mencobanya dulu dengan lensa kontak. Dokter Panama itu puas, karena para anggota parlemen yang mengikuti kedatangan Orbis sadar akan perlunya pencangkokan kornea.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus