Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Karena Selera Bisa Berbeda

Food vlogger menjadi referensi memilih tempat makan, tapi juga membuat orang kecele. Ada pakem yang berubah di kritikus kuliner.

3 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tayangan video review makanan menjadi polemik setelah dua food vlogger memberikan ulasan yang bertentangan bagi satu warung makan yang sama.

  • Di era Bondan Winarno pada 2000-an, kritik disampaikan langsung kepada pemilik, bukan penonton.

  • Butuh pengetahuan dan riset sebelum mereview suatu tempat makan.

Barisan video di TikTok itu bikin ngiler. Aeni, warga Bandung, sampai harus menelan ludah melihat food vlogger itu melahap nasi rames di sebuah warung di Jalan Cianjur, Bandung Barat. Ada ayam goreng, sayur, lalapan, plus kondimen lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama seorang teman, perempuan berusia 56 tahun itu mendatangi warung yang direkomendasikan food vlogger tersebut pada 2022. Namun, memesan paket yang sama di tayangan TikTok, Aeni hanya mendapat kecewa. "Makanan yang didapat lebih sedikit. Cuma nasi, ayam potongan kecil, dan tumisan sayur," kata dia kepada Tempo, Senin, 2 Oktober 2023. Kini, tempat makan itu sudah gulung tikar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu bukan pertama kali Aeni terkecoh oleh ulasan food vlogger. Kapok, dia tak mau lagi mengikuti rekomendasi para pengulas makanan di media sosial.

Food vlogger merupakan pembuat video seputar kuliner atau yang membagikan pengalaman minum dan makan di berbagai restoran ke media sosial. Beberapa tahun terakhir, seiring dengan perkembangan koneksi Internet yang memungkinkan tayangan video secara lancar, mereka menjadi sumber informasi seputar jajanan. Namun, belakangan, peran mereka dipertanyakan, terutama setelah perseteruan dua food vlogger terkemuka selepas mengulas satu warung makan yang sama di Tangerang.

Chef Yuda Bustara. Dok. TEMPO/Dian Triyuli Handoko

Yuda Bustara, chef yang kerap diminta pemerintah mempromosikan masakan Indonesia di luar negeri, ikut menjadi korban. Dia paling sering kecele setelah menonton video singkat di TikTok. Di YouTube, yang tayangannya relatif lebih lengkap, informasinya juga bisa tak akurat. Yuda mencontohkan food vlogger terkenal yang mengulas steak di salah satu restoran di Bintaro, Tangerang Selatan, yang dia bilang murah. 

“Setelah saya cek, ternyata per porsinya rata-rata Rp 3 juta. Untuk makan di sana bisa menghabiskan sekitar Rp 6 juta,” ujar Yuda. Ia pun menduga food vlogger tersebut tidak membayar alias menerima endorsement. 

Selain inakurasi, ujar Yuda, food vlogger kerap melontarkan kritik secara berlebihan sehingga berdampak pada kerugian pemilik warung. Meski penilaian terhadap makanan sepenuhnya hak pengulas, dia melanjutkan, food vlogger tetap perlu mempertimbangkan penilaian orang banyak. Misalnya, melihat ulasan di Google atau media sosial.

Para Pengulas Makanan

Menurut Yuda, ada food vlogger yang bisa jadi contoh dalam menyampaikan kritik, di antaranya Ria Sukma Wijaya alias Ria SW. “Misalnya, dengan memaparkan, ‘Saya kurang cocok dengan makanan ini, tapi dikembalikan lagi ke penonton. Mungkin ada yang suka jenis makanan tersebut'," ujar Yuda.

Stefu Santoso, chef eksekutif di restoran Prancis di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, mengatakan terjadi pergeseran cara penyampaian kritik. Sebelum era YouTube dan TikTok, dia melanjutkan, kritikus tak mempublikasikan ulasannya jika memang dirasa makanannya tidak enak. Kritik bisa disampaikan langsung ke juru masak atau pemilik restoran. "Para pelaku bisnis food and beverage (F&B) pasti menerima kritik itu selama tujuannya membangun," kata dia. 

Praktik yang dijalankan sepenuhnya oleh mendiang Bondan Winarno, pakar kuliner, itu diikuti para mahasiswa program studi Tata Boga Universitas Negeri Jakarta. Sejak tahun lalu, mereka membuat program review makanan, Explore Kuliner, di akun YouTube mereka. “Kami selalu minta izin seminggu sebelum datang, berupaya menyampaikan kritik dengan sopan, juga memberi tahu ke pemilik apa yang kurang,” ujar Diffa Putri Hadija, mahasiswa program studi itu.

Mahasiswa Tata Boga Universitas Negeri Jakarta mengulas makanan di salah satu restoran. Dok. Pribadi

Bermodalkan Pengetahuan

Karena bertujuan membantu bisnis kuliner, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Diffa mengatakan para mahasiswa Tata Boga UNJ pantang menerima uang dalam proses pengulasan makanan. Sebab, uang dan materi apa pun akan mengganggu netralitas mereka.

Bondan Winarno, yang terkenal dengan maknyus-nya, juga dikenal selalu menolak bayaran. Demikian kesaksian Yohan Handoyo, penulis buku sekaligus anggota komunitas Jalan Sutra, perkumpulan wisata boga yang didirikan Bondan.

Sebagai pengulas di bidang F&B, kata Yohan, tidak semua pengulas makanan memiliki latar belakang kuliner yang kuat, juga pengetahuan yang mendalam tentang berbagai jenis makanan. Akibatnya, ulasan jadi tidak informatif.

Soal pemaparan inilah yang membedakan Bondan dan reviewer TikTok. Bondan, Yohan melanjutkan, bisa menghabiskan waktu sekitar 40 menit untuk menjelaskan hanya satu jenis makanan. Dari bahan, pengolahan, hingga sejarahnya. Bandingkan dengan video milik mereka yang mengaku sebagai reviewer makanan di reels Instagram dan TikTok yang hanya satu menit. "Apa yang bisa diulas jika hanya kurang dari satu menit?" ujar penulis buku Rahasia Wine—meraih Gourmand World Cookbook Awards—itu. "Tapi mungkin permintaan pasarnya sudah bergeser."

ILONA ESTERINA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus